19 - Nilai Tertinggi

1827 Kata
            Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Michiru sebelumnya, dan melihat ekspresi wajahnya yang serius. Tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak.             Meski sedikit ragu, akhirnya aku bertanya, “Apa ada sangkut pautnya dengan benda ‘itu’?” Yang kumaksud adalah benda yang kemungkinan memiliki kutukan dari iblis yang dicari oleh Michiru selama ini.             Kening Michiru semakin berkerut. “Aku masih belum yakin. Karena aku hanya melihatnya sekilas. Terlebih lagi seseorang menggunakannya. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, jika orang biasa sampai memegang benda dengan kutukan itu, atau bahkan hanya berada di dekatnya, kemungkinan benda itu dapat dengan mudah mengendalikan orang yang berada di dekatnya.”             Tapi, jika memang pena yang dimaksud oleh Michiru memang benar benda yang mendapat kutukan itu, bagaimana bisa benda itu ada di tempat ini?             Apa yang kudengar dari kata-kata Michiru juga sepertinya benda itu sudah digunakan oleh seseorang. Jika seperti ini … apa benda itu akan mengendalikan orang yang memegangnya tanpa sadar?             Ah, aku belum mengerti banyak tentang keadaan sebenarnya yang harus dilalui oleh Michiru. Sebaiknya setelah kembali dari olimpiade ini aku harus berbicara panjang lebar dengannya, karena aku sudah terlanjur mengenal dunia Michiru.             Waktu terus berjalan tanpa ada kejadian yang berarti. Sampai lonceng tanda ujian babak pertama berakhir, Michiru tidak melihat pena yang dia pikir adalah benda dengan kutukan itu lagi.             Karena peserta yang mengikuti olimpiade itu cukup banyak, dan babak pertama merupakan ujian tertulis dan harus diperiksa terlebih dahulu, peserta lomba akhirnya mendapat waktu istirahat selama dua jam.             Dengan mengandalkan kesempatan ini, aku dan Michiru langsung menuju aula utama tempat para peserta bisa beristirahat di sana. Sayangnya, selain guru pembimbing aku dan Michiru tidak bisa bertemu langsung dengan Seika. Kami hanya bisa meminta Seika untuk pergi keluar sebentar untuk menemui kami. Tentu saja, Michiru hanya bisa melihat dari jauh.             Setelah mengirim pesan pada Seika kalau aku sudah berada di luar aula tempat para peserta beristirahat, beberapa menit kemudian Seika keluar dari aula itu.             “Akariii~” kata Seika sambil berlari ke arahku.             Aku hanya bisa mendesah panjang. Jika orang lain yang melihat kalau  orang yang saat ini sedang berlari ke arahku dengan tangannya yang dibuka lebar-lebar seperti ingin memeluk adalah juara pertama pemenang olimpiade tahun lalu, mungkin pandangan mereka tidak akan seburuk itu.             “Bagaimana ujiannya, Seika? Apa sulit?” tanyaku setelah Seika berdiri di depanku yang sambil menggenggam kedua tanganku cukup keras.             “Tidak sulit! Tapi … sepertinya punggungku memiliki lubang sekarang …” kata Seika dengan suaranya yang semakin pelan.             “Lubang? Apa maksudmu?” tanyaku sedikit bingung.             Seika mengerutkan dagunya. “Kau tahu ‘kan kalau aku satu ruangan dengan Homura?”             Aku mengangguk untuk membalas pertanyaan itu. “Kau memberitahuku di pesan yang kau kirim sebelumnya.”             Seika menjentikkan jarinya di depanku, kemudian berkata, “Itu dia masalahnya! Pandangan tajam Homura rasanya membuat punggungku berlubang! Apa mungkin ia sengaja melakukannya agar konsentrasiku terganggu?”             Aku hanya terkekeh pelan. “Lalu ke mana Homura itu? Apa sebelum ujiannya dimulai dia mengganggumu seperti biasanya?”             Seika sedikit memiringkan kepalanya. “Hmm, saat bertemu lagi dia hanya menatapku dengan tajam, sih … tidak seperti sebelumnya yang terus berbicara padaku. Tapi jika dibandingkan sekarang, lebih baik seperti ini!”             “Hm, mungkin dia benar-benar berniat untuk mengalahkanmu sekarang?”             Seika memutar kedua bola matanya. “Pfft tidak akan! Soal-soal tadi cukup mudah. Setidaknya aku bisa mendapat nilai di atas 90!”             Meski mendengar Seika yang berkata kalau soal itu mudah. Dengan otak yang kumiliki sepertinya jawabannya akan berbeda. “Kalau begitu sebaiknya kau istirahat di dalam ‘kan? Apa kau sudah merasa lapar lagi? Ingin kubelikan sesuatu di dekat sini?”             Seika menggelengkan kepalanya. “Tidak mau, di dalam sana orang-orangnya sangat membosankan! Lagi pula tidak perlu membelikanku apa-apa. Peserta yang mengikuti olimpiade mendapat beberapa cemilan sambil menunggu hasilnya di aula!”             Aku hanya terkekeh pelan, dan berbicara beberapa hal lainnya dengan Seika sebelum Yuno-sensei datang dan menyuruh Seika kembali masuk ke dalam aula. Yuno-sensei hanya memberi tahuku kalau kantin sekolah ini buka dan aku bisa membeli makanan di sana jika lapar. Setelahnya Yuno-sensei kembali masuk ke aula bersama Seika, sepertinya pengumumannya akan dibagikan sebentar lagi.             Saat itu Michiru tidak ada di mana pun. Aku memilih untuk menunggu di depan aula sebentar, dan melihat Homura dari jauh.             Ia sedang berbicara dengan seseorang, mungkin guru pembimbingnya? Tetapi dilihat dari tatapannya yang kosong, sepertinya ia tidak terlalu memerhatikannya. Akhirnya setelah beberapa menit berlalu, Homura kembali masuk ke dalam aula melalui pintu yang lain yang sedikit jauh dariku.             Saat itu, rambut berwarna pirang yang tidak asing terlihat olehku. Karena pemilik rambut itu terlihat sibuk entah sedang apa, akhirnya aku memilih untuk memerhatikannya dari jauh.             Di akhir, Michiru berjalan kembali mendekatiku dengan wajah yang sedikit cemberut. “Ada apa?” tanyaku bingung.             “Aku menyamar sebagai panitia dan masuk ke dalam aula untuk mencari peserta yang kemungkinan menggunakan pena itu. Tetapi aku tidak merasakan adanya tekanan sihir di dalam sana …” Michiru mendesah panjang seperti kelelahan. “Sepertinya aku salah lihat …”             “Hm, tapi aku sedikit khawatir jika pena yang kau lihat adalah benda yang kau cari. Bagaimana jika kita tunggu sebentar lagi?”             Michiru menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapatku. Sesekali ia juga masuk ke dalam aula itu setelah menyamar dengan sihirnya menggunakan pakaian dan tag panitia. Tetapi hasilnya masih sama, dia tetap tidak merasakan sihir dari dalam sana.             Akhirnya pengumuman ujian babak pertama keluar. Karena nilai yang didapatkan oleh para peserta tidak ditampilkan, aku mencari nama Seika dengan susah payah dari ratusan nama yang ada di sana. Tentu saja Seika lolos, begitu pula dengan Homura.             Michiru sedikit kesal karena belum melihat orang yang bernama Homura ini secara langsung. Tetapi kemungkinan di babak selanjutnya ia bisa melihatnya.             Babak kedua langsung dimulai setelah peserta yang gugur meninggalkan aula. Dari ratusan peserta, untuk babak kedua hanya dipilih dua puluh peserta saja. Sehingga kali ini semua peserta berada di dalam satu ruangan saja.              Aku langsung menunjuk ke layar ketika melihat wajah yang tidak asing. “Itu, itu Homura! Lihat, ‘kan?”             Michiru langsung menyipitkan matanya ke arah yang kutunjuk. “Apa? Seseorang dengan rambut pendek berwarna hitam dan matanya yang sedikit sipit tapi hidungnya lebar itu?”             “Iya, iya itu! Nah, itu namanya Homura. Sekarang kau sudah lihat, ‘kan?”             Michiru menganggukkan kepalanya. “Dari wajahnya saja aku sudah tahu kalau orang itu menyebalkan! Woah, lihat matanya yang tajam itu … jangan-jangan dia menatap Seika?”             “Hehe, tadi Seika cerita padaku kalau mungkin punggungnya berlubang karena tatapan tajam dari Homura!”             Michiru menutup mulutnya menahan tawa yang hampir keluar. “Hmph, bukankah dia hanya iri karena tidak pernah mengalahkan Seika?”             “Meski begitu, saat di Sekolah Menengah Pertama dulu, nilainya memang benar-benar bagus. Dia benar-benar berpikir kalau Seika itu saingannya.”             Beberapa menit kemudian babak kedua olimpiade segera dimulai. Tidak seperti babak pertama yang menggunakan lembar ujian untuk mengerjakan soal, kali ini para peserta harus mengisi soal yang ditampilkan di layar kelas itu dan memasukannya di dalam tablet yang sudah disediakan di sana.             Setiap lima peserta pertama yang menjawab dengan benar akan mendapat poin, sedangkan peserta lainnya tidak mendapatkan poin meski jawaban mereka benar. Jadi, di babak kedua ini mengandalkan ketelitian dan kecepatan para peserta olimpiade untuk menjawab pertanyaan dengan benar.             Layar yang ada di depanku dan Michiru berganti menjadi sebuah tabel dengan nama-nama peserta dan beberapa baris kolom. Aku fokus pada nama Seika dan Homura saja.             Ketika babak kedua dimulai, di sebelah tabel itu muncul pertanyaan pertama. Melihat pertanyaan pertama saja aku sudah bingung!             Baru beberapa detik berlalu, di kolom sebelah nama Seika muncul tanda bulat dengan warna hijau, begitu pula di sebelah nama Homura dan tiga peserta olimpiade lainnya. Setelah melihat lima tanda bulat dengan warna hijau, di sebelah nama peserta lainnya langsung muncul tanda silang berwarna merah.             Sepertinya layar yang ada di depanku ini memperlihatkan hasil jawaban benar atau salah dari para peserta olimpiade.             Dengan cepat pertanyaan tadi berganti ke pertanyaan yang lebih sulit. Tetapi tanda bulat berwarna hijau yang ada di sebelah nama Seika muncul dalam waktu singkat seperti sebelumnya, begitu pula dengan Homura. Sayangnya peserta lain yang sebelumnya mendapat bulat hijau tidak seberuntung mereka berdua.             Permainan bulat hijau silang merah terus berjalan selama setengah jam. Di akhir, Seika dan Homura mendapat bulat hijau paling banyak. Dengan ini, babak kedua selesai dan Seika lolos ke babak selanjutnya!             Karena penasaran kenapa Michiru tiba-tiba diam, akhirnya aku melihat ke arahnya. Ternyata dia tertidur ... sepertinya dia tidak tertarik dengan babak kedua ini.             “Michiru, kalau kau mau tidur kenapa tidak kembali ke hotel saja?” tanyaku setelah mencubit tangan Michiru.             Michiru langsung membuka kedua matanya. “Kata siapa tidur? Tadi itu aku menyerap energi kepintaran orang-orang yang mengikuti olimpiade.             Aku hanya menggelengkan kepala mendengar alasan itu. “Babak ketiga sebentar lagi dimulai, Seika dan Homura lolos.”             “Hm, musuh bebuyutan kembali bertemu!” komentar Michiru.             Karena penilaian babak kedua sangat mudah, waktu istirahat peserta tidak sepanjang sebelumnya. Setelah istirahat selama setengah jam, babak ketiga langsung dimulai.             Di babak ketiga hanya ada delapan peserta yang memberikan jawaban benar terbanyak di babak sebelumnya yang berhasil lolos. Tentu saja yang menjadi bintang utama di babak ini adalah Seika dan Homura yang mendapat poin terbanyak di babak kedua.             Babak ketiga hampir sama dengan babak kedua, yang membedakannya adalah peserta harus menjawab pertanyaan dengan cepat dan menuliskannya di atas selembar kertas. Jika jawaban peserta itu benar, berarti dia dapat poin dan yang lainnya tidak. Berarti di babak ketiga ini hanya ada satu peserta di setiap pertanyaan yang hanya bisa mendapatkan poin.             Merasa kamera menyorot dirinya, Seika mengangkat wajahnya bahkan melambaikan tangannya ke kamera! Aku tertawa pelan melihat Seika yang penuh percaya diri itu. Tetapi yang tidak diduga adalah orang yang duduk di sebelah Seika adalah Homura! Melihat susunan itu Michiru tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.             Dalam waktu singkat babak ketiga dimulai, dan pertanyaan langsung muncul di layar. Para peserta langsung menuliskan sesuatu di atas kertasnya. Tetapi seperti yang sudah kuduga, Seika lah yang pertama berdiri dan memperlihatkan jawabannya.             Bunyi ‘Ting-ting!’ tanda kalau jawaban Seika benar terdengar. Tanda bulat berwarna hijau langsung muncul di sebelah nama Seika.             Pertanyaan selanjutnya terlihat beberapa saat kemudian, tetapi kali ini Homura yang pertama kali memperlihatkan jawabannya. Bunyi tanda kalau jawabannya benar terdengar, dan ia mendapat tanda bulat hijau yang sama.             Di layar, terlihat Homura yang tersenyum meledek pada Seika, tetapi sebaliknya Seika tidak bereaksi apa pun. Bahkan mungkin Seika tidak sadar kalau Homura meledeknya. Di sini tawa Michiru lebih kencang dari sebelumnya, aku harus mencubit tangannya untuk membuatnya berhenti.             Kejadian yang sama terus terulang berkali-kali. Tanda bulat hijau secara bergantian muncul di sebelah nama Seika dan Homura. Entah kenapa aku merasa kasihan pada peserta lainnya …             Kemudian di suatu pertanyaan, dalam waktu yang bersamaan Seika dan Homura memperlihatkan jawabannya, dan di atas lembar kertas itu memiliki jawaban yang sama.             Reporter yang meliput nilai sempurna mereka mulai memanas karena merasakan kompetisi di antara kedua murid itu.             Tetapi tidak dengan Michiru. Wajahnya langsung berubah ketika melihat apa yang ada pada layar di depannya. “Akari, tunggu aku di sini sebentar!” katanya singkat, dan langsung berlari keluar dari ruangan itu.             Bahkan aku tidak sempat memanggil namanya untuk bertanya ada apa! Tetapi, setelah mataku kembali melihat layar yang ada di depan sana. Entah kenapa sepertinya aku mengerti.             Di layar, Seika dan Homura sama-sama berdiri memperlihatkan jawabannya. Namun kali ini sepertinya Homura lupa menyimpan penanya karena terburu-buru, sehingga pena yang ia gunakan terlihat di layar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN