22 - Taruhannya

1643 Kata
            Seluruh ruangan itu masih gelap. Sedangkan Michiru masih sibuk bertarung melawan Leviathan dengan menembakkan kekuatan sihir yang berwarna-warni seperti sebuah pertunjukkan kembang api. Sayangnya, aku tidak memiliki pemikiran untuk menikmatinya saat ini.             Di sebelahku, Seika menggapai-gapaikan tangannya ke udara, seperti sedang mencari sesuatu di dalam kegelapan. “Akari, kau di mana?”             Aku langsung menggenggam tangan Seika dengan erat. “Aku di depanmu, Seika. Tenang saja, semuanya baik-baik saja.”             “Homura … bagaimana dengan Homura?”             “Dia … um, aku tidak tahu. Tiba-tiba saja ruangan ini jadi gelap, aku tidak bisa melihat apa pun!” kataku berbohong.             “Aku tidak tahu kenapa Homura tiba-tiba melakukan hal itu … terlihat kalau dia berusaha untuk menusukku dengan sesuatu. Tetapi, sebelum semuanya menjadi gelap dan entah bagaimana caranya aku bisa kehilangan kesadaran, sepertinya aku melihatnya menangis.”             “Menangis? Homura menangis?” tanyaku bingung.             “Iya. Dia mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak mendengarnya karena suaranya terlalu kecil, lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap …”             Hm? Apakah seseorang yang berusaha untuk melukai orang lain karena merasa iri akan menangis ketika ia melakukannya? Rasanya tidak … bukankah lebih tepatnya ia melakukan itu karena terdesak oleh sesuatu?             “Seika, tunggu di sini. Jangan bergerak ke mana pun, jangan melakukan apa pun, jangan mengeluarkan suara sedikit pun!”             “Ha? Kau mau ke mana? Akariii!”             Karena khawatir keadaannya semakin berbahaya untuk Michiru, aku berlari dengan sekuat tenaga ke arah Michiru yang masih sibuk bertarung dengan Leviathan.             Aku masih tidak tahu apa yang dimaksud oleh Michiru dengan ‘dikendalikan’ oleh kutukan iblis itu. Aku juga tidak tahu apakah aku yang berlari mendekati bahaya ini pilihan yang benar, aku juga tidak tahu apakah rencana ini akan berhasil.             Tetapi yang jelas, dari semua film, anime, dan n****+ yang k****a, karakter utama dalam sebuah cerita tidak akan mati semudah itu …             Untung saja tidak ada kekuatan sihir nyasar, aku hanya perlu berhati-hati dengan angin yang terasa lebih tajam dari hembusan angin biasa ketika Leviathan menyerang menggunakan cakarnya.             “Homura!!” sahutku kencang ketika aku sudah berdiri tidak terlalu jauh dari Michiru dan Leviathan.             Mata merah Leviathan langsung tertuju padaku. Kali ini efek mengerikannya terasa sedikit berkurang, karena sebelumnya aku sudah sering merasa tatapan tajam darinya.             “Akariii!” sahut Michiru sambil menggertakkan giginya, terlihat kesal dengan apa yang aku lakukan. Heh, tentu saja.             “Homura! Seseorang dengan niat yang kuat sepertimu, apakah bisa dikendalikan begitu mudah oleh iblis!?”             Leviathan terkekeh pelan. “Apa ini? Bukankah kau memilih seseorang yang menarik sebagai teman, penyihir dari Merqopolish?”             Michiru sedikit mengerutkan keningnya. Dalam posisinya yang bertahan, ia pasti sedikit kesulitan untuk melindungiku jika Leviathan tiba-tiba menyerangku.             Tetapi sebaliknya, jika Michiru hanya terfokus untuk melindungiku, kemungkinan besar keinginan ‘Homura’ yang sebelumnya ingin melukai Seika akan dikabulkan oleh Leviathan, dan dia akan menyerang Seika dan peserta olimpiade lainnya yang tidak sempat Michiru keluarkan dari ruangan yang ia ciptakan dengan sihirnya.             “Homura! Apa perasaan kagumku padamu yang tidak mudah menyerah untuk mengalahkan Seika salah?” sahutku lagi. Ah, bahkan aku tidak tahu apa yang kulakukan sekarang.             “Hehehe, mungkin aku akan bermain dengannya seben—”perkataan Leviathan terhenti sejenak. Bahkan gerakannya juga.             Melihat kesempatan itu, dengan cepat Michiru menyerangnya dengan kekuatan sihir yang lebih kuat. Akhirnya ia berhasil melukai kaki Leviathan. Karena mendapat luka yang tiba-tiba, Leviathan berlutut dengan sebelah kakinya.             Leviathan mendekap dadanya terlihat seperti kesakitan. Melihatnya yang seperti itu … apa rencanaku berhasil? Apa sebenarnya kesadaran Homura masih ada di sana?             “Homura, aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba melakukan hal itu pada Seika. Tetapi, kau melakukannya bukan karena kau iri, kan!?” sahutku, berharap kalau Homura bisa tersadar dengan kekuatannya sendiri.             Aku hanya bisa melakukan hal sekecil ini, sisanya … hanya bisa dilakukan dengan kekuatan dan keinginan Homura sendiri.             “Manusia … apa yang kau—”             Selagi semua perhatian Leviathan tertuju padaku, dengan mudah Michiru menciptakan tali yang terbuat dari sihir dan menggunakannya untuk mengikat Leviathan sampai ia tidak bisa bergerak lagi. “Kau salah memilih cawan, Leviathan.”             Mata Leviathan semakin merah menyala. Raungan yang memekakan telinga kembali terdengar. Rasa takut seketika membanjiri tubuhku karenanya, kakiku yang terasa lemah seperti agar-agar membuatku terjatuh.             “Aku melakukannya untukmu! Untukmu! Semua ini seharusnya menjadi milikmu!” sahut Leviathan tiba-tiba.             Michiru yang merasa kalau kekuatan Leviathan semakin lemah dengan cepat langsung mendekatinya. Ia mengangkat Soumin Shourai yang dibuat dengan sihirnya dan langsung menusuknya tepat di jantung.             “Michiru, apa yang kau lakukan!? Bagaimana jika kau melukai Homura?” sahutku ketika melihat apa yang dilakukan Michiru.             “Tidak perlu khawatir, aku membuat pedang tiruan yang memiliki kekuatan suci dunia ini dengan sihirku. Aku bisa mengendalikannya dengan mudah,” jawab Michiru yang malah terdengar santai.             “Manusia, aku akan memakanmu!” sahut Leviathan padaku.             Suaranya yang mengerikan membuatku sedikit takut, aku menyeret tubuhku berusaha menjauh yang masih belum bisa berdiri karena kakiku yang masih gemetaran.             “Semuanya sudah terkendali. Terima kasih, Akari,” kata Michiru terdengar senang.             Soumin Shourai yang masih tertusuk di d**a Leviathan seketika mengeluarkan cahaya yang membutakan mata. Bahkan, meski aku berusaha menghalangi cahaya itu dengan tangan dan menutup mata, rasanya cahaya itu masih terlihat dengan jelas.             Raungan kesakitan Leviathan terdengar kesakitan, tetapi semakin lama raungan itu semakin terdengar menjauh dan menghilang. Ruangan yang awalnya hanya ada kegelapan berubah menjadi ruangan serba putih.             Tidak jauh di depanku, ada Michiru yang sedang berlutut di samping Homura yang kehilangan kesadaran. Melihat hal itu, aku langsung membalikkan tubuhku dengan cepat untuk melihat keadaan Seika dan peserta olimpiade lainnya. Untung saja mereka terlihat baik-baik saja …             Meski sedikit susah untuk berdiri karena kakiku masih gemetar, aku berusaha untuk mendekati Michiru dan Homura.             Tangan Michiru yang berada di d**a Homura terlihat bercahaya. Dari balik baju Homura yang robek akibat tusukan dari Soumin Shourai, aku melihat luka yang ada di sana semakin lama semakin mengecil dan akhirnya menutup semua.             Apa … apa Michiru baru saja berhasil mengalahkan iblis itu? Apa memang semudah ini? Atau … apa memang seberuntung ini?             Michiru yang sudah selesai menyembuhkan luka Homura langsung jatuh terbaring di atas lantai. “Michiru!” sahutku langsung merangkak mendekati Michiru.             “Aku baik-baik saja. Hanya terlalu banyak menggunakan sihir,” jawab Michiru singkat dengan senyuman tipis di wajahnya.             Aku mengusap wajahku mencoba untuk menghilangkan stress yang datang. “Apa … apa sudah selesai? Apa sekarang semuanya baik-baik saja?”             Michiru menganggukkan kepalanya. “Kata-katamu itu cukup membantu, Akari! Sepertinya kali ini aku sedikit beruntung karena Leviathan salah memilih seseorang yang dijadikan sebagai cawan kekuatannya.”             Aku mendesah lega setelah mendengarnya. “Tapi berarti … jika benda yang memiliki kutukan iblis itu mengendalikan seseorang yang sesuai dengan kekuatannya, berarti …”             “… berarti akan lebih sulit untuk mengalahkannya dari pada ini,” lanjut Michiru.             Aku menelan ludahku dengan susah payah. Berarti jika hal itu sampai terjadi, aku tidak bisa membantu Michiru dengan cara yang kulakukan sebelumnya.             Tiba-tiba Michiru menyentil keningku dengan jarinya. “Aww, kenapa kau melakukan itu!?” Dengan cepat aku mengusap keningku yang terasa sakit. Orang ini … apa dia menggunakan sihirnya untuk memperkuat jarinya!?             “Jangan lakukan hal ceroboh seperti tadi lagi!” sahut Michiru marah.             Aku hanya bisa menutup mulutku karena tidak bisa membalas perkataan Michiru. Setelah beberapa saat, akhirnya aku berkata, “Maaf …”             Michiru hanya mendesah panjang, lalu ia duduk dan mengusap keningku yang masih terasa sakit. “Aku tidak tahu dari mana kau memiliki ide untuk melemahkan kekuatan Leviathan dengan cara itu. Tetapi, aku benar-benar tidak suka dengan caramu itu.”             “Mmm, lain kali aku tidak akan melakukannya lagi,” kataku semakin merasa bersalah.             “Jika suatu hari nanti hal yang sama terjadi, sebaiknya kau pergi menjauh, Akari,” tambah Michiru.             Aku tidak berniat untuk berjanji akan melakukannya atau membalas perkataan itu. Karena aku juga tidak mau kalau Michiru sampai berada dalam keadaan yang bisa membahayakannya.             Merasa tidak akan mendapat janji dariku, Michiru kembali mendesah dan berdiri dari duduknya. “Aku harus membereskan beberapa hal. Tutup matamu beberapa saat, ketika kau merasa kalau di sekitarmu mulai ramai, kau bisa membukanya lagi.”             Meski bingung, aku menuruti perkataannya. Rasanya aku seperti terangkat di udara, kemudian rasanya aku seperti turun menggunakan lift. Beberapa saat kemudian, aku mulai mendengar suara. Terdengar seperti banyak orang yang sedang berbicara satu dengan yang lainnya.             Aku langsung membuka mataku, entah bagaimana caranya, aku sudah kembali di aula tempat untuk memberikan penghargaan pemenang olimpiade.             Sedikit panik aku langsung melihat ke arah panggung. Di sana entah kenapa Seika masih menerima penghargaan  dan berfoto dengan juri. Kemudian ia duduk di kursinya.             Kejadian ini … jangan-jangan Homura akan menyerang Seika lagi! Tetapi untung saja ia tidak melakukannya. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Homura menerima penghargaan dengan senyuman di wajahnya dan berfoto dengan juri. Tidak ada kejadian Homura yang menusuk Seika …             Aku mendesah lega setelah upacara pemberian penghargaan selesai. Di sampingku, Michiru tiba-tiba muncul dan berkata, “Beres, ‘kan?”             Aku hanya bisa tersenyum miris padanya. Apa aku bisa belajar sihir suatu hari nanti?             “Akaaariii~~” Suara yang tidak asing itu terdengar dari jauh. Seika yang memegang penghargaan dan piala di masing-masing tangannya berlari ke arahku. “Akari, aku menang!”             “Mmm, kamu hebat,” kataku yang ikut merasa senang untuknya.             Dari ujung mata, aku bisa melihat Homura yang mulai mendekat. Sepertinya Seika juga melihatnya, karena wajahnya sedikit berubah.             Ketika Homura akhirnya berdiri di dekatku dan Seika, ia berkata, “Seperti biasa, Rizumu. Kau memang hebat.”             “Hmph! Kau masih terlalu cepat seratus tahun untuk mengalahkanku!”             Aku sedikit terkejut karena Homura tersenyum tipis. Apa ada efek samping dari seseorang yang terkena kutukan iblis??             “Taruhannya. Apa yang kau inginkan?” tanya Homura.             Seika membuka mulutnya lebar-lebar, tetapi tidak ada satu kata pun keluar dari sana. Sebaliknya, ia malah mendesah panjang, lalu beberapa saat kemudian akhirnya ia berkata, “Tahun depan.”             “Tahun depan?” tanya Homura bingung.             “Ikut olimpiade tahun depan,” tambah Seika.             Melihat sikap Seika yang lucu seperti itu, aku tidak bisa menahan tawaku lebih lama. Dengan wajah yang merah Seika langsung menarikku menjauh dari tempat itu.             “Aku akan mengikuti olimpiade tahun depan, Rizumu! Aku akan mengalahkanmu selanjutnya!” sahut Homura yang kemungkinan baru mengerti apa yang dikatakan Seika.             Meski Seika tidak menjawabnya, tetapi dari senyuman di wajahnya sepertinya ia merasa puas dengan jawaban Homura.             Aku menyikut rusuk Seika dengan pelan. “Arere~ kenapa kau tiba-tiba jadi pemalu seperti ini?”             Wajah Seika langsung cemberut, tetapi ia tidak merasa marah sedikit pun. Entah kenapa ia merasa kalau bersaing dengan Homura tidak buruk juga. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN