09 - Penampakan di Sekolah?

2191 Kata
        Aku dan Michiru kembali ke ruangan Takamura-sensei setelah mengisi angket mengenai pendaftaran club astronomi yang baru. Tentu saja saat ini anggotanya baru dua orang saja.         Belajar dari kejadian sebelumnya, kali ini Michiru membuka pintu ruangan Takamura-sensei dengan hati-hati. Untung saja kali ini tidak ada lagi ledakan dan kepulan asap hitam. Tetapi wajah Takamura-sensei tidak membaik juga.         Pandangannya yang kosong langsung tertuju pada Michiru ketika ia sadar ada seseorang yang membuka pintu ruangannya. “Kalian sudah mengisi angketnya?” tanyanya pelan.         Aku menyikut rusuk Michiru pelan. Menyuruhnya untuk memberi angket yang baru saja kami isi. Michiru berjalan perlahan-lahan mendekati Takamura-sensei, kemudian menyerahkan kertas yang baru saja kami isi kepadanya. “Ini angketnya … Sensei …” jawab Michiru ikut dengan suaranya yang pelan.         Takamura-sensei melihat kertas yang baru saja diserahkan oleh Michiru. Kemudian berkata, “Kalian tahu ‘kan harus ada lima anggota untuk mendirikan sebuah club?”         “Kami tahu, sensei,” jawabku dan Michiru bersama.         Takamura-sensei menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, aku akan memberi kalian tiga hari lagi. Pastikan saat itu ada lima anggota yang sudah bergabung di club ini.”         “Baik, sensei,” jawabku dan Michiru bersama lagi.         Takamura-sensei meletakkan kertas angket itu di atas mejanya, kemudian dengan pandangan yang serius ia berkata, “Kalau begitu, Michiru … untuk hutangmu—”         “OoOoOh! Perutku sakit!” sahut Michiru tiba-tiba, kemudian ia berlutut sambil memegangi perutnya.         Melihat tingkah Michiru yang seperti itu tentu saja aku langsung tahu kalau dia berpura-pura. Tapi untuk apa …? Michiru mengedipkan sebelah matanya berkali-kali kepadaku. Kemudian dengan dagunya ia menunjuk ke arah Takamura-sensei.         Hmmm … sepertinya Michiru menjanjikan sesuatu kepada Takamura-sensei untuk membuat club astronomi lagi. Meski aku belum tahu apa yang direncanakannya dengan membuat club astronomi berjalan lagi, setidaknya untuk saat ini aku akan menolongnya.         Aku ikut berlutut di sebelah Michiru, berusaha sebaik mungkin untuk memasang wajah yang khawatir. “Ah! Michiru, apa kau salah makan? Atau keracunan sesuatu? Pasti perutmu masih belum terbiasa dengan masakan sini, ‘kan!?” aku langsung menatap Takamura-sensei yang terlihat kebingungan juga. “Sensei, terima kasih sebelumnya. Tetapi sepertinya aku harus mengantar Michiru ke rumah sakit.”         “Ah, tunggu sebentar. Sepertinya aku punya obat sembelit …” kata Takamura-sensei sambil membuka laci mejanya.         “Ah!! Sepertinya aku sudah sembuh sekarang! Terima kasih Sensei, aku dan Akari akan pulang terlebih dahulu!” kata Michiru yang langsung berdiri, kemudian menarik tanganku dan keluar dari ruangan itu secepat mungkin.         “Tapi hutangmu—” perkataan Takamura-sensei kembali terpotong setelah pintu ruangan itu tertutup.         “Sepertinya nyawaku terpotong beberapa tahun karena kejadian tadi …” kata Michiru pelan sambil mengusap dadanya berkali-kali.         Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. “Pantas saja Takamura-sensei bersedia menjadi pembimbing club astronomi. Pasti kau setuju untuk jadi asistennya ‘kan? Atau jadi kelinci percobaannya?”         Michiru tersenyum miris. “Ayo kita sudahi pembicaraan ini.”         “ … setuju.”         Kami pun pulang ke rumah(ku) sebelum Takamura-sensei keluar ruangannya dan menarik Michiru lagi.         .         .         Seperti biasa, aku dan Michiru mampir ke Betamart untuk membeli bahan masakan untuk makan malam. Seperti biasa juga aku yang akan membuat makan malamnya. Sesuai janji karena kejadian sebelumnya, mulai saat ini Michiru yang akan membuat sarapan.        “Hmm … apa makan malamnya masih lama, Akari?” tanya Michiru dari ruang makan.         “Aku baru selesai membersihkan bahan-bahannya,” jawabku singkat.         “Kalau begitu aku akan pergi sebentar, ya?”         “Kemana?” tanyaku dengan mata yang disipitkan. Apa ada Dark Witch lagi? Apa dia akan bertarung lagi?         “Tenang, tidak ada sangkut pautnya dengan penyihir yang lain. Sepertinya aku akan mencari benda-benda yang mendapat kutukan itu sendiri. Menunggu informasi dari Merqopolish terlalu lama.”         “Mmm,” jawabku singkat. Kalau dia tidak akan melakukan hal yang berbahaya lagi tidak masalah. “Oh, bawa kunci cadangan pintu depan. Membuka pintu untukmu terlalu merepotkan.”         “Eeee kenapa? Aku senang saat Akari mengucapkan selamat datang~ seperti itu.”         “Kalau begitu kamu keluar masuk Betamart aja sana. Kasirnya kan sering ngucapin ‘met datang ‘met belanja.”         Wajah Michiru langsung berubah cemberut. “Uuuu ga imut. Kalau begitu aku pergi dulu.”         Aku hanya menganggukkan kepalaku singkat, kemudian mulai memotong bahan-bahan untuk mulai masak. Tetapi seseorang membunyikan pintu bel rumahku.         “Michiru? Bukannya dia baru saja pergi?” tanyaku bingung, tapi tetap berjalan untuk membuka pintu.         “Akariii!” suara yang tidak asing terdengar ketika aku baru saja membuka pintu itu. “Akari~ Aku meninggalkan kunci kamarku di sekolah!”         Ah … ternyata Seika. “Tidak ada kunci cadangan?”         “Tidak ada!”         “Bagaimana dengan pelayan yang ada di rumahmu itu?”         “Aku mengizinkannya untuk berlibur ke Korea selama satu bulan!”         “Jadi kau tinggal sendiri di rumah?”         Seika mengangguk-anggukkan kepalanya dengan wajah yang sedih. Ah … Seika yang tinggal sendiri di rumahnya, apa dia akan baik-baik saja?         “Kalau begitu ayo kita ambil kunci kamarmu.”         Wajah Seika langsung berubah cerah seketika. “Terima kasih Akari!!”         .         .         Di tengah perjalanan, seketika aku teringat tentang penyihir yang bertarung melawan Michiru di dekat taman sekolah. Saat melewatinya, aku cepat-cepat menarik tangan Seika dan langsung berlari ke gedung sekolah. Khawatir tempat itu jadi perkumpulan penyihir atau semacamnya.         Tentu saja, gerbang sekolah sudah ditutup rapat dan gedung sekolah sudah sangat gelap. Sebelum pergi, aku melihat ke jam dinding yang menunjukan pukul setengah tujuh malam.         “Ah, bagaimana ini? Tidak ada siapa pun! Besok pelajaran Yuno-sensei, ‘kan? Ada pekerjaan rumah 100 pertanyaan itu, ‘kan!?” sahut Seika panik.         “Oh, kalau kau tidak mengumpulkannya, nilai ujian akan dipotong 50 poin, ya?” tambahku.         “Tidak! Aku harus mengambil kunci kamarku sekarang juga! Apa kita panjat saja pagar ini, Akari?”         “Untuk seseorang yang memiliki tubuh atletis sepertimu sepertinya tidak sulit. Coba saja.”         “Tapi bagaimana denganmu?”         “Aku akan menunggu di sini.”         Tubuh Seika langsung bergetar. “Kau ingat aku tahun ha-ha-hantu … ‘kan!?”         Aku hanya tersenyum tipis. “Setidaknya aku sudah berusaha semampuku.”         “Ada perlu apa kalian berdua!?” tanya suara seseorang setelah Seika berteriak keras. Dari balik pagar sekolah, seseorang dengan menggunakan baju penjaga menatapku dan Seika.         “Oh, penjaga sekolah! Izinkan kami masuk untuk mengambil barang kami yang tertinggal …” kata Seika dengan wajah yang sedih.         “Apa kalian benar-benar murid sekolah ini? Bagaimana kalau kalian berpura-pura menjadi murid sekolah ini dan mencuri barang-barang yang ada di dalam sana?” tanya penjaga sekolah itu.         “Ya ampun. Aku tahu kalau bapak penjaga sekolah ini suka nonton drama Korea di tele*ram setiap aku melewati pos penjaga!” kata Seika tidak mau kalah.         Penjaga sekolah itu berdeham keras. Sepertinya malu karena seseorang mengetahui hobinya. “Sejak kapan bapak suka nonton drama Korea!?”         Seika menyipitkan matanya. “Aku ingat bapak saat ini lagi nonton drama Korea yang judulnya … apa itu ya. Ah! ‘Teu Kunanaon mun Teu Kunanaon Ge’ ‘kan!?”         Penjaga sekolah itu langsung batuk-batuk mendengar perkataan Seika. “Ya, ya kalian boleh masuk!” katanya sambil cepat-cepat membuka gerbang sekolah. “Jangan beri tahu yang lain.”         “Ah, tentu. Hanya aku dan temanku yang tahu kalau kita masuk ke sekolah malam-malam!” jawab Seika.         “Bukan itu. Jangan beri tahu siapa pun kalau saya suka nonton drama Korea.”         “Oh …” kataku dan Seika bersama. Bukannya hal itu tidak terlalu penting!?         Penjaga sekolah itu memberi kami senter, karena lampu yang ada di sekolah sudah dimatikan semua. Tentu saja, keadaan di dalam sekolah sangat sepi. Bahkan saking sepinya, kupingku terasa berdengung.         “Hiiiii! Akari aku takut!” gumam Seika sambil bersembunyi di belakangku.         “Sebentar lagi sampai kelas,” kataku yang menepuk-nepuk punggung Seika menenangkannya. Dari dulu dia memang takut dengan hantu …         “Ngomong-ngomong … apa kamu tahu cerita tentang pembawa lampu berwarna merah di lorong sekolah tidak?” tanya Seika tiba-tiba.         “Kamu ini … sudah tahu takut hantu, tapi mau cerita hantu sekarang?” tanyaku tidak percaya. Meski Seika orangnya takut dengan hantu, tapi dia benar-benar suka dengan cerita hantu. Sedikit aneh, ‘kan?         “Sudah sampai nih, cepat kamu cari,” kataku singkat setelah sampai di depat kelas kami.         “Iya, tunggu sebentar!” kata Seika cepat langsung berlari masuk ke dalam kelas.         Aku memilih untuk menunggu di luar kelas. Jika club astronomi benar-benar terbentuk, pasti suatu saat kegiatan club akan dilakukan pada malam hari, ‘kan? Setidaknya aku bisa mulai membiasakan diri untuk suasana sekolah di malam hari.         Seketika, dari ujung mataku aku bisa melihat sesuatu yang berwarna merah bergerak dengan cepat. Mmm … di saat seperti ini … apa sebaiknya aku menghadap ke arah cahaya itu atau tidak?         Untuk saat ini aku berusaha untuk tidak menatap ke arah sana. Tetapi seperti sadar kalau aku sudah melihatnya, cahaya berwarna merah itu terlihat semakin membesar dan semakin mendekat.         Uhh … Bukannya keadaannya jadi lebih gawat?         “Akari~ kuncinya sudah ketemu …” tapi kata-kata selanjutnya seperti tertelan oleh angin. “Emm … Akari … ini karena aku saking takutnya dengan cerita yang sebelumnya atau memang sesuatu yang mirip cerita itu terjadi, ya?”         Aku hanya bisa meringis pelan. “Ayo pura-pura tidak sadar dan lari dari sini secepatnya.”         Seika sembunyi di balik punggungku. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Gimana ini? rasanya kakiku ga mau bergerak tiba-tiba.         Tiba-tiba berada di garis depan sendirian, tanpa sadar aku menatap ke arah cahaya itu. Oh! Cahaya itu semakin dekat! Setelah tatapanku dan cahaya itu ‘bertemu’ tiba-tiba aku mendengar suara rantai yang saling bergesekan, kemudian seiring cahaya itu mendekat, suara lantai yang diseret pun terdengar.         Aku menggenggam tangan Seika dengan kencang dan berlari dari sana secepat mungkin! Bahkan entah dengan kekuatan apa beberapa anak tangga berhasil aku lewati begitu saja.         Di pintu gerbang, penjaga sekolah yang sibuk memandangi ponselnya menatapku dan Seika yang berlari seperti dikejar anjing gela.         Penjaga sekolah itu tertawa terbahak-bahak melihat kami yang panik. “Hahaha! Apa kalian takut? Jadi penjaga sekolah itu tidak mudah, ‘kan?”         “HHHHHHH IYA PAK MAAFKAN KAMI,” kataku yang terlalu kencang sambil menyerahkan senter yang dipinjamkan olehnya. “Kami langsung pamit ya pak!” Seika yang masih ketakutan tidak mengatakan apa pun pada penjaga sekolah itu.         Entah bagaimana caranya, aku dan Seika sudah sampai di rumahku. Kami berdua hanya duduk terdiam di sofa ruang tengah.         Beberapa menit kemudian, akhirnya Seika memecah keheningan. “Kenapa kamu ga cerita ke penjaga sekolah itu kalau ada hantu, Akari?”         Aku yang masih mencoba untuk berpikir rasional kalau tidak ada hantu di dunia ini akhirnya menyerah. “Kalau penjaga sekolah itu berpikir ada orang lain di dalam sekolah, dan mengira ada maling dan ternyata itu benar-benar hantu … aku ga mau bayangin kalau besok ada berita ‘seorang penjaga sekolah meninggal dunia akibat serangan jantung’!”         Seika yang mendengar jawabanku langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. “AaaAaaA! Akari, izinkan aku menginap, ya? Ya? Aku ga mau di rumah sendirian!”         Aku hanya bisa tersenyum miris. Tentu saja, setelah melihat ‘hantu’ ternyata benar-benar ada(?) aku juga mulai takut. “Tentu, tapi kamar tamu dipakai sama Michiru …”         “Untuk apa aku menginap di rumahmu kalau ujung-ujungnya juga tidur sendiri!? Tidur di kamarmu … tidur di kamarmu, ya?” rengek Seika.         Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku menjawab permohonan Seika. Wajah Seika langsung cerah seketika, lalu ia memelukku dengan erat. “Terima kasih Akariii~~”         “Mandi sana, bau keringet,” kataku berusaha melepas pelukan Seika.         Wajah Seika berubah cemberut seketika. Tapi ia tetap menanyakan di mana kamar mandi. Melihat jam di dinding, ternyata kejadian tadi hanya berlalu selama setengah jam. Aku hanya bisa berusaha untuk menenangkan tubuhku yang masih merinding mengingat kejadian sebelumnya dengan mulai memasak.         Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang kuncinya dibuka. Takut kalau ‘penampakan’ itu mengikutiku sampai rumah, aku mengangkat pisau dapur tinggi-tinggi. Entah apa yang kupikirkan setelah melakukan hal itu.         Untung saja bukan penampakan yang muncul, tetapi Michiru. Ia memiringkan kepalanya bingung dengan sikapku yang mengangkat pisau dapur tinggi-tinggi ke arahnya. “Ada apa?”         “Michiruuu!!” kataku entah kenapa merasa lega. Untung saja aku berhasil menyelamatkan diriku dari pemikiran yang ingin memeluknya erat. “Kau percaya hantu?”         Mendengar pertanyaan itu, Michiru terbahak-bahak. “Tentu. Bahkan kau tidak tahu, ‘kan? Ada tiga hantu di dapur, yang satu seorang wanita memegang pisau dengan perutnya yang bolong, satu lagi anak kecil yang berdiri di celah antara meja dan kulkas, satu lagi seorang nenek tua yang tubuhnya setengah terbenam di kompor—”         Dengan pisau dapur aku menghentikan perkataan Michiru selanjutnya.         Setelah berhasil meyakinkanku untuk menurunkan pisau dapur yang mengarah ke lehernya, akhirnya Michiru bertanya. “Kenapa sih, kok tiba-tiba bertanya hal itu?”         “Tadi aku dan Seika ke sekolah sebentar untuk mengambil kunci kamar Seika yang tertinggal di kelas …”         “Oh? Aku baru pergi sebentar dan sudah ada kejadian menarik seperti itu? Kenapa kau tidak mengajakku?”         “Karena kau belum kembali! Ah tunggu, dengarkan sampai selesai dulu!” kataku sambil menjejakkan kaki ke lantai mulai kesal. Michiru hanya terkekeh pelan, kemudian menyuruhku untuk melanjutkan cerita.         “Pokoknya, sepertinya aku dan Seika baru saja melihat penampakan … di lorong depan kelas kita, ada sebuah titik cahaya berwarna merah terang! Lalu anehnya, aku seperti mendengar suara rantai yang diseret di atas lantai ketika cahaya itu mendekat …”         “Cahaya merah? Lalu suara rantai?” tanya Michiru dengan wajahnya yang serius. Anak ini … wajahnya serius karena tertarik dengan ceritaku atau ia pura-pura tertarik?         “Iya, tanya Seika. Dia saksinya!”         “Ada apa? Oh, Michiru!” kata Seika yang baru saja keluar dari kamar mandi.         “Rizumu?” tanya Michiru sedikit bingung.         “Hehe, terkejut ya? Hari ini aku akan menginap!” kata Seika.         “Oh, apa kau takut hantu?” tanya Michiru meledek.         Dengan pipinya yang dikembungkan Seika mencubit tangan Michiru. “Itu benar! Aku takut! Ada hantu di sekolah!”         Michiru mengaduh kesakitan, setelah memohon berkali-kali akhirnya Seika melepas cubitannya. “Apa benar kau mendengar suara rantai yang bergesekan saat melihat hantu itu?”         Seika memiringkan kepalanya, kemudian mengusap-usap dagunya. “Emmm … entahlah! Saking takutnya aku tidak terlalu memikirkannya …”         Aku menatap Michiru yang wajahnya masih sangat serius. “Ayo kita makan malam terlebih dahulu. Kau juga ikut, Seika.”         “Oh! Masakan buatan Akari~” kata Seika senang. Ia langsung duduk di kursi meja makan.       “Besok ceritakan padaku dengan detail, ya?” bisik Michiru tiba-tiba.         Mengerti apa yang dimaksud oleh Michiru, aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawabannya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN