Karena Seika yang terus berbicara sepanjang malam, kami berdua hampir saja terlambat bangun karena tidur terlalu larut. Untung saja aku sudah memasang alarm di ponselku kemarin malam, ditambah dengan Michiru yang terus meneleponku, akhirnya aku bisa terbangun dari tidur.
Dengan cepat aku membangunkan Seika yang seperti biasa masih sulit untuk dibangunkan. Ketika sudah bangun, seperti biasa lagi dia mengigau sebentar karena nyawanya belum terkumpul semua.
Kali ini, dia mengigau kalau Homura menusuknya dengan sebuah pena karena dia terus mengabaikannya. Untung saja masih ada sisa waktu setengah jam sebelum waktu yang sudah ditentukan untuk pergi ke lokasi olimpiade diadakan.
Ponselku kembali berdering dengan menyebalkan. Aku menerima panggilan masuk dari Michiru untuk yang kesekian kalinya. Anak ini … dia sering meneleponku karena khawatir, atau hanya ingin mencoba ponsel barunya? batinku.
Dengan kesal aku menerima panggilan masuk itu. “Akariii~ apa kau baru saja bangun?” suara menyebalkan ini … entah kenapa aku bisa tahu kalau Michiru sedang kelaparan dari nada bicaranya yang menyebalkan.
“Aku dan Seika sebentar lagi akan sampai di lobi, kami baru saja masuk ke dalam lift,” kataku sambil menekan tombol lobi. Seika yang berdiri di sebelahku mendekatkan kupingnya ke ponselku.
“Oh, cepat! Aku sudah lapar!” kata Michiru.
Seika memiringkan kepalanya sedikit. “Yang meneleponmu Michiru, ‘kan? Apa dia ikut datang ke sini?”
Aku langsung memukul keningku pelan. Baru saja ingat kalau seharusnya Michiru tidak berada di sini. “Mana mungkin dia ada di sini? Dia tidak mendapat izin untuk ikut bersama kita, kenapa kau berpikir kalau Michiru ada di sini?” kataku cepat sebelum Seika semakin curiga.
Seika mengusap dagunya pelan. “Hhmm, baru sebentar ditinggal Akari, kau sudah meneleponnya pagi-pagi seperti ini, Michiru?” tanya Seika sedikit kencang sengaja agar Michiru mendengarnya.
Entah kenapa aku bisa membayangkan saat ini Michiru juga sedang memukul keningnya pelan karena seharusnya dia merahasiakan dirinya yang sembunyi-sembunyi datang ke tempat ini. “Oh, ada Seika? Semangat mengikuti olimpiadenya, ya?”
Aku langsung memberi ponselku pada Seika. “Hehe, tentu! Sayang sekali kau tidak bisa ikut dengan kami, Michiru. Jika kau ikut pasti lebih menyenangkan,” balas Seika.
Aku ikut mendekatkan telingaku untuk mendengar ucapan Michiru selanjutnya. “Iya, aku ingin sekali melihat bagaimana wajah Hokuma itu!”
“Homura, Michiru …” kata Seika sambil terkekeh pelan. “Ah, kalau begitu aku akan mengembalikan ponselnya ke Akari. Kami berdua belum sarapan.”
“Mmm, sarapan yang banyak karena nanti kau harus menggunakan otakmu untuk mengerjakan soal olimpiade itu.”
Seika terkekeh pelan sebelum mengembalikan ponselnya padaku. “Apa kau belum makan?” tanyaku sedikit menjauhkan ponselnya dari Seika, agar tidak terdengar seperti sebelumnya.
Kali ini Michiru membalas pertanyaan itu dengan suara yang lebih pelan. “Aku sudah berada di lobi, tadinya menunggumu dan Seika untuk makan bersama. Tapi aku sempat lupa kalau saat ini aku sedang menyamar!”
“Sebenarnya aku juga baru ingat ketika Seika tanya tadi …” kataku ikut memelankan suara. “Lagi pula bagaimana caranya kau ke sini, sih? Bagaimana dengan sekolah? Apa kau sudah mendapat izin untuk tidak masuk?”
“Hehe, tentu aku naik Flying Gear, dan jangan khawatir, aku sudah mengirim bonekaku untuk menggantikanku masuk sekolah! Selama tidak ada yang menyerangnya, boneka itu tidak akan hilang!”
Hmm, kenapa rasanya aku pernah mendengar sihir ini … tidak, jurus ini? “Apa kau juga berniat untuk mengikuti kami ke tempat olimpiade itu?”
“Tentu! Tempat olimpiade itu terbuka untuk umum, ‘kan?”
Bunyi tanda lift sudah sampai di lobi hotel terdengar. Rambut pirang yang sudah tidak asing lagi langsung terlihat di salah satu sofa yang ada di lobi. Setelah mendesah panjang, akhirnya aku berkata, “Hanya ada beberapa ruangan yang bisa orang-orang selain peserta masuki.”
Michiru juga sadar kalau aku sudah tiba di lobi. Dengan wajah sedih dia membalas, “Lalu bagaimana? Setelah jauh-jauh datang ke sini, aku hanya bisa diam di hotel saja?”
“Hmm, asal kau tidak buat keributan, bagaimana jika kau masuk setelah menyamar jadi salah satu panitia atau pekerja di tempat olimpiade itu?”
“Benar juga! Kenapa aku tidak kepikiran? Sepertinya karena efek belum makan, otakku jadi sedikit lambat,” kata Michiru sambil mengikutiku menuju restoran hotel dari jauh.
“Berarti otakmu selalu lambat, ya? Karena kau selalu lapar!” kataku sambil terkekeh pelan.
Seika langsung berhenti di depanku dengan wajah yang cemberut. “Ey, sampai kapan kalian teleponan terus!?”
Aku hanya tersenyum tipis, kemudian berkata pada Michiru melalui telepon. “Aku akan sarapan terlebih dahulu. Fokus pada kelasmu.”
Michiru tertawa geli. “Baik, Nyonyaaa. Sampaikan pada Seika kalau aku mendukungnya! Jangan sampai kalah dari Hokuma itu.”
“Kau dengar?” tanyaku pada Seika.
Seika menganggukkan kepalanya. “Mmm! Akanku pastikan kalau kali ini dia tidak akan menggangguku lagi.”
Aku kembali berbicara beberapa kata pada Michiru sebelum akhirnya menutup teleponnya. Dengan semangat Seika langsung menarikku untuk lebih cepat masuk ke dalam restoran. Karena bukan akhir minggu, orang-orang yang menginap di hotel ini tidak banyak, sehingga pengunjung restoran hotel tersebut kebanyakan murid sekolah yang mengikuti olimpiade.
Karena hotel ini bergaya barat, pengunjung hotel ini mengambil sarapan mereka dengan gaya prasmanan. Berkali-kali aku harus mengingatkan Seika untuk makan tidak terlalu banyak. Tetapi seseorang dengan rambut berwarna pirang yang tidak terlalu jauh dariku mengambil makanan cukup banyak seperti seseorang yang belum pernah makan selama tiga tahun.
Untung saja di mata orang lain penampilannya berbeda dari pada apa yang kulihat.
Dengan alasan tidak kenal dengan orang itu, aku menarik Seika untuk menjauh darinya karena entah kenapa aku yang merasa malu.
Setelah sarapan, Yuno-sensei menyuruh kami untuk menunggu di lobi untuk persiapan berangkat menuju lokasi olimpiade dengan menggunakan bus. Tetapi karena keberadaanku yang semata-mata hanya sebagai orang yang menemani Seika karena ancamannya tidak akan mengikuti olimpiade kalau aku tidak ikut dengannya, aku jadi tidak bisa menaiki bus itu.
Sedangkan Yuno-sensei harus menemani Seika. Untung saja Yuno-sensei sudah memesan taksi dengan alamat yang dituju.
Melihat kesempatan ini, ketika semua peserta dan guru sudah naik ke atas bus, dengan cepat Michiru berjalan ke sampingku. “Ikut! Aku ikut!” katanya semangat.
Karena tidak ada alasan untuk menolaknya, akhirnya aku membiarkan Michiru untuk naik taksi bersamaku menuju lokasi olimpiade itu.
Dari hotel ke sana, hanya butuh waktu kurang lebih sepuluh menit. Tempat olimpiade itu merupakan sebuah sekolah elit yang ada di kotanya, sehingga orang-orang yang menjadi penanggung jawab atau panitia acara itu tidak perlu menggunakan pakaian yang formal. Aku menyuruh Michiru turun terlebih dahulu, berusaha untuk menghindari kecurigaan kalau aku tiba-tiba turun dari taksi dengan seseorang yang tidak dikenali.
Karena Seika harus langsung masuk ke dalam ruangan untuk memulai olimpiade babak pertama, aku jadi tidak sempat berbicara dengannya lagi.
Yuno-sensei melihatku sudah datang dan langsung berjalan mendekatiku. “Kumo, sepertinya Sensei harus berada di ruangan lain sebagai guru pembimbing. Apa kau bisa menunggu di ruangan lain? Kau juga bisa menunggu di ruangan yang sama seperti para reporter dari luar yang meliput olimpiade ini.”
