Ia memaki dirinya sendiri. Hatinya berkhianat lagi dari ego yang ia pasang tinggi-tinggi. Akhirnya, membawa langkah kakinya di depan ruangan berpintu coklat dengan ukiran yang sederhana, unik dan indah. Tangannya tanpa ragu mendobrak. Padahal hatinya memberontak, ingin sekali menendang pintu coklat itu kalau saja, ia tak ingat ini bukan kantor miliknya atau keluarganya.
“Masuk!”
Tanpa menoleh pun, lelaki itu sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi? Kalau bukan gadis gila yang rela meninggalkan pulau kecil di Sumatera lalu terbang diam-diam kembali ke Jakarta. Meninggalkan tugasnya sebagai dokter muda, hanya untuk menghampiri lelaki yang ia gelari sebagai lelaki s****n dan b******k ini. Lelaki yang masih duduk di depan laptopnya walau jam kerja sudah lewat berjam-jam yang lalu. Hal yang selalu membuat benak Aisha ingin memaki, kenapa ia harus berurusan dengan lelaki gila kerja seperti ini?
“Ada apa?” Wira bertanya dingin. Tak melihatnya sama sekali.
Sementara matanya sudah memerah. Menahan kesal yang mengendap di dasar hati. “Kapan kamu serius?” ia bertanya datar. Matanya menatap Wira yang masih betah duduk di bangkunya. Padahal ia yakin, lelaki itu banyak menghabiskan waktu di mobil dan ruang meeting. Lelaki itu tak melihatnya sama sekali. Ia malah melirik jam tangan mahalnya yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Lalu kembali menatap laptopnya.
“Aku lelah menghadapi sikap kekanakanmu. Bermain wanita? Okh! Kamu pikir, aku ini wanita yang selalu lapang menerimamu?”
Ia berkacak pinggang di depannya. Ada emosi yang ia pendam. Emosi yang selalu ia munculkan setiap kali Wira mulai bertingkah seperti ini. Hampir setahun ini, hubungan mereka ricuh hanya gara-gara orang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Sinetron sekali. Wira mendongak. Ia malah menyung-ging senyum tipis. Dan....Aisha mendadak lupa kalimat-kalimat yang sudah merubung otaknya secara penuh. s**l!
“Ku kira hubungan kita baik-baik saja.”
Kalimat itu sukses membuat Aisha ingin menarik dasinya ke atas atau mencekiknya atau langsung membunuhnya sekalian. Tapi sayangnya, ia tak kan pernah sanggup jika harus kehilangan pusat kehidupannya saat ini. Jika pun bisa, akan ia lakukan setelah hatinya pindah ke raga yang lain dan matanya sudah terbiasa tak menatap lelaki ini lagi.
“Baik-baik saja setelah foto kamu dan—”
“Aku sedang sibuk, Sha. Sudahlah. Itu hanya foto.” Potongnya lalu mengalihkan tatapannya ke laptop. Mengabaikan Aisha yang menahan sesak di dadanya. Hanya? Ia mengumpat. Baginya itu sepele tapi, bagi Aisha? Sebebal-bebalnya ia, nyatanya ia terlalu sensitif setiap kali menghadapi lelaki ini. Ini lah yang namanya cinta telah menelan segala akal sehat yang ia punya. Cinta yang telah membutakan penglihatan hatinya. Cinta yang telah menenggelamkan segala kewarasannya. Cinta s****n! makinya dalam hati.
“Oke.” Ia menyeringai puas dengan tangan yang berhasil menjepit tangan Wira diantara layar dan keyboard laptopnya. Lelaki itu ternganga sambil menahan ringisan karena kedua tangannya terjepit. Padahal Aisha sengaja melakukan itu. Yah, minimal lelaki s****n dan b******k ini bisa merasakan sakit hatinya walaupun Cuma sedikit. “Asal kamu tak menyesal setelahnya,” ia berniat pergi tapi tangannya dicekal kasar oleh Wira. Berkali-kali ia mencoba melepas, teriak pun percuma, nyatanya tetap tak berhasil.
“Apa maumu?”
Lelaki itu menawar. Lelah menghadapi gadis keras kepala namun sensitif ini. Ia heran, kenapa segala sesuatu yang menyangkutnya, Aisha selalu menggila? Apa karena cinta? Okh. Pemikiran itu membuat senyumnya nyaris muncul ke permukaan. Aisha tak boleh tahu betapa ia bahagia.
“Pulang dan tak kan kembali,” Aisha masih dengan kecamannya yang dingin dan tak tersentuh. Tangannya berhasil lepas namun terantuk ujung meja. Ia mendesis dan matanya kembali menatap Wira dengan kesal. Lelaki itu sengaja menghempas tangannya.
“Lakukan lah kalau kamu bisa,” ia malah mengiyakan kemudian duduk lagi. Tangannya dengan cekatan membuka laptop. Mengabaikan Aisha yang sedang menarik nafas dalam-dalam. Ada perih yang ia rasa kan ketika pisau kasat mata itu mengerat hatinya. Walau hanya permukaannya yang kena, sakitnya tetap terasa sampai ke dalam. Ia tak pernah bisa meninggalkan lelaki ini jika masih ada luka yang terasa seperti ini. Cinta? Kapan cinta itu bisa pergi darinya agar ia tak terus menerus sakit seperti ini?
“Aku pulang.” Ia berbalik dan Wira menahan napasnya—gugup. Ia memunggungi lelaki itu. Tak berniat menatapnya walau hatinya mengelukan namanya.
Rindu. Rasanya terlalu lama tak bertemu, tapi sayang, mungkin hanya ia yang merasakan rindu ini. Lelaki ini tidak.
“Mungkin akan kembali sebulan lagi,” tambahnya dengan tangan mem-beku di daun pintu. Berharap Wira akan menahan kepergiannya. Namun sayang, nyatanya tidak. Ia mendesah kecewa. Berjalan keluar dengan gamang. Tapi satu hal yang tidak ia tahu, Wira menyungging senyumnya. Lega karena ia tahu Aisha tak kan meninggalkannya. Karena ia adalah tempat kembali dan tempat menetap gadis itu. Selamanya akan terus begitu.
JJJ
Tak apa…tak apa, hiburnya miris. Ia menertawai dirinya sendiri. Mencoba tegar namun tak bisa. Oke. Ia tak bisa menebak apa maunya lelaki itu. Nyatanya, ia lelah. Lelah atas segala ketidakpekaan seorang laki-laki yang ia cintai. Lelah walau hatinya mengkhianati. Karena hatinya tak pernah bisa menghapus lelaki itu. Lelaki tak hanya dia saja, itu kalimat yang sudah basi, pikirnya. Ribuan kali ia memperingati diri dengan ungkapan yang sama, nyatanya apa? Pada akhirnya, ia tetap kembali pada lelaki itu. Tak peduli sekusut apapun hubungan mereka.
Ia menyelonjorkan kakinya dibangku panjang. Dua jam mengelilingi Mall tanpa niat membeli apapun. Otaknya boleh kosong tapi tidak dengan hatinya. Oh, ini menggelikan. Karena hatinya tak pernah absen mengelukan namanya. Wira. Wira. Wira. Anehnya, ia tak muntah memikirkannya. Lelaki itu bukan lah alkohol yang memabukan. Pun coklat yang selalu membuatnya ketagihan. Tapi hatinya terasa hampa tanpa lelaki itu. Aish! Ia ngomong apa barusan?
Ia berdecak lantas menutup matanya. Otak yang sedari tadi ia biarkan kosong, kini mulai dipenuhi pikiran-pikiran tentang lelaki yang sama. Dan pikiran-pikiran yang menyelinap itu membuatnya memaki diri sendiri. Karena hatinya kini memanggil namanya. Mengelukan namanya. Memohon agar ia segera disampingnya. Seperti bertahun-tahun lalu. Kembali pada masa pertama bertemu.
Tak mau terhanyut dalam kerinduan mencekam yang menyakitkan ini, ia memilih bangkit. Rasanya percuma kalau rindu ini hanya ia yang rasa. Karena tidak dengan lelaki itu. Walau ia tak yakin. Karena ia tak bisa meraba hati lelaki itu. Kalau dilihat, ia nampak hangat. Tapi ketika disentuh, ia dingin. Lelaki itu seperti itu. Seperti rindu yang ia rasakan tadi. Perasaan membuncah yang menggelepar itu nyaris muncrat saat ia tiba di ambang pintu ruangannya. Menatap lelaki yang larut dalam kesibukannya. Menawarkan kehangatan saat menatap matanya. Tapi ketika menyentuh tangannya, hanya dingin yang ia rasa. Aneh. Tapi berulang kali ia rasakan hal yang sama, ia tak pernah mengerti. Sama seperti cinta.
Ia tak menemukan dalamnya cinta itu seperti apa. Karena tak nampak dari luar. Ia hanya bisa dirasakan ketika menyelaminya. Maka akan tahu seberapa dalamnya cinta. Namun jangan salah, karena kau tak kan pernah temukan dasarnya. Semakin dalam menyelam, maka semakin menyesatkan. Bahkan berakibat fatal karena kau tak pernah bisa kembali ke permukaan. Akhirnya, kau akan tenggelam di dalam cinta itu. Dan seperti halnya Aisha, ia tak pernah tahu dimana dasar cintanya untuk Wira. Ia tak pernah menemukan itu. Karena yang ia tahu, semakin menyelami perasaannya, maka semakin dalam lah cintanya. Sama seperti rindu, ia tak tahu ada dibatas mana rindunya. Karena ketika rindu mempunyai batas, ia khawatir, rindu itu akan mendangkal dan semakin lama menghilang. Karena terkikis ego yang ingin menghapus rindu itu. Ketika rindu itu hanya ia yang rasa. Rindu sepihak. Rindu yang menyakitkan.
Tangannya merogoh-rogoh isi tas. Mencari sesuatu untuk menghubungi kakaknya, Fadli. Setidaknya, lelaki itu satu-satunya harapan menilik Fadlan, kembaran Fadli, berada sekitar 160 km dari tempatnya koass. Tapi, ia bodoh. Ia baru saja ingat kalau ponselnya sudah berakhir di tempat s****h tadi siang.
Akhirnya, jalan lain adalah menyetop taksi dan pergi ke apartemen kakaknya yang lama tak pulang ke rumah.
JJJ
Ia bangun dari tidurnya dengan tenggorokan mencekik. Kering. Itu yang ia rasa. Betapa rindu ini menyiksanya. Hingga beranjak pun tak mampu. Lalu hanya diam menatap langit-langit. Bodohnya ia yang mati-matian terbang kesini hanya untuk lelaki itu. Tapi lelaki itu sama sekali tak peduli. Ia malah pesimis. Tak yakin akan perasaan lelaki itu. Apakah masih sama? Atau kah hanya ia yang rasa?
Lelah. Kalau memang hanya ia yang mencintai bagaimana? Ia menggeleng. Tidak. Ia tahu, Wira akan mengatakannya jika sudah bosan. Tapi tak sekali pun lelaki itu mengungkap kebosanan terhadapnya. Tapi cinta? Ia berdecih. Rindu? Kali ini ia mendengus. Tak tahu dan tak bisa menebak apa yang ada di kepala lelaki itu. Sampai kapan? Entahlah. Mau dibawa kemana hubungan ini pun, ia tak tahu. Wira tak sekali pun menyinggung pernikahan. Hanya ia saja yang berharap.
Air matanya menggenang. Ia dongakan wajahnya ke atas sembari mengipas-ipas matanya yang memerah. Kenapa....kenapa setiap berhubungan dengan lelaki itu ia selalu lemah seperti ini?
Ketika ia bangkit, tak ada siapa pun yang ia jumpai. Kakaknya pasti sudah pergi bekerja lagi. Ia menguap lalu melirik jam weker yang bertengger. Kemudian berlari ke kamar mandi saat melihat jarum jam menunjuk angka sembilan. Matilah ia!
Ia tertinggal pesawat pagi ini. Kertas peninggalan Fadli sebagai pengganti pamit, teronggok begitu saja tanpa ia baca. Ia hanya mengambil setumpuk uang yang ditinggalkan kakaknya lalu bergegas memakai sepatu. Terburu-buru meninggalkan apartemen.
Hatinya sembilu ketika tiba di ruang tunggu bandara. Lelaki itu tak mencarinya. Bahkan mungkin tak menyadari kalau ponselnya sudah tak aktif. Dan....ia sama sekali tak berniat mengganti ponselnya. Maminya tak terlalu peduli dengannya. Wanita itu hanya peduli pada bisnis dan kaum sosialitanya. Papi pasti sibuk bolak balik US-Jakarta untuk mengurusi bisnis. Tak ada yang memerdulikannya. Lelaki yang ia harapkan agar paling memerdulikannya, sama sekali tak bisa diharapkan. Ia sibuk tenggelam dalam pekerjaannya dan....wanita lain—mungkin. Karena ia tak paham, hubungan apa yang ia bina dengan lelaki itu.
Rindu yang tak tersampaikan ini hanya menyesakan dadanya. Akhirnya, ia memilih diam dan mungkin.....mengikis harap agar tak terlalu tenggelam pada cinta lelaki yang tak sehangat tatapan matanya. Mungkin ia telah melabuhkan hati pada lelaki yang salah? Entahlah. Yang jelas bukan cintanya yang salah. Bukan hati pula yang salah. Karena tak ada yang salah dalam menjatuhkan perasaan, hati dan cinta. Termasuk rindu yang berkabung padanya.
Panggilan memasuki pesawat sampai ke telinganya. Ia menghela nafas. Beranjak dari bangku panjang itu. Tak ingin menoleh lagi ke belakang. Percuma, karena ia tak kan datang. Lelaki itu tak kan datang. Bahkan pahitnya, memikirkannya pun tidak.
JJJ