“Astagfirullah.... astagfirullah....,” Fifa ber-istigfar berulang kali sambil memijit-mijit pelipisnya. Masih tak habis pikir akan keberanian Aisha yang secara tak langsung 'melamar' Kak Marshall. Ia bahkan menggelengkan kepala-nya berkali-kali. Sesekali ia bahkan ingin menjedotkan kepalanya ke dinding. Saking frustasinya. Tapi si pelaku malah santai sambil sesekali terkekeh. Ketika ditanya, kenapa? Gadis itu malah balik bertanya, 'kapan lagi bisa dapat lelaki soleh kayak Kak Marshall?'
Aiiiiisssh! Gadis gila! Keluhnya. Ia seharusnya tahu kalau sahabatnya yang bebal ini memang 'frontal akut' bahkan didiagnosis sinting. Namun, dibalik semua itu, ia tahu maksudnya baik. Ia juga sama seperti Aisha. Ia juga meng-inginkan lelaki seperti itu. Seperti Kak Marshall yang tidak hanya tampan, mapan tapi juga beriman. Wanita mana yang tak menginginkannya? Tapi untuk tindakan yang malah mempermalukan diri sendiri itu, apa tak ia pikirkan?
“Kalau ketemu Kak Marshall lagi, maluuu gue. Mau taruh dimana muka guee?”
Malah Fifa yang frustasi. Sementara Aisha malah menepuk-nepuk bahunya dengan prihatin. Dunia benar-benar sudah terbalik.
“Lo mau ngeluh gimana pun, dunia gak bakal berubah.”
Aisha berkata sok bijak. Ia malah sibuk memeriksa isi tasnya sebelum berangkat ke puskesmas pagi ini. Ia tak mau diomeli dokter Sarah yang menjadi pembimbingnya disini. Ia sedang malas berbuat masalah dengan perawan tua itu. Perawan tua? Oh, kejam sekali dunia, ejeknya. Lagi pula kalau ia pikir-pikir, lelaki mana yang akan betah hidup dengan gadis angkuh, judes dan jutek mampus itu? Bah! Ia yang perempuan saja tidak betah. Apalagi lelaki?
“Gue heran. Kenapa setiap lo yang berulah, malah gue yang pusing?” Fifa bertanya pada diri sendiri. Mengabaikan Aisha yang bahkan nyaris lupa akan kehadirannya disini. “Malah gue yang ketakutan. Gue yang kelimpungan. Lo???”
Jari telunjuknya menunjuk wajah Aisha yang innocent.
“Malah biasa aja seolah-olah lo gak ngelakuin apapun.” Yang ditunjuk malah terkekeh-kekeh. “Lo dengan jiwa lo yang bebal itu dan gue yang desperate.” Kali ini Aisha terbahak. Bagi Aisha, kalau hidup ya hidup saja. Jalani saja dengan santai. Tak perlu memusingkan hal-hal yang akan terjadi. Yang penting adalah cara menghadapinya. Karena baginya, hidup identik dengan ketidakpastian. Segala sesuatu yang terjadi di masa depan adalah sesuatu yang tak dapat diprediksi. Jadi, untuk apa memusingkan sesuatu yang belum terjadi?
“Gimana lo gak pusing kalo lo hidup dengan segala pikiran-pikiran negatif yang lo punya?”
Lagi. Ia mulai sok bijak. “Lo selalu ber-su'uzzan atas apapun yang lo dan orang-orang sekitar lo lakuin. Lo selalu berpikir tentang masalah yang akan timbul. Lo takut menghadapi hidup dengan pikiran lo yang dangkal itu. Akibatnya, lo malah berupaya menghindari kenyataan.” Kali ini wajahnya serius.
Fifa mencebik bibirnya. Entah kenapa setiap Aisha mulai 'normal' (sebut: waras), ucapan-ucapannya itu menyakitkan tapi ada benarnya. Sikapnya yang frontal (sebut: blak-blakan) itu, tak peduli orang yang menghadapinya akan sakit hati atau tidak. Baginya, apa yang ada di kepalanya dan ia akui kebenarannya, ia tak takut untuk menyuarakannya.
Mungkin ini rahasia eratnya persahabatan yang terjalin antara ia dan Aisha sejak SMA. Persahabatan yang talinya tak pernah kendur. Karena segala sikap Aisha yang frontal, bebal dan tak peduli apapun itu bisa ia imbangi dengan sikapnya yang tertutup, sensitif dan selalu peduli terhadap apapun. Ia terlalu peduli karena ia terlalu sensitif. Dan....otaknya tak bisa menghentikan pikiran-pikiran buruk yang mungkin terjadi. Apalagi jika berhubungan dengan Aisha. Segalanya akan menjadi rumit, tak terprediksi dan akhirnya menjadi kacau. Baginya, Aisha itu tak lebih dari pembuat onar walau ia adalah sosok pembuat onar yang bertanggung jawab atas segala keonarannya. Fifa sampai tak bisa mengklasifikasikan ini apakah termasuk sikap yang baik atau buruk. Apakah kelebihan atau kah kekurangan. Apakah layak disyukuri atau tidak.
“Kalo cara berpikir lo seperti itu, lo gak bakal pernah maju. Karena waktu terus berjalan dan lo gak bisa menghentikannya. Jadi, satu-satunya cara adalah lo harus tetap maju dan jangan pernah berhenti apalagi mundur ke belakang.” Ucapnya sambil menepuk-nepuk tas usai menutup resletingnya.
Fifa makin mencebik. Agak sakit hati mendengar ucapannya. Ia tahu apa yang Aisha ucapkan benar. Tapi perasaannya yang sensitif itu malah membuatnya tersinggung atas apa yang Aisha ucapkan. Terlepas dari kebenaran-kebenaran yang Aisha ungkapkan.
“Lo mau ngatain gue pengecut ya, iya kan?”
Aisha menenteng tasnya dengan cuek lalu merangkul bahunya. Mengajaknya beranjak dari tempat tidur. “Nah, itu lo tau!”
Ia menyahut enteng. Rasanya, Fifa ingin mencekiknya sekarang. “Tapi omong-omong....,” mata Fifa menyipit.
Ia melepas rangkulan Aisha dengan ganas lalu melangkah mundur. Mengamati Aisha dari bawah sampai atas lalu dari atas sampai bawah. Hingga Aisha risih dan memilih mengabaikannya tapi geraknya terhambat karena tangannya ditarik gadis itu. Ia berdecak. “Hijab lo mana?” Fifa bertanya garang dengan tangan berkacak pinggang.
Aisha melirik dengan senewen dan melangkah meninggalkannya. “Kan semalem lo bilang, kalo mau pakai hijab bukan buat nyari jodoh kayak Kak Marshall.” Kilahnya dan Fifa langsung mencegat langkahnya lagi.
“Ya emang gitu. Tapi gak dilepas gini juga!” ia berdecak. Kapan Aisha akan mengerti? Rasanya, kesabarannya sudah menipis. Walau kata orang, kesabaran itu tiada batasnya. Tapi kalua menghadapi gadis ini? Lama-lama ia bisa mati.
“Nanti, kalo ketemu Kak Marshall, gue pakai kok.” Ia berucap kalem. Ucapan yang membuat Fifa tak hanya ingin mencekiknya tapi juga memutilasinya sampai kecil-kecil. Andai saja ia berani memaksa. Tapi itu tidak ia lakukan. Karena Allah saja tak pernah memaksa kehendak-Nya. Dia hanya mengatur. Perkara umat mau mengikuti atau tidak, tak ada untung dan rugi bagi-Nya. Dia hanya memberi jalan. Apakah jalan itu lurus kepada-Nya atau tidak, tergantung yang menjalani. Akhirnya, surga atau neraka lah yang menjadi jawaban. Sebab, setiap manusia diberi kebebasan dalam memilih jalan akhirnya masing-masing kan? Apakah surga-Nya atau neraka-Nya.
JJJ
“WIRA!” ia berteriak. Segala macam cacian yang tadi merubung kepalanya kini hilang tak berbekas. Lalu suara 'tut tut tut' menjadi jawaban. Bibirnya bergetar. Matanya menyalang-nyalang. Memelototi ponsel yang tidak ber-salah. Jemarinya mendial lagi tapi kali ini operator yang menjawab. “s**l!” ia menatap ponselnya dengan keki. “Mau main-main lo sama gue?”
Ia marah pada ponsel. Ah—bukan. Ia marah pada lelaki di seberang sana yang tak mau menjawab teleponnya. Setiap berhubungan dengan lelaki ini, sikap dan pikirannya akan berubah seratu delapan puluh derajat dari yang sebelumnya. Seperti dunianya yang terbalik disbanding orang-orang di luar sana. Otaknya berpikir keras akan ia apakan ponsel ini. Ia lempar ke baskom air di ruang sempit ini atau...... ia hancurkan saja dengan pisau-pisau kecil di hadapannya ini? Oh! Ini ide gila. Dan orang yang baru saja memikirkan ide ini adalah orang gila!
Ia mencebik. Kali ini yang keluar dari mulutnya adalah beragam kata cacian, makian dan kawan-kawannya. Ia tak peduli pada beberapa orang yang kini sudah memasang telinga dibalik pintu. Ia ingin segera mengakhiri riwayat hidup ponsel s****n ini!
“Cowok s****n! b******k! Mati aja lo ke neraka!” teriaknya lalu beranjak dari bangku dan langsung menggebrak pintu. Beberapa orang yang menguping tadi berhamburan tak tentu arah setelah ditatap nyalang Aisha. Gadis itu mendengus lalu melempar ponsel itu dan mendarat di tempat s****h. Fifa yang sedang berbicara dengan dokter Sarah, mangap tak berkata. Ia langsung permisi sekaligus meminta maaf atas kelakuan absurd Aisha untuk ke sekian kalinya pada dokter senior itu. Tak enak hati karena sejak kedatangan mereka, dua minggu yang lalu, bisa dihitung, hari-hari dimana Aisha tak membuat rusuh. Dan....kenapa harus selalu ia yang meminta maaf setiap gadis itu melakukan sesuatu?
Kalau saja bukan sahabat, mungkin Fifa tak kan peduli. Sayangnya, ia terlalu peduli. Ia rela walaupun terkadang harus menjadi korban tumpahan kesalahan Aisha. Bodoh? Baginya tidak. Sebebal-bebalnya Aisha, dia lah orang yang tak termunafik yang pernah Fifa kenal seumur hidupnya.
“Kenapa lagi?”
Saat masuk, ia langsung bertanya. Matanya menatap Aisha yang memejam-kan mata. Kalau marah, gadis itu suka sekali menghancurkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Dan untuk ponsel, Fifa tak tahu itu adalah ponsel ke berapa yang Aisha lempar atau Aisha tenggelamkan di air. “Wira....,” ia bergumam dan Fifa sudah bisa menebak apa yang terjadi. “Selingkuh lagi.” Kali ini matanya terbelalak.
Selingkuh? Selingkuh?! Ia menelan ludahnya susah payah. “Lo sama dia.....,” Aisha mengangguk dan Fifa menggelengkan kepalanya seketika.
“Gue kesel sama dia. Maunya apa coba?” kali ini matanya terbuka dengan jemari mengetuk-ngetuk meja.
Fifa tak paham. Benar-benar tak paham. Hampir sembilan tahun bersahabat dengan Aisha, ia tak pernah paham akan alur pikiran gadis itu. Ia kira, Aisha serius tentang rencananya mendapatkan Kak Marshall—sosok idaman itu. Tapi melihat Aisha yang ada di hadapannya kini, Fifa hanya sanggup menelan ludah susah payah. Nyatanya, Marshall hanya angin yang berlalu tanpa pernah kembali walau pernah singgah bagi Aisha. Angin yang hanya menyejukan sesaat. Lalu apa artinya lamaran kemarin?
Aish! Seharusnya ia tahu, bahwa ia tak perlu berpikir jika Aisha akan serius pada hal-hal semacam itu. Tanpa menunggu penjelasan Aisha tentang perasaannya. Karena ia tahu, Aisha tak kan berterus terang lewat kata-kata. Ia berinisiatif mengeluarkan ponselnya dan membuka media sosial. Dalam semenit saja, ia menemukan apa yang membuat Aisha meradang sesiang ini.
Apalagi kalau bukan Wira yang entah pacar atau mantan karena Fifa sama sekali tak mengerti hubungan mereka. Lelaki yang dijuluki 'b******k dan s****n' itu bergandengan mesra dengan perempuan asing yang kali ini, Fifa tak kan bertanya siapa namanya. Terlalu banyak wanita yang berada di dekat Wira. Dan Aisha....terlalu banyak menjadikan lelaki sebagai pelarian konyolnya.
Sialnya, kali ini yang menjadi tumbal adalah Marshall. Ia harus cepat-cepat bertemu Marshall sebelum menjadi runyam. Kasihan lelaki itu jika harus menjadi 'pelarian konyol' Aisha yang lain. Karena, setiap lelaki yang dijadikan Aisha 'tumbal', selalu berakhir tragis dengan perasaan mendalam yang tak pernah dibalas Aisha. Karena lagi—untuk ke sekian kalinya—lelaki yang pasti akan menjadi tempat Aisha pulang, selalu Wira. Sebrengsek apapun lelaki itu. Ibarat bumi, maka Wira-lah porosnya bagi hidup Aisha.
Tapi yang selalu mengherankan Fifa adalah Wira. Lelaki itu tidak seperti lelaki lain yang jika berselingkuh dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ia malah melakukannya secara terang-terangan di depan Aisha. Seakan tak peduli pada perasaan wanita itu.
JJJ
Foto-foto Wira yang masih tersisa di dompetnya, terselip di bawah tempat tidur dan yang ada di atas meja kecil kamar kecil ini, ia kumpulkan. Lalu ia bakar tanpa ampun kertas-kertas tak bersalah namun s****n itu. Setelah itu, ia tinggalkan kobaran api di dekat pojok lingkungan mess. Ia baru saja akan kembali ke kamar tapi tak jadi saat melihat sosok Marshall berjalan ke arahnya dengan Fifa yang berjalan tegak di samping Marshall. Matanya memincing ke arah Fifa tapi gadis itu menghindari matanya. Ia mulai mencium sesuatu yang tidak beres dengan kehadiran Fifa dan Marshall.
“Benar, kamu hanya bercanda soal kemarin?”
Tanpa malu—lebih tepatnya tak punya malu—Aisha mengangguk tegas. Fifa sampai tak bisa berekspresi apapun selain melongok dengan mata mengerjab-ngerjab. Gadis gila!
Mungkin, kalau ia di posisi Aisha, ia pasti sudah menggeleng kuat-kuat. Tapi tidak dengannya. Aisha dengan tegas mengiyakan tanpa takut sama sekali. Boleh tidak Fifa bertepuk tangan sebagai apresiasi? Ia memang bangga punya sahabat seperti ini walau terkadang kesal karena sifat bebalnya yang akut itu. Bagi Aisha, ia tak suka menyembunyikan kebenaran. Walau terkadang kejujuran itu menyakitkan. Ia memang gadis ter-absurd dengan segala kelakuannya. Tapi ia hanya ingin melihat lelaki ini, ah bukan, lebih tepatnya menggoda. Karena banyak ribuan tanya yang hinggap di kepalanya. Apa ada lelaki yang tak sebrengsek pacar eh mantan eh entahlah. Ia juga tak mengerti hubungannya dengan Wira. Ia memang sering gila dengan segala pertanyaan dalam benaknya. Demi sebuah pembuktian akan kebenaran. Apakah benar, lelaki baik akan berjodoh dengan wanita baik? Karena ia belum percaya akan hal itu. Terlalu banyak fakta yang ada di sekitarnya tentang lelaki b******k yang malah menikah dengan perempuan baik-baik.
“Kak!” Aisha angkat suara ketika tubuh Marshall sudah berbalik, membelakanginya. Lelaki itu bergeming di tempatnya. “Aku minta maaf soal kemarin. Aku memang hanya bercanda. Hanya ingin mempermainkan kakak.” Ia mengakuinya.
Tak ada respon, Aisha cukup tahu diri. Makanya, gadis itu hanya sanggup menelan ludah dengan kelu. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Tangannya berusaha meraih tangan kekar itu tapi baru tersentuh ujung jarinya saja, Marshall sudah menarik tangannya. Jauh dari jangkauan Aisha. Ia tak suka disentuh perempuan. Lalu ia melangkah pergi.
Aisha terpaku. Namun ribuan tanda tanya itu belum ada jawabannya. Kini matanya berpaling pada Fifa yang nyengir lebar. Lega tapi juga tak enak hati. Namun, seperti Aisha, terkadang ia harus gila untuk sebuah kejujuran. Bukankah itu keren?
“Thanks,” ia berucak sok cool lalu pergi begitu saja. Fifa keki dibuatnya.
Jadi, keberaniannya hanya dibalas dengan ucapan terima kasih? Ho-oh. Bukannya mau mengharap lebih sih. Tapi setidaknya dengan kejadian ini, Fifa berharap sekali kalau Aisha akan berubah dan berpikir lebih matang dalam mengambil sebuah tindakan. Namun yang namanya manusia, tak kan bisa berubah dengan mudah seperti mudahnya membalik telapak tangan bukan?
JJJ