“Tidak perlu khawatir, Sensei. Kalau begitu, aku juga akan menunggu di ruangan yang sama seperti para reporter itu. Kudengar akan ada layar yang memperlihatkan para peserta.”
Yuno-sensei menganggukkan kepalanya. “Benar, kau bisa melihat Rizumu dari sana, ya? Kalau begitu, Sensei akan mengantarmu terlebih dahulu.”
Aku diantar oleh Yuno-sensei menuju sebuah ruangan yang terlihat seperti aula dengan layar yang cukup besar. Di sana sudah banyak reporter yang membawa kamera. Aku memilih duduk di barisan paling belakang, berusaha untuk tidak menarik perhatian sedikit pun.
Setelah aku duduk, Michiru masuk ke dalam ruangan yang sama denganku tidak lama setelahnya. Ia menyebar pandangannya ke seluruh ruangan, aku langsung mengangkat tanganku untuk mendapatkan perhatiannya.
“Uh, ternyata ramai,” kata Michiru setelah duduk di sebelahku.
“Tentu saja, karena ini olimpiade nasional.”
“Aku baru tahu!”
Aku hanya terkekeh pelan, lalu merasakan getaran dari ponselku yang ada di saku. Ternyata ada pesan baru dari Seika.
[Aku satu ruangan dengan Homuraaaaaaaaaa!]
Aku langsung memperlihatkan pesan itu pada Michiru. Michiru langsung tertawa terbahak-bahak melihatnya. “Apa layar besar itu akan memperlihatkan peserta olimpiade ini?”
“Itu benar. Tapi karena banyaknya peserta yang terbagi di berbagai ruangan, kemungkinan kita hanya bisa melihat Seika sebentar.”
Michiru mengangguk-anggukkan kepalanya. “Padahal ruangannya cukup banyak, tetapi Seika tetap satu ruangan dengan Homura!”
Aku ikut terkekeh pelan. Rasanya mereka berdua musuh yang bertemu di gang sempit! Dengan cepat aku membalas pesan Seika. [Semangat!]
Balasan dari Seika datang dengan cepat. [Ugh, aku lebih semangat untuk memukul wajah Homura dari pada mengerjakan soal olimpiade ini!]
[Kalau begitu, bagaimana jika keinginanmu saat menang itu adalah memukul wajahnya?]
[Ide bagus! Aku akan memenangkannya!]
Setelah pesan itu sampai, bunyi lonceng tanda olimpiade di mulai langsung terdengar. Di layar besar yang ada di depanku dan Michiru langsung memperlihatkan beberapa ruangan dengan para peserta yang ada di dalamnya.
Panita membagikan kertas kepada setiap peserta. Di babak pertama masih cukup mudah, setiap peserta akan disaring dengan rata-rata yang sudah ditentukan. Tetapi, setiap tahun soal dan nilai rata-ratanya terus berbeda. Mungkin tahun ini soalnya akan lebih sulit dari tahun kemarin, karena tahun kemarin Seika berhasil mendapat nilai yang hampir sempurna …
“Hm?”
Aku langsung menatap Michiru yang terkejut itu. “Ada apa, Michiru?”
Michiru langsung menunjuk ke arah layar yang ada di depannya. “Akari, Akari. Apa kau kenal murid itu?”
Aku langsung menghadap ke arah yang Michiru tunjuk, tetapi tidak tahu pasti yang mana karena terlalu banyak orang di dalam layar itu. “Yang mana maksudmu? Aku tidak tahu mana yang pasti!”
“Ah, dia sudah tidak ada di layar lagi!”
“Kenapa, sih? Apa kau lihat murid yang sangat cantik kau tidak bisa melupakannya?”
Wajah Michiru sedikit cemberut. “Bukan, meski sesaat tetapi aku yakin ada seorang murid yang sedang memegang pena yang pernah kulihat dulu …”
“Pena? Pena yang kau lihat dulu … maksudmu di Merqopolish?”
Michiru memijat keningnya pelan. “Ah, karena tidak langsung melihatnya, aku jadi tidak terlalu yakin. Tapi aku benar-benar pernah melihat pena itu di suatu tempat.”
“Ayo kita tunggu sebentar lagi, mungkin layar itu akan memperlihatkan orang yang kau maksud lagi?”
Michiru menganggukkan kepalanya. “Jika tidak, mungkin aku harus melihat setiap ruangan yang dipakai para peserta itu satu persatu …”