Khadijah Masa Kini
“Mau kemana lo?”
Fifa berkacak pinggang usai membuka pintu kamar mess—tempat mereka menginap. Gadis itu menatap Aisha dari bawah sampai atas lalu atas sampai bawah kemudian ia ternganga. “Lo serius mau pakek hijab?!” ia bersorak.
Aisha berdecak dan tak menghiraukannya. Ia malah asyik menatap penampilan barunya di depan cermin. Sementara Fifa, lagi-lagi, masih mangap dan takjub melihat kerudung yang tersemat di kepalanya. Tak hanya itu. Baju tipis dan ketat yang biasanya menemani sudah berganti dengan baju panjang yang longgar meski celananya masih ketat. “Gue mau ikutan ceramah Kak Marshall. Lo mau ikut?” tanyanya ketika beranjak dari depan cermin. Tangan-nya mengambil notebook kecil miliknya, lalu memasukannya ke dalam tas.
“Lo serius?” Fifa berseru haru walau masih tak percaya. Masalahnya, ada angin apa, Aisha mau ikutan ceramah segala?
“Lo gak lagi ngerencanain sesuatu kan?”
Matanya langsung memincing curiga. Mulai waspada akan alur pikiran Aisha yang selalu diluar logikanya. Bahkan menurutnya, pikiran gadis itu amat tidak masuk akal. Dan entah apa rahasia Allah menciptakan gadis bebal seperti ini. Sialnya lagi, dipertemukan dengannya bahkan menjadi sahabatnya. Allah, ketika seperti ini, ia tetap harus bersyukur bukan?
Ia malah tertawa renyah lalu berjalan keluar tanpa mengunci pintu. “Kan semalem lo yang bilang, kalau lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Nah....sekarang apa masalahnya gue berubah?” ia membalikan kata-kata. Hal yang membuat Fifa kembali ternganga namun juga takjub akan perubahan pikirannya. Oke, Aisha fix sudah tobat, gumamnya. Tapi belum sampai satu menit ia memuji gadis itu, ia langsung menarik kata-katanya saat sadar makna ucapan yang keluar dari mulut Aisha tadi. “Jangan bilang lo—”
Ia malah merangkul Fifa lalu menariknya berjalan menuju masjid. “Minimal nih ya, Fif. Dengan gue berhijab kayak gini, yang ngelirik gue bukan cowok-cowok b******k yang otaknya gak pernah dicuci!” ucapnya menggebu ketika otaknya mulai memutar wajah mantan satu-satunya. “Tapi cowok-cowok soleh!”
Brutal. Fifa buru-buru melepas rangkulannya. Ia berkacak pinggang dengan mata melotot. “Lo pakek hijab cuma supaya dilirik cowok-cowok soleh?!” Fifa nyaris menjerit.
Sementara Aisha malah terkekeh lebar. “Nah!” Ia menjentikan jarinya meninggalkan Fifa yang ternganga hebat. “Itu lo tau!”
“Aish! Serah lo dah serah!” Fifa pusing sendiri.
JJJ
“Gue risih,” keluhnya sementara Fifa nyaris menyemburkan tawanya. “Di masjid masih aja lirik-lirik.”
“Coba deh lo liat orang-orang.”
Fifa mencoba membuka mata Aisha lebih lebar. Ia tak menyalahkan Aisha atas kemauannya menggunakan hijab. Ia hanya menyalahkan niat Aisha yang keliru. Memakai hijab hanya agar lelaki soleh meliriknya. Oke, ia juga mengerti kalau sahabatnya ini masih awam. Masih membutuhkan pencerahan. Dan untuk usahanya ini, ia cukup mengapreasiasi walau rada senewen juga karena niatnya belum lurus. Setidaknya, Aisha sudah mencoba untuk menutup diri meski belum sepenuhnya. Itu simpulnya. “Liat gadis-gadis di sini.”
Aisha mengernyit walau tak urung menatap ke sekelilingnya. Tapi ia tak mendapat keganjilan apapun. Hanya gadis-gadis yang duduk di aula masjid, berbaris-baris berdasarkan bangku yang telah disusun. Lalu di seberangnya, ada barisan laki-laki yang sedari tadi meliriknya. Apa yang salah?
Ia menoleh lagi pada Fifa. Menagih maksud dari suruhan gadis itu menoleh-noleh ke sekitar. “Ada gak yang pakek celana ketat kayak lo?”
Pertanyaan itu membuatnya tersentak. Lalu menoleh lagi ke sekitarnya. Rata-rata gadis-gadis yang ikut ceramah ustad muda dan tampan di depan sana, mengenakan gamis atau rok. Tidak dengannya yang berbekal jeans ketat dan kaos. Ia meringis lalu terkekeh-kekeh kecil. Sadar diri.
“Sadar kan lo!” Fifa menyindir telak-telak dengan nada setengah sensi.
“Mereka kaget kali liat gue. Dokter koass yang kece tiba-tiba berhijab.” Ia menyinyir. Hal yang malah membuat Fifa mendengus sekaligus ingin muntah. Sahabatnya yang satu ini tidak hanya bebal tapi juga kepedean!
“Serah lo dah serah! Capek-capek gue ngasih tahu, ujung-ujungnya masuk kuping kiri keluar kuping kanan juga!”
Aisha terkekeh lebar. Tak ambil pusing, ketika Fifa malah pusing karena tingkahnya. Ia mengalihkan pandangannya dari tampang kesal Fifa. Matanya tertuju ke depan sana. Ke arah laki-laki yang sedari tadi bersenandung ceramah. Membawa orang-orang menuju kebaikan. Lelaki yang jauh berbeda dari lelaki yang ia kenal sebelumnya. Lelaki yang tentunya menjadi alasan kenapa ia bisa hadir disini. Ia suka pada lelaki itu? Haaah. Entah lah. Ia tak tahu apa namanya. Ia hanya suka melihat lelaki itu. Jika hanya suka melihat, maka bukan berarti suka kan? Atau belum?
“Kaaak, aku boleh nanya gak?” ia bertanya ketika para penghuni aula sudah meninggalkan bangkunya. Acara ceramah singkat itu telah berakhir.
Fifa mendelik senewen. Aisha mulai melakukan aksi yang dikenal dengan nama ‘modus'.
“Ya, tanyakan saja, Sha.”
Suaranya yang lembut itu cukup menggetarkan hati Aisha. Alangkah bahagianya kalau setiap hari ia bisa mendengar suara ini. Eh? Ia berharap apa barusan?
“Aku pernah dengar kalau wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Nah, menilai apakah seorang wanita itu baik dan pantas untuk si lelaki itu bagaimana sih, kak?”
Marshall mengangguk-angguk. Ia tak sadar kalau ada orang lain yang jengah melihat sikap centil sahabatnya sendiri. Sampai berbuih pun mulutnya, Aisha yang bebal itu tak kan mendengarnya. “Menilai seseorang apakah pantas atau tidaknya dengan pasangannya tidak bisa dilihat dari kacamata manusia, Sha. Karena kebaikan, ketakwaan, keimanan dan kepantasan seseorang bisa disebut sudah baik, beriman atau bertakwa itu hanya Allah yang bisa menilai.”
Ia mengangguk-angguk sok paham. “Lalu,” lidahnya mendadak kelu. Mengundang tanya diwajah tampan milik Marshall.
“Ada apa?”
“Eung...,” ia menggantung lalu mendongak, menatap wajah Marshall. “Kalau menurut kakak, seorang gadis itu sudah baik dilihat dari mananya?”
“Kalau menilai akhlak, kita sebagai manusia tidak bisa melihatnya, Sha. Kalau saya sendiri, menilai apakah wanita itu baik atau tidaknya, pertama-tama saya melihat dulu pakaiannya. Memang tak bisa menjamin apakah gadis itu baik, tapi setidaknya jika ia menutup diri, artinya ia peduli pada tubuhnya. Ia menyayangi tubuhnya. Ia menjaga tubuhnya. Saya bisa katakan bahwa ia wanita yang baik karena ia peduli pada tubuhnya dan ia taat pada Allah.”
Jawaban itu sungguh memesona Aisha dalam sesaat. Walau akhirnya, Aisha meringis tertahan sementara Fifa mengulum senyum. Ia menemukam s*****a baru yang bisa menohok hati Aisha yang bebal itu. Dengar tuh dengar!
“Tapi, kak. Misal kan ada gadis cantik, ia tak menutup diri. Namun akhlaknya baik. Lalu ada gadis lain yang tidak cantik, ia menutup diri dan akhlaknya baik pula. Kakak pilih yang cantik atau yang tidak cantik?” tanyanya. Tapi belum sempat Marshall menjawab, ia sudah menyambung ucapannya lagi. “Karena kan Aisha pernah dengar, wanita itu dinikahi karena parasnya, hartanya, nasabnya dan agamanya. Paras itu kan diletakan di nomor satu, kak.”
Aiiiisssh! Nyari mati! Fifa sudah memaki-maki Aisha dalam hati. Matanya bahkan melotot lebar dan kakinya sudah gatal, ingin sekali menendang gadis itu. “Yang tidak cantik.”
Aisha mangap sebentar. Matanya mengerjab-erjab kaget luar biasa. Baru kali ini, ia bertemu dengan seorang lelaki yang sama sekali tak menilai seorang perempuan dari parasnya. Aiih…..
“Kenapa, kak?”
“Karena bagi saya, yang cantik itu yang menutup tubuhnya dengan benar.”
Jawaban itu malah menenangkan batin Fifa yang sedari tadi mengkal akan pertanyaan demi pertanyaan milik Aisha. Tapi omong-omong, ia juga ikut terpesona. Astagfirullah. Ia mengusap wajahnya. “Kalau misal kan, ada seorang gadis yang menutup diri hanya untuk menarik perhatian lelaki yang disukainya gimana, kak?”
Gilaaaaaaaaaa, Fifa tak habis pikir. Ia sampai geleng-geleng kepala. Tak heran jika julukan 'gadis frontal' cocok sekali untuk Aisha yang bebal. Walau diam-diam ia salut juga. Karena Aisha tak mau menjadi gadis munafik. Berpura-pura baik padahal.....
“Oh. Emang ada yang kayak gitu?” Marshall malah balik bertanya. Aisha meringis. Ia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. Lalu menyodorkannya pada Marshall. Lelaki itu mengernyit walau tak urung mengambilnya juga.
“Aku pernah mendengar cerita Siti Khadijah yang melamar Nabi Muