“Lari! Jangan lihat ke belakang!” sahut seseorang yang terdengar seperti Seika. Mendengar teriakannya yang sangat panik, aku langsung menggerakkan kakiku untuk mulai berlari.
Tetapi, ke mana? Kenapa semuanya sangat gelap? Hanya hitam pekat yang memenuhi pandanganku. Suara teriakan Seika kembali terdengar, masih terus menyuruhku untuk lari.
Di antara teriakan itu, aku juga bisa mendengar suara yang diseret di atas lantai. Semakin lama, suara itu semakin mendekat, padahal sudah sekuat tenaga aku berlari.
Bulu kudukku meremang. Kakiku mulai sakit karena terus berlari, napasku terengah-engah. Rasanya paru-paruku seperti balon yang sudah kempes. Dalam kegelapan itu, hanya terdengar suara napasku yang tidak karuan. Suara Seika tidak terdengar lagi.
Panik, aku membalikkan tubuhku ke belakang, mencari keberadaan Seika. Tetapi dia tidak di sana. Sebaliknya, aku bisa melihat dengan jelas sebuah cahaya berwarna merah.
Suara rantai yang diseret di atas lantai kembali terdengar. Kali ini kakiku rasanya terbenam ke tanah. Aku berusaha untuk memalingkan pandanganku dari cahaya itu, tetapi tidak bisa.
Semakin lama, cahaya itu semakin dekat. Bau manis yang menyengat tercium oleh hidungku. Tetapi, apa yang kulihat di depanku tidak semanis aroma itu.
Seseorang menatapku dengan mata merahnya yang menyala. Tubuhnya sangat kurus, hanya seperti tulang dilapisi oleh kulit yang terlihat seperti tanah kering. Ia menyeringai, memperlihatkan taringnya yang tajam. Lidahnya terkulai sangat panjang, bahkan menyentuh lantai. Orang itu semakin dekat, bahkan aku bisa merasakan napasnya di wajahku sekarang.
Dengan tangannya yang seperti ranting kering, ia mencekik leherku dengan keras. Suara tawa memenuhi seluruh ruangan yang dibaluti oleh kegelapan ini. Ia membuka mulutnya seperti ingin berkata … Kriiing … Kringgg … Kringggggggggg.
Ah, suara menyebalkan ini … sepertinya aku pernah mendengarnya. Oh, benar! Suara jam alarmku. Dengan cepat aku menampar seseorang dengan wajah yang mengerikan ini, dan seketika aku kembali berada di kamar tidurku.
Untung saja mimpi … batinku. Meski begitu, tubuhku dibanjiri oleh keringat. Rasanya seperti nyata … benar-benar menakutkan.
Seika yang tidur disebelahku juga dibanjiri oleh keringat. Keningnya berkerut dengan dalam, ia juga menggumamkan kata ‘lariii … lari …’ seperti sedang dikejar-kejar.
“Seikaa … Seika bangunnn …” kataku berusaha untuk membangunkannya. Meski sudah menggoyang-goyangkan tubuhnya, ia masih tidak bisa dibangunkan.
Akhirnya, tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan jurus itu … jurus yang sudah lama terkunci karena Seika sangat kesal jika aku melakukannya. Jurus membangunkan Seika dengan menutup hidungnya dan menggelikitik pusarnya!
Baru menjalankan jurus itu selama dua detik, Seika langsung membuka kedua matanya lebar-lebar. Dengan cepat ia terduduk dari tidurnya dengan panik. “Akari … Akari kenapa kau ada di sini!?”
Mengetahui kalau Seika masih belum sadar sepenuhnya, aku sebaiknya ikut bersenang-senang. “Seika, bagaimana ini! Kita sepertinya berada di dimensi lain!”
Mata Seika bergetar cepat. “Dimensi lain? Apa makhluk merah bercahaya itu yang melakukannya!?”
“Kemungkinan seperti itu, tetapi saat ini kita berada di rumahku karena kamu yang ketakutan di rumah sendiri …” kataku akhirnya yang mulai kasian pada Seika.
Seika membuka dan menutup mulutnya berkali-kali seperti ikan yang dikeluarkan dari air. Sedetik kemudian ia mencubit lenganku setelah mengingat apa yang terjadi. “Kamvret kau Akari!!”
Aku terkekeh sambil mengaduh pelan karena Seika yang terus-terusan mencubitku. “Ayo cepat bangun. Kau harus pulang terlebih dahulu, ‘kan?”
Seika menggeram kesal sambil memegangi kepalanya. “PR Yuno-sensei belum kukerjakannn! Selamatkan aku, Akari~”
“Seharusnya aku yang mencontekmu, murid teladan nomer satu di sekolah,” kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku belikan kamu es krim di toko biasa.”
“Setuju,” kataku cepat sambil memberi Seika buku catatanku. “Mau sarapan di rumahku?”
“Mungkin lain hari! Aku takut telat menyalin PRmu ini!” jawab Seika sambil cepat-cepat membereskan rambutnya yang berantakan. Aku mengantarnya sampai pintu depan rumah.
“Kalau masih takut kamu boleh tidur di sini lagi kok,” kataku meledek.
“Gak!” jawabnya cepat sambil mengeluarkan lidahnya. Lalu menutup pintu depan di balik punggungnya. Namun, beberapa detik kemudian pintu itu terbuka lagi. “Ga ngerepotin ‘kan?”
Aku tersenyum pada sikap Seika yang plin-plan ini. “Engga kok.”
Wajah Seika sedikit cemberut. “Sampai nanti di sekolah!”
Aku membalasnya dengan ‘Mmm’ singkat. Kemudian berjalan ke dapur untuk mulai membuat sarapan. Tidak lama setelahnya, pintu kamar Michiru terbuka.
Masih dengan rambut yang acak-acakan Michiru menggumamkan kata selamat pagi dan duduk di kursi meja makan.
“Janjinya kau mau bantu aku buat sarapan!” kataku yang sedikit kesal dengan sikap Michiru yang malas-malasan itu.
“Mmm, besok,” jawabnya singkat.
“Besok aku suruh, kamu jawab besok, besoknya lagi jawab besok. Terus aja gitu sampai ayam melahirkan,” kataku ketus.
Michiru hanya tertawa mendengarnya. “Masih ngantuk, semalem setelah kalian berdua tidur, aku ke sekolah sebentar.”
Sebelah alisku terangkat. “Ke sekolah? Buat apa?”
Michiru mengangkat wajahnya yang jelas masih mengantuk itu. “Penasaran, itu hantu atau bukan …”
“Terus?”
“Ya bukan hantu,” jawabnya singkat.
“Terus?”
“Belum tahu sih. Aku cek kemarin cahaya merah menyala apalah itu yang kamu ceritain engga muncul.”
“Terus?”
“Nabrak.”
“Serius,” kataku mulai bete.
Michiru terkekeh pelan lagi. “Mungkin dia sadar dengan kekuatanku, jadi dia sembunyi di suatu tempat lagi.”
“Maksudmu … jangan-jangan dia benda yang kamu cari-cari itu?” tanyaku.
“Mungkin,” jawabnya singkat lagi.
“Beli sarapan di Betamart aja.”
Michiru langsung berdiri dan berjalan ke dapur. “Sarapan hari ini mau apa nyonyaaa?”
Aku hanya tertawa geli dengan sikapnya itu. “Jadi rencanamu apa?”
Michiru memanaskan wajan sambil mengusap dagunya berpikir. “Setidaknya untuk saat ini jangan sampai ‘benda’ itu dipegang oleh seseorang. Apa yang kudengar dari ceritamu, sepertinya benda itu masih berkeliaran dengan kekuatannya sendiri.”
“Mmm, berarti kalau semalem aku dan Seika ga lari … bisa-bisa aku kena kutukan dari benda itu?” kataku sambil memberi Michiru beberapa butir telur.
Dengan sihirnya Michiru memecahkan telur itu ke dalam mangkuk dan mulai mengocoknya. “Itu benar. Sesuai dengan kekuatan iblis yang memberi kutukan pada benda itu, sifatmu yang mencerminkan salah satu dari tujuh dosa besar manusia akan dikendalikan olehnya. Selain lihat cahaya dan suara rantai, ada hal aneh lain yang kamu ingat tidak?”
Keningku berkerut cukup dalam karena berusaha untuk mengingat kejadian semalam. “Sepertinya tidak ada … kamu bisa bedakan benda yang dikutuk itu, ‘kan?”
“Tentu. Aku bisa melihat aura dari benda itu. Tetapi untuk orang biasa tanpa kekuatan sihir … mungkin hanya bisa merasakannya saat benda itu dekat,” jawab Michiru.
“Berarti ada kemungkinan kalau murid biasa bisa terkena kutukan itu dengan mudah ya …”
“Itu benar. Untuk sisanya, kita lanjut nanti saja. Lihat sudah jam berapa,” kata Michiru singkat sambil menunjuk jam dinding dengan dagunya.
“Ah! Aku belum selesai buat …” kata-kataku menggantung di udara setelah melihat sarapan yang tiba-tiba sudah tertata rapi di atas meja.
Michiru tersenyum lebar memamerkan giginya. “Sesuai janji, Nyonyaa. Hambamu ini tidak akan pernah membuatmu kecewa.”
“Hehe,” aku hanya bisa menjawabnya dengan cengiran juga.
.
.
Di perjalanan menuju sekolah, aku dan Michiru bertemu dengan Seika dan Kazuyoshi yang sedang berjalan berdua. “Hei pasangan mesra! Pagi!” sapaku pada mereka berdua.
Kazuyoshi mengerutkan keningnya. “Siapa pasangan mesra?”
Seika hanya terkekeh pelan. “Pagi, Akari! Uuuh, gara-gara kejadian semalam, ke kamar mandi tadi pagi saja aku ga berani!”
“Semalam? Ada kejadian apa semalam?” tanya Kazuyoshi penasaran.
“Mau tahu aja!” jawab Seika sambil menjulurkan lidahnya meledek.
“Semalam Seika menginap di rumahku, dia ketakutan tuh di rumah sendirian,” jawabku singkat.
Wajah Seika langsung cemberut merasa dikhianati karena aku menjawab pertanyaan Kazuyoshi. “Tapi seriusan! Kemarin aku dan Akari ke sekolah malam-malam untuk ngambil kunci kamarku yang tertinggal. Di koridor depan kelas kita, ada hantu!”
Mata Kazuyoshi melebar seketika. “Hantu? Di sekolah kita ada hantu?!” Anehnya, ia malah terdengar senang.
“Nanti ceritanya, lihat sudah jam berapa!” kataku cepat sambil memperlihatkan jam tanganku pada ketiga orang ini.”
“Pelajaran pertama itu Yuno-sensei, kan?” tanya Michiru.
Mendengarnya semua orang langsung panik dan mulai berlari menuju sekolah.
.
.
Saat bel istirahat makan siang berbunyi, Kazuyoshi yang menarik Tetsushi berjalan ke arah mejaku. Dilihat dari wajah Kazuyoshi yang kegirangan, dan wajah Tetsushi yang sedikit bingung. Aku mengerti apa yang mereka inginkan. Setelahnya, aku menggeser mejaku ke dekat meja Seika.
“Lanjut cerita tadi pas kita berangkat sekolah!” tuntut Kazuyoshi langsung.
“Aku dengar cerita singkatnya. Jangan sampai barangmu tertinggal di kelas lagi, Rizumu,” kata Tetsushi yang tentu salah memfokuskan perhatian dari cerita ini. Michiru yang tentu saja sadar apa yang akan selanjutnya akan terjadi langsung gabung.
“Eh bentar tunggu, aku ambil sesuatu dulu di loker,” kata Seika singkat. Kemudian ia berlari ke arah lokernya dan kembali membawa kotak bekal legendaris keluarga Rizumu. “Lihat! Aku bawa kotak bekal!”
Michiru, Kazuyoshi dan Tetsushi terkejut melihat kotak bekal legendaris keluarga Rizumu itu. Terlihat jelas kalau mereka baru melihatnya pertama kali.
“Apa ini!? Seharusnya kotak bekal seperti ini dibawa saat pertandingan olahraga, bukan?” tanya Kazuyoshi.
“Haha, saat pertandingan olahraga, kotak bekalnya akan lebih parah lagi,” kataku sambil mengingat kejadian saat dulu.
“Hehe, karena tahu kejadiannya seperti ini. Aku tidak menyesal karena membawa kotak bekal ini!” kata Seika bangga.
Tetapi, aku baru mengingat kalau di rumah Seika saat ini tidak ada siapa-siapa. “Seika … yang masak bekalmu siapa?” tanyaku sedikit khawatir.
Seika memiringkan kepalanya bingung. “Tenang, ini makan siang yang dikirim dari rumah orang tuaku secara cepat!”
Setelah mendengarnya, akhirnya aku bisa bernapas lega. “Kalau begitu ayo makan?”
“Ohhhhhhh!!” suara terkesima itu keluar dari mulut Michiru, Tetsushi dan Kazuyoshi secara bersamaan. Seperti biasa, menu makan siang keluarga Seika benar-benar mengejutkan. Hampir semua menu yang kemungkinan ada di restauran berada di dalam kotak bekal legendaris ini.
“Apa ini! Sangat enak,” sahut Michiru dengan mulutnya yang penuh. Entah sejak kapan ia sudah mengambil berbagai macam menu.
“Telur ini sangat enak!”
“Sushinya juga!”
“Mmm, nasi kepal ini juga enak!”
Untuk sesaat, kami semua lupa dengan tujuan awal kenapa berkumpul di meja Seika …
Untung saja Tetsushi yang pertama kali ingat. “Oh, bagaimana dengan hantu atau apalah itu?”
Seika memukul keningnya pelan, “Oh iya sampai lupa, udah cerita sampai mana ya?” tanya Seika.
“Belum cerita sama sekali!” jawab Kazuyoshi setelah menelan sushi yang memenuhi mulutnya.
Mulut Seika membentuk huruf ‘O’ dan langsung mengangguk mengerti. “Oh iya lupa hehe ... gini ceritanya..”
Entah bagaimana caranya, aku, Seika, Michiru, Tetsushi dan Kazuyoshi yang sebelumnya berada di kelas berpindah tempat ke suatu ruangan gelap yang tidak terlihat apa pun. Di tengah kami hanya ada kotak bekal legendaris keluarga Rizumu dan lilin yang entah muncul dari mana.
Seika menarik napas panjang, lalu mulai bercerita, “Tadi malam, aku ke rumah Akari untuk minta tolong menemaniku ke sekolah, untuk mengambil kunci kamarku yang tertinggal di kelas. Lalu dengan kebaikan Akari, aku dan Akari pergi ke sekolah untuk mengambilnya. Akari bersembunyi di belakangku karena ketakutan—”
“Loh? Bukannya kamu yang sembunyi di belakangku yaa? Jangan balikin fakta kamu Seika!” Potongku karena Seika meng-edit cerita sebenarnya.
“Oh, iya aku lupa. Itu kan kejadian semalem hehe. Pokok nya ... aku sudah sampai di kelas, dan cari kunciku di laci meja nih ya,” lanjut Seika. “Nah aku sudah dapat tuh kunci nya ... pas aku kembali ke Akari yang menunggu di luar kelas, aku bingung kenapa Akari melotot seperti habis lihat diskon 90% semua barang di mall.” Seika langsung membuat ekspresi melotot ke belakangku, seketika aku jadi ikut menghadap kebelakangku. “Lalu, tiba-tiba aku mendengar suara rantai yang seperti diseret di atas lantai. Aku melihat ke arah yang sama seperti tatapan Akari, kemudian aku melihat …
“Ada sosok aneh gituuu! Sosok bayangan yang bawa-bawa cahaya merah gitu, badannya juga tinggi, makin lama aku perhatikan cahayanya semakin besar, dan terus mendekat ke arahku dan Akari!” Seika bergidik sebentar, kemudian melanjutkan ceritanya. “Untungnya Akari menarikku dan kita berdua langsung lari dehh, haha.” Cerita Seika yang diakhiri dengan haha-an nya itu membuat unsur horor yang tadi sudah dibuat langsung menghilang seketika. Seketika kami berlima kembali ke dalam kelas seperti tidak pernah berpindah sama sekali.
Mendengar cerita Seika, aku sedikit memiringkan kepalaku. Karena aku hanya melihat ‘cahaya’ berwarna merah. Sedangkan Seika seperti melihat ‘tubuh’ sesuatu yang membawa cahaya itu. Kenapa bisa berbeda?
“Jadi, intinya ... malam-malam kalian ke sini, lihat sosok aneh yang kalian sangka itu hantu?” tanya Tetsushi sambil mengangguk-angguk mengerti.
Seika mengangguk tegas. “Betul! Kalau itu orang lain tidak mungkin. Karena kita sudah tahu kalau penjaga sekolah pada malam hari hanya bapak pecinta drama Korea, ‘kan?”
“Kalau itu maling bagaimana?” tanya Kazuyoshi sambil mengangkat alisnya.
“Kalau benar maling sih ... seharusnya sekarang sudah ada pengumuman barang yang hilang, dong?” kataku.
“Hmm.. gimana kalau malam ini kita ke sekolah! Kita lihat bersama apa benar itu hantu atau bukan?” usul Michiru tiba-tiba.
“Ide bagus! Ayo kita cari tahu itu hantu atau maling, atau apalah itu!” kata Kazuyoshi semangat sambil memasang gaya patung liberty.
Seika ikut berdiri lalu ikut memasang gaya ala patung liberty. “Ayooo! Aku mau balas dendam gara-gara dia aku tidak bisa tidur sendiri di kamar!!”
“Ehh? Pasti penjaga sekolah bingung ‘kan, banyak banget anak-anak yang masuk ke sekolah malam-malam?” kata Tetsushi mengingatkan.
Ekspresi Michiru berubah seperti mengingat sesuatu, lalu dia menjentikkan jarinya, “Gimana kalau gini—aku ke ruang Takamura-sensei sebentar!” kata Michiru cepat secepat ia berlari keluar kelas.
“Mau ngapain tuh dia?” tanya Kazuyoshi setelah Michiru pergi.
“Semoga bukan sesuatu yang aneh,” kataku hanya bisa pasrah.
Michiru kembali satu menit kemudian dengan membawa selembaran angket kegiatan club. “Taraaa~ tiba-tiba aku ingat, aku sama Akari buat club baru, club Astronomi. Pembina club ini Takamura-sensei, kita kekurangan tiga anggota lagi,” kata Michiru dengan napas yang tersengal-sengal karena habis berlarian tadi.
Tetsushi menerima selembaran angket kegiatan club. “Terus? Maksud nya ... aku, Kazuyoshi dan Rizumu daftar club astronomi? Lalu dengan alasan kegiatan club kita bisa masuk malam-malam ke sekolah?” tanya Tetsushi nebak apa yang dipikirkan Michiru .
“Ding-dong~ betul! Sebagai hadiah kau dapat permen. Nih,” kata Michiru sambil memberikan permen pada Tetsushi dari kantongnya.
Kazuyoshi dan Seika pun ikut mengambil selembaran angket kegiatan club tersebut. “Betul juga! Kalau seperti ini sih kita bisa bilang kalau kita ke sekolah malam-malam untuk kegiatan club! Ah pintar juga kamu Michiru,” kata kazuyoshi mengacungkan jempolnya pada Michiru.
Seika bertepuk tangan riang. “Wahhh club Astronomi. lumayan juga, aku keluar club basket ah kalau gitu,” kata Seika sambil tertawa pendek.
“Ehh kenapa keluar? Bukannya setiap murid bisa ikut dua kegiatan club sekaligus?” kataku ingat salah satu peraturan sekolah.
“Aku sudah ikut dua club, yang satu basket satunya lagi club boneka,” jawab Seika.
“Jadi ... kamu lebih milih club boneka dari pada basket? Kamu kan jago basket?” tanyaku sedikit bingung.
“Haha iya lah bonekakan lucu. Lagi pula apa basket, ga ada lucu-lucunya!”
Michiru berdiri dari kursinya sambil menghentakkan tangannya ke meja. “Yosh! Kalau begitu sudah ditentukan! Malam ini kita ke sekolah untuk penyambutan club baru! Club Astronomiiii!!” kata Michiru sedikit heboh
“Yayyy!!” entah kenapa Kazuyoshi dan Seika ikutan heboh. Murid lain di kelas ini semakin bingung melihat ke arah kami.
“Mereka bertiga cocok ya?” kata Tetsushi berbisik padaku.
Aku mendesah keras. “Yaa cocok untuk merepotkan orang lain,” jawabku kembali berbisik pada Tetsushi.