21 - Leviathan

1592 Kata
            Saat itu Seika baru saja selesai menerima penghargaan dan berfoto oleh ketiga juri dan Yuno-sensei. Karena masih ada upcara pemberian penghargaan itu belum selesai, Seika memberi Yuno-sensei barang-barang yang baru diterimanya dan langsung kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Yuno-sensei turun dan pergi ke belakang panggung, kemungkinan untuk menyimpannya.             Karena Homura juara kedua, selanjutnya ia yang akan menerima hadiah dan berfoto dengan juri. Guru pembimbing yang berdiri di belakangnya membisikkan sesuatu padanya, kemudian masih tanpa ekspresi di wajahnya, Homura berdiri dari duduknya.             Tetapi bukannya berjalan menuju juri yang akan memberinya penghargaan, ia malah membalikkan tubuhnya ke arah Seika.             Seika menatap Homura dengan bingung, tetapi wajahnya langsung berubah ngeri ketika melihat tangan Homura yang terangkat tinggi di depannya.             Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena terlalu jauh dari panggung. Meski terlihat tidak jelas, aku merasa tangan Homura yang terangkat tinggi di depan Seika menggenggam sesuatu. Apa itu … sebuah pena!?             Terlihat Seika yang sedikit memiringkan tubuhnya berusaha untuk menghindari tangan Homura yang semakin lama mendekat ke arahnya itu.             Sedikit panik aku berlari ke arah panggung sambil meneriakkan nama Seika. Tetapi tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita. Suara panik langsung terdengar di mana-mana. Tetapi sedetik kemudian semua suara itu hilang. Tidak lama kemudian, terdengar suara seperti benda jatuh di seluruh tempat.             Apa ini? Apa yang terjadi? Aku hanya bisa terdiam berdiri di tempat. Apa Michiru baru saja menggunakan sihir untuk membuat ruangan ini menjadi gelap? Apa Michiru melakukannya agar kejadian yang ada di atas panggung tidak terlihat oleh siapa pun?             Kalau benar begitu … Apa kejadian terakhir yang kulihat sebelum ruangan ini menjadi gelap gulita benar-benar seperti apa yang kulihat? Apa Homura mengangkat tangannya tinggi untuk menyerang Seika?             “Michiru … Michiru!” aku hanya bisa meneriakkan nama Michiru di dalam kegelapan itu.             Jika Michiru sampai melakukan hal seperti ini, berarti Michiru berusaha agar Homura yang kemungkinan akan menyerang Seika tidak terlihat oleh siapa pun, ‘kan?             Apa berarti perkiraan Michiru bahwa pena yang digenggam Homura itu benar-benar pena yang memiliki kutukan dari iblis? Tetapi bagaimana caranya Homura bisa memilikinya?             Sebelumnya, benda yang memiliki kutukan itu tiba-tiba ada di sekolah. Untung saja Michiru menemukannya sebelum benda itu mengendalikan seseorang, sehingga Michiru dapat dengan mudah menghancurkan benda itu.             Aku sedikit kesal karena tidak bisa melakukan apa pun karena tidak bisa melihat apa-apa. Terlebih lagi, aku sangat khawatir apa yang terjadi pada Seika!             Dengan hati-hati aku melangkah ke arah panggung, bahkan berusaha untuk meraba-raba sekitar. Sekelilingku masih sangat gelap, dan tidak ada suara apa pun yang terdengar sampai telingaku rasanya berdengung.             Kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara raungan yang mengerikan. Jauh di depan sana, aku bisa melihat sesuatu seperti asap yang berwarna merah.             Suara tawa yang tidak mungkin bisa dikeluarkan oleh seorang manusia terdengar oleh telingaku. “Bocah, apa yang kau lakukan?”             Mendengar kata itu, tubuhku rasanya langsung kaku seketika. Asap itu semakin lama semakin tinggi dan terlihat seperti membentuk sesuatu.             Sesuatu baru saja terbentuk dari kepulan asap berwarna merah itu. Dengan tubuh yang panjang dan bersisik tajam berwarna hijau, kedua tangannya seperti berselaput dengan cakar yang tajam, mulutnya terbuka lebar dengan taring yang terlihat sangat tajam, matanya yang berwarna semerah darah menatap lurus ke bawah.             Di sana, berdiri Michiru yang terlihat dikelilingi oleh lapisan kaca. Di belakangnya ada Seika, para peserta olimpiade dan juga beberapa juri yang seharusnya memberi penghargaan, semuanya tidak sadarkan diri.             Michiru mendengus pelan. “Seperti yang kuduga, Leviathan, ya?”             Makhluk mengerikan yang Michiru panggil sebagai Leviathan kembali mengeluarkan suara tawa yang mengerikan. “Kau … apa kau seseorang yang dikirim oleh Merqopolish untuk mengumpulkan pecahan kami?”             “Untuk salah satu iblis terkuat meminjam kekuatan manusia, apa kau jatuh serendah itu?”             “Hah, terima kasih pada kalian yang sudah memecah kekuatan kami menjadi ribuan keping,” balas Leviathan. “Meski begitu, dengan kekuatanmu yang sekecil itu … kau yakin bisa melukaiku?”             Michiru mendecakkan lidahnya, kemudian ia mengangkat sebelah tangannya. Seika dan orang-orang lainnya yang tidak sadarkan diri di belakang Michiru terangkat ke udara, dengan perlahan-lahan mereka melayang ke arahku.             Dengan matanya yang merah menyala, Leviathan melirik ke arahku. “Hm? Sejak kapan penyihir dari Merqopolish menolong manusia biasa?”             “Terima kasih pada sekelompok iblis yang tiba-tiba berpikir untuk menguasai dua dunia utama,” jawab Michiru dengan sarkas.             Leviathan hanya tertawa singkat. “Oh? Untuk seorang penyihir yang masih bocah ingusan sepertimu … berani melawanku?”             Michiru mengangkat kedua bahunya. “Kau pikir kau bisa mengeluarkan kekuatanmu saat ini?”             Mulut Leviathan kembali terbuka memperlihatkan taringnya yang tajam. “Sayangnya jika aku melakukan itu, tubuh manusia yang kupinjam ini tidak akan kuat.”             “Kalau kau mengerti, bagaimana jika menyerah saja?”             “Hahaha! Menyerah?” Tubuh raksasa Leviathan kembali mengeluarkan asap berwarna merah. Seketika tubuhnya seperti melebur bersama asap itu. Lalu di tengah-tengah kepulan asap itu, terlihat Homura yang saat ini sebagian tubuhnya terlihat dipenuhi oleh sisik seperti Leviathan.             Homura tersenyum dengan taring yang keluar dari mulutnya, ia menatap Michiru dengan matanya yang berwarna merah. “Dengan ini sepertinya cukup. Bocah Merqopolish, aku akan bermain denganmu sebentar. Setelah aku merasa bosan denganmu …” Homura yang saat ini tubuhnya sedang dikendalikan oleh Leviathan kembali menatap ke arahku. “Mungkin aku akan bermain dengan temanmu selanjutnya?”             Kali ini wajah Michiru langsung berubah serius. Ia mengatakan sesuatu yang belum pernah kudengar. Ruangan yang gelap gulita sebelumnya mendadak terang beberapa detik, kilatan cahaya seperti petir keluar dari tangan Michiru. Semakin lama, kilatan itu membentuk seperti pedang.             Pedang itu … bukankah terlihat seperti Soumin Shourai milik Kazuyoshi yang sudah hancur?             “Oya? Kau memiliki mainan yang menarik.”             “Meski bukan aslinya, kekuatan mainan ini pernah mengalahkan temanmu.”             Leviathan terkekeh pelan. “Ayo kita lihat siapa yang sebenarnya banyak bicara, bocah!”             Ketika Leviathan selesai mengatakan hal itu, dengan cepat ia melesat ke arah Michiru. Dengan Soumin Shourai yang seperti dilapisi oleh petir, Michiru menahan cakar tajam dari tangan Leviathan.             Leviathan … karena merasa tertarik dengan cerita Michiru mengenai tujuh dosa besar manusia yang dilambangkan oleh iblis, aku mengingat kalau Leviathan merupakan iblis yang melambangkan iri hati manusia.             Iri, ya? Homura yang selalu kalah sejak dulu ternyata memiliki perasaan seperti itu pada Seika. Pantas saja dengan mudah Leviathan bisa mengendalikan tubuhnya …             Tetapi entah kenapa rasanya sedikit aneh. Meski pun setiap kali Homura kalah dalam hal akademis semenjak Sekolah Menengah Pertama dari Seika. Aku melihat tatapan Homura pada Seika penuh dengan rasa kagum. Sejak kapan perasaan kagum itu berubah menjadi iri?             Bahkan ketika terakhir kali aku dan Seika bertemu dengannya di lobi hotel, sepertinya tidak terlihat kalau Homura memiliki perasaan iri pada Seika. Dia benar-benar terlihat ingin mencoba kemampuan akademiknya dengan alasan bertaruh dengan Seika.             Kenapa tiba-tiba dia berubah dalam satu hari?             Jauh di depan sana, Michiru dan Leviathan masih sama-sama sibuk membalikkan serangan. Bahkan aku merasa kalau tekanan udara di sekitarku menjadi berat.             Dengan usaha yang keras, aku menarik orang-orang yang tidak sadarkan ini menjauh dari mereka semua. Tapi, kenapa hanya ada orang-orang ini saja? Ke mana yang lain? Bukankah di aula ada banyak sekali orang yang hadir untuk melihat upacara pemberian penghargaan itu?             Aku hanya bisa berpikir kalau Michiru menggunakan sihirnya untuk memisahkan keberadaan orang-orang yang jauh dari panggung ke tempat lain …             Meski begitu, aku tidak melihat apa pun selain kegelapan. Rasanya seperti berada di ruangan yang kosong, meski tekanan udara yang kurasakan tidak seberat sebelumnya jika dibandingkan dengan berada di dekat Michiru yang sedang bertarung itu.             Aku hanya bisa mengepalkan kedua tanganku, karena tidak bisa membantu Michiru seperti sebelumnya. Kekuatan sihir terus melesat di antara Michiru dan Leviathan yang sedang bertarung satu sama lain.             Hembusan angin kencang terasa ketika cakar Leviathan melesat ke arah Michiru seakan merobek udara. Begitu juga dengan suara yang terdengar seperti gemericik yang keluar dari petir yang melapisi Soumin Shourai yang dipegang oleh Michiru.             Meski sudah mengetahui kalau air suci atau pun garam laut yang kata Kazuyoshi dan Tetsushi dapat melenyapkan hantu … ketika kedua benda itu dilemparkan pada sesuatu yang memiliki kekuatan iblis sepertinya tidak memiliki efek.             Lalu, kira-kira apa yang bisa melemahkan kekuatan iblis itu yang mengendalikan seseorang?             Leviathan … iblis yang mencerminkan perasaan iri seorang manusia. Lalu perubahan sikap Homura yang biasanya tidak memperlihatkan perasaan iri pada Seika.             Entah kenapa aku mengingat apa yang dilakukan oleh guru yang membisikkan sesuatu pada Homura sebelum akhirnya Homura menyerang Seika …             Apakah guru itu berkata sesuatu sehingga tiba-tiba Homura iri pada Seika? Ah! Kenapa aku terlalu banyak berpikir di keadaan yang seperti ini!             “Akari …” suara pelan dari Seika terdengar dari balik punggungku.             “Seika! Kau baik-baik saja?” tanyaku langsung memeriksa seluruh tubuh Seika. Sepertinya selain kehilangan kesadaran karena sihir Michiru yang tiba-tiba, dia tidak terluka sedikit pun.             “Akari? Kenapa gelap sekali? Aku tidak bisa melihat apa pun! Akari, kau di mana?” tanya Seika.             Hm? Ini aneh. Padahal aku berdiri tepat di depannya. Seketika aku seperti tersadar sesuatu. Saat ini aku berada di dalam kegelapan, tetapi kenapa aku bisa melihat tubuhku dan juga Seika dan yang lainnya di depanku?              Apakah karena terlalu lama bersama dengan Michiru, aku juga jadi memiliki kekuatan sihir!?             Tentu tidak mungkin. Sepertinya Michiru melakukan sesuatu pada mataku, buktinya dia menyuruhku untuk melindungi Seika dan orang-orang ini dari Michiru yang sedang sibuk bertarung dengan Leviathan itu!             “Akari, kau di mana?” tanya Seika sambil menggapai-gapaikan tangannya di udara.             Aku langsung menggenggam tangan Seika yang berusaha mencariku dengan kedua tangan. “Aku di depanmu, Seika. Tenang saja, semuanya baik-baik saja.”             “Homura … bagaimana dengan Homura?”             “Dia … um, aku tidak tahu. Tiba-tiba saja ruangan ini jadi gelap, aku tidak bisa melihat apa pun!” kataku berbohong.             “Aku tidak tahu kenapa Homura tiba-tiba berusaha menusukku dengan pena. Tetapi, sebelum semuanya menjadi gelap dan aku kehilangan kesadaran, sepertinya aku melihatnya menangis.”             “Menangis? Homura menangis?” tanyaku bingung.             “Iya. Dia mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak mendengarnya, lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap …”             Oh, kalau benar Homura menangis, bukankah kejadiannya berbeda dari apa yang aku bayangkan?              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN