12 - Air Suci? Garam Laut? Tidak Mempan!

2087 Kata
            Kami langsung menuju sekolah setelah Kazuyoshi selesai mengganti pakaiannya. Meski dengan wajah yang sedikit cemberut, dia tetap senang karena masih bisa menggunakan Soumin Shourai untuk melakukan ritual pengusiran hantu seperti nenek moyangnya.             Seperti sebelumnya, meski baru jam tujuh malam sekolah terlihat sangat mengerikan. Karena tidak ada bangunan lain di sekitar sekolah, bangunannya juga sangat gelap karena semua lampu sudah dimatikan.             “Permisiiii!!” sahut Seika kencang. “Ada oraaang?”             Tetapi, tidak ada seorang pun yang menjawab.             “Seharusnya ada penjaga sekolah, ‘kan? Kenapa tidak ada yang jawab?” tanyaku.             Seika mengusap dagunya. “Jangan-jangan bapak penjaga sekolah keasikan nonton drama Korea pakai Wi-Fi sekolah …”             Setelah Seika mengatakan hal itu, tidak jauh dari mereka terdengar suara seseorang yang berdeham kencang. Beberapa detik kemudian, penjaga sekolah yang sebelumnya ditemui olehku dan Seika terlihat.             “Eh! Bapak penjaga sekolah~ Apa kabar?” tanya Seika sok akrab.             Penjaga sekolah itu hanya mendengus pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa? Apa ada barang yang tertinggal lagi?” tanyanya.             “Hehe, kali ini kami datang secara resmi, pak!”             Michiru mengeluarkan sebuah kertas dari kantung celananya, kemudian memberikannya pada penjaga sekolah itu. “Selamat malam pak, sebelumnya kami sudah dapat izin untuk masuk ke sekolah malam hari untuk kegiatan praktik club kami …”             Penjaga sekolah itu menerima kertas yang diberikan oleh Michiru. Sambil membacanya, ia berkata, “Oh! Club astronomi ya? Seingatku club itu bubar belum lama ini. Berarti kalian penerusnya?”             “Bisa dibilang begitu pak …” jawab Seika.             Penjaga sekolah kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ketuanya … pasti kamu, ya? Namanya susah, pasti turunan bule,” katanya sambil mengembalikan kertas itu pada Michiru.             “Saya murid pindahan pak,” jawab Michiru.             Penjaga sekolah itu akhirnya membuka gerbangnya, kemudian menyuruh kami masuk. “Jangan terlalu berisik, ya? Kalau ada apa-apa ke pos yang ada di sana saja.”             “Baik pak, terima kasih!” kataku, yang lain mengikuti setelahnya.             “Oh iya, jangan ganggu saya pas jam sepuluh malam, ya,” tambah penjaga sekolah itu tiba-tiba.             “Memangnya ada apa, pak?” tanya Tetsushi.             “Jam sepuluh nanti ada drama Korea yang tayang langsung, saya ga boleh ketinggalan,” katanya singkat.             Aku dan yang lainnya hanya tersenyum miris dan cepat-cepat pergi dari sana.             Seperti malam sebelumnya, koridor sekolah terasa sangat mengerikan di malam hari. Untung saja malam ini tidak hanya ada aku dan Seika, jadinya tidak terasa seram seperti sebelumnya.             “Oi hantu, keluar kau!” sahut Michiru tiba-tiba.             Seika memukul punggung Michiru dengan keras. “Kalau beneran keluar gimana!?”             “Loh, bukannya itu tujuan utama kita ke sini, ‘kan?” tanya Kazuyoshi sambil mengangkat Soumin Shourainya tinggi-tinggi.             “Jangan sekarang, aku belum siap!” balas Seika, Kazuyoshi juga tidak lepas dari pukulan Seika.             Sambil mengaduh pelan, Michiru berkata, “Bagaimana kalau kita periksa ruangan club astronominya terlebih dahulu? Barang-barang kalian cukup banyak, ‘kan?”             Aku mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. “Apa lagi barang Seika. Kalau kita dikejar hantu, pasti Seika yang—”             Tangan Seika yang siap diangkat untuk memukulku menghentikan perkataanku selanjutnya. Dengan terkekeh pelan, aku, Michiru dan yang lainnya menuju ruangan club astronomi yang sudah diberitahu sebelumnya oleh Takamura-sensei.             Untung saja malam ini bulan purnama, sehingga koridor sekolah sedikit terang ketika awan yang sebelumnya menutupi sinar bulan mulai menghilang. Ditambah dengan cahaya senter yang kubawa, kami dengan mudah menemukan ruangan club astronomi.             Michiru membuka pintu club ruangan itu dengan semangat, tetapi sedikit kemudian langsung kecewa. Melihat kekecewaan Michiru yang tiba-tiba, aku pun mengintip melewati bahu Michiru untuk melihat apa yang membuatnya kecewa.             “Berantakan!” sahutku setelah melihat ruangan club astronomi yang seperti terbengkalai berpuluh-puluh tahun. Debu berterbangan ketika kami memasuki ruangannya, banyak sarang laba-laba di sana sini. Sepertinya seseorang lupa untuk menutup jendela ruangan itu, sehingga angin meniupi kertas-kertas dan dedaunan dari luar ruangan yang hampir memenuhi seluruh lantai ruangan itu.             Untung saja, peralatan yang digunakan untuk praktik seperti teropong, teleskop, dan beberapa alat lainnya ditutupi oleh kain, sehingga alat-alat itu tidak terlalu kotor.             “AAaaaAaa, jangan bilang kita harus kerja bakti!” sahut Kazuyoshi.             Tetsushi langsung menggulung lengan panjang kemejanya. “Tidak ada pilihan lain, ‘kan?”             “Kenapa harus capek-capek? Aku tinggal pakai sih—”             Dengan cepat aku menginjak kaki Michiru untuk menghentikan perkataannya. Seketika baru sadar, Michiru memukul keningnya. Aku harap otaknya sedikit bergeser ke tempat yang lebih nyaman supaya dia tidak telmi seperti biasanya …             “Pakai apa?” tanya Seika.             “Pakai … pakai jurus lakukan-nanti-saja~~” kata Michiru sambil menggerak-gerakan tangannya asal.             Aku mendesah panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku yang akan menyapu lantainya,” kataku setelah melihat sapu yang ada di ujung ruangan.             Tetsushi menganggukkan kepalanya, mengambil kemoceng yang tidak jauh diletakkan di dekat sapu. “Kalau begitu aku bersihkan alat-alatnya.”             Dilihat dari gerakannya yang gesit, sepertinya Tetsushi juga sering melakukan pekerjaan rumah. Dengan senyum aku mulai menyapu lantai.             Michiru, Seika dan Kazuyoshi yang melihatku dan Tetsushi yang langsung membersihkan ruangan itu hanya diam di tempatnya.             “Bagaimana kalau kita main kartu?” tanya Michiru tiba-tiba.             Dengan senang hati aku mencubit pinggangnya. “Bantu bersihin!”             “Baik Nyonya, maafkan hambamu ini, Nyonya,” kata Michiru cepat sambil mengelus bagian yang baru saja kucubit.             Seika dan Kazuyoshi langsung pura-pura sibuk karena takut kucubit juga. Dengan lima orang yang membersihkan ruangan itu, hanya butuh waktu sebentar sampai ruangan itu layak huni!             Dengan bangga kami melihat ruangan club yang sudah bersih dan mengkilap. Tetapi, entah kenapa sepertinya aku melupakan sesuatu …             Michiru membanting kemoceng yang dari tadi ia pegang. “Kita ke sini mau cari hantu, ‘kan!?”             Ah! Ternyata itu yang sempat dilupakan. Terlihat dari wajah yang lain, sepertinya mereka juga lupa karena sedikit semangat membersihkan ruangan club.             Tetsushi berdeham setelah menyimpan alat-alat pembersih di ujung ruangan. “Kumo dan Rizumu lihat … lihat ‘hantu’ itu di mana?”             “Di depan kelas kita. Tapi karena saking takutnya, aku dan Akari tidak sempat lihat hantu itu hilangnya di mana …” jawab Seika.           “Yaudah ayo langsung pergi ke kelas kita!” sahut Michiru semangat sambil mulai berlari keluar ruangan.             Tapi baru satu langkah berlari, Kazuyoshi menarik kerah baju Michiru dengan gesit. “Kau pikir hantunya bakal muncul kalau kita banyakan?”             Michiru langsung berhenti. “Mmm, ya?”             Kazuyoshi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendecakkan lidahnya. “Kemungkinan besar, hantu itu tidak akan muncul! Percaya pada buku catatan keluargaku.”             “Oh, Senior! Lalu, apa yang harus kita lakukan, Senior!” Michiru langsung melihat Kazuyoshi dari cahaya yang berbeda.             “Ah, entah kenapa aku punya firasat buruk,” gumamku pelan.             “Lakukan seperti kemarin! Kumo dan Rizumu yang akan pergi ke depan kelas.”             Seika langsung memegang kedua bahu Kazuyoshi dengan keras. “Hah? Kau menggunakan aku dan Akari sebagai umpan? UMPAN? UMPANNN?”             Tetsushi tersenyum miris. “Apa tidak ada cara lain?”             “Percayalah pada catatan keluargaku!” kata Kazuyoshi sambil mengacungkan ibu jarinya padaku dan Seika.             “Akari~ aku tidak mau~” kata Seika sambil menggenggam tanganku.             “Tidak ada cara lain, ‘kan?” Jika memang apa yang dilihatku sebelumnya adalah hantu … sepertinya tidak masalah. Tapi, jika apa yang kulihat dan Seika adalah benda yang memiliki kutukan iblis, jika tidak dihentikan secepatnya, bukankah akan semakin berbahaya?             Michiru ikut mengacungkan ibu jarinya padaku. “Tenang saja, Akari! Kami akan melindungimu dari jauh!” katanya sambil tersenyum memamerkan giginya.             Seika menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mendesah panjang sambil memijat keningku karena pusing yang mulai datang. “Ayo kita lakukan,” kataku.             Kazuyoshi mengacungkan ibu jari pada kedua tangannya. “Kumo memang hebat!”             “Tidakkkk!!” sahut Seika sambil berlutut.             .             .             Meski Seika menolak terus menerus, setelah diberi janji ‘aku akan melakukan satu hal apa pun itu untukmu’ dari Michiru, akhirnya Seika memberanikan dirinya untuk mengumpat di belakangku selama di perjalanan menuju kelas. Meski begitu, Seika patut mendapat pujian.             Suara statistik radio mengejutkan Seika yang membuatku terkejut. Tidak lama setelahnya, suara Michiru yang sedikit putus-putus terdengar, “Kijang satu, kijang satu, ganti!”             Aku mendesah panjang. Tidak percaya kalau Michiru bawa HT[1] untuk menjalankan misi ini … “Belum muncul.”             “Ayolah, Akari! Ikuti protokolnya! Ganti!” jawab Michiru terdengar dari HT.             Aku memilih untuk fokus mencari ‘hantu’ itu dari pada ikut bermain dengan Michiru.             Sesuai rencana sebelumnya, aku dan Seika akan berjalan menuju kelas seperti saat Seika mencari kuncinya yang tertinggal. Seika masuk ke dalam kelas sendiri, aku menunggu di luar kelas, sedangkan ketiga lelaki tidak bergu… Michiru, Tetsushi dan Kazuyoshi menunggu di tangga yang tidak jauh dari kelas.             Tidak lama setelah Seika masuk ke dalam kelas. Seperti hari sebelumnya, dari sudut mata terlihat cahaya berwarna merah yang tiba-tiba muncul. Selanjutnya terdengar suara rantai yang diseret di atas lantai. Akhirnya muncul juga! Karena merasa akrab setelah pertemuan sebelumnya, rasa takutku tidak seperti sebelumnya.             Tetapi yang membuatku bingung, cahaya itu tiba-tiba hilang. Aku langsung menghadap ke arah cahaya itu. Tetapi tidak ada apa-apa. Aku mengintip Seika yang masih ada di dalam kelas, sepertinya dia sudah selesai mengambil ‘kunci’nya. Dengan cepat aku menyebarkan pandanganku ke sekitar. Tetapi cahaya merah itu tetap tidak ada. Ke mana?             Seketika, aku merasa ada sesuatu yang menatapku dengan lekat. Dengan cepat aku menengadahkan kepalaku, menatap ke arah ‘sesuatu’ yang memerhatikanku sejak tadi.             Di atas sana, dengan kulitnya yang berwarna hitam, memiliki empat kaki yang tertancap di langit-langit koridor, mata yang berwarna merah menyala, dan lidah panjang yang keluar masuk dari mulutnya membalas tatapanku dengan tajam.             Aku menelan ludahku dengan susah payah. Dengan kaki yang bergetar, aku berlari sekuat tenaga. “Maafkan aku, SeikaaaaaaaaaaaAAaaa!!” sahutku karena tidak tahan ingin berteriak.             Seika yang saat itu baru saja membuka pintu kelas semakin takut karena melihatku berlari meninggalkannya sendiri. “Akari! Kenapa kamu ninggalin aku!!” Seika yang sebelumnya sempat melihatku menatap langit-langit koridor ikut melakukannya. Dengan napas panjang, Seika mulai mengejarku sambil berkata, “Akariii tenang~ itu hanya tokek! Tokek raksasa!!”             “Kijang satu, kijang satu! Aku mendengar suara langkah kaki, apa itu kau?” pertanyaan Michiru terdengar dari HT. Aku tidak sempat membalas pertanyaan itu karena sibuk berlari dari tokek, makhluk yang paling membuatku takut lebih dari pada hantu!             Dengan cepat aku berbelok ke arah tangga tempat Michiru dan yang lainnya menunggu. “Michiru! Tokek!”             Michiru dan Tetsushi langsung memasang wajah kebingungan, sedangkan Kazuyoshi, yang tahu aku takut tokek sejak sekolah dasar tertawa terbahak-bahak.             “Akari~ kenapa kamu ninggalin aku~ itu kan cuman tokek!” kata Seika dengan napasnya  yang terengah-engah sehabis mengejarku.             Tubuhku langsung merinding ketika mendekar kata terlarang itu. “Jangan sebut makhluk itu lagi!” sahutku kencang.             Kazuyoshi semakin tertawa terbahak-bahak.             “Lalu, hantunya?” tanya Michiru.             Seika menaikkan kedua bahunya. “Aku tidak tahu, sepertinya dia tidak muncul? Apa hantu itu pintar dan sadar dengan rencana kita, ya?”             “Ah! Sebelum melihat tokek, aku lihat cahaya berwarna merah …” gumamku pelan.             Mendengar hal itu, Tetsushi mengintip ke arah lorong. “Umm, saat hantunya muncul kau lihat apa, Kumo?” tanyanya.             “Ada suara rantai yang diseret di lantai … lalu ada cahaya warna merah …” jawabku.             “Tadi kalian bawa senter ‘kan?” Tanya Tetsushi lagi, dia masih ngintip kearah lorong.             “Aku yang pegang, nih!” kata Seika sambil memperlihatkannya pada yang lain.             “Kalau senter warnanya apa sih?”           “Warna putih gitu lah, emang kenapa sih?” Seika balik bertanya karena merasa sikap Tetsushi sedikit aneh.             Tetsushi akhirnya berhenti mengintip ke arah lorong, ia perlahan-lahan memutar tubuhnya ke arahku dan yang lainnya. “Itu ... ada cahaya, aku kira senter kalian tertinggal saat kalian lari tadi. Tapi senternya ada di sini.” Dia menunjuk senter yang di pegang Seika. “Lalu, cahaya yang kulihat warna merah …” kata Tetsushi menunjuk arah lorong.             Karena otakku yang entah kenapa tiba-tiba merasa tidak bekerja untuk sesaat, akhirnya aku, Michiru dan yang lainnya ikut mengintip ke arah lorong. Lalu kami semua melihat satu hal yang sama, sebuah cahaya merah yang semakin lama semakin mendekat …             “I-itu hantunyaaaa auifdjoiewhfoiehfoiwhfiwe.” Seika mulai menyebutkan kalimat yang hanya bisa dimengerti olehnya.             Dengan cepat Kazuyoshi mengeluarkan sebuah botol dari dalam tasnya. “Tenang, saudara-saudara ada aku di sini, dan taraaa~ Ini dia,  air suci! Jika sebuah arwah yang memiliki niat buruk terkena air suci ini—”             “Ahhh jelasin nya nanti aja!” Michiru langsung mengambil botol yang ada di tangan Kazuyoshi dan berhadapan secara langsung dengan cahaya berwarna merah itu. Kazuyoshi dan Tetsushi ikut di belakangnya, sedangkan aku memilih untuk melihat mereka dari belakang, jika Seika, dia sudah menutup matanya rapat dan masih menggumamkan kata yang hanya bisa dimengerti olehnya.             “Rasakan ini!” Michiru membuka botol air itu dan langsung menyiramnya ke arah cahaya itu. Suara rantai yang diseret di atas lantai terdengar semakin kencang. Namun, sepertinya air suci apalah itu tidak mempan(?)             Melihat air suci yang dibawa dari keluarga Kazuyoshi tidak mempan, Tetsushi mengeluarkan garam laut dari dalam tasnya. “Kalau begitu ini! Garam asli laut!” Tetsushi pun melempar satu sendok teh garam ke arah sosok itu. Beberapa detik berlalu, tetapi sepertinya garam laut juga tidak mempan. Malah, dengan suara rantai yang semakin kencang, dan cahaya merah yang semakin terang, makhluk itu mendekat ke arah kami.             “Oh! Ternyata memang bukan han—”Perkataan Michiru terpotong karena Kazuyoshi yang menariknya dengan cepat.             “Semuanya, untuk saat ini ayo kita mundur!” kata Kazuyoshi kencang, tangannya yang lain menarik Tetsushi. Melihat mereka lari dengan cepat, aku ikut mengejar mereka tidak lupa menarik Seika yang masih bergumam tidak jelas.   Note: [1] HT (Handy Talkie): seperangkat alat komunikasi dua arah yang menggunakan frekuensi radio sebagai medium untuk berkomunikasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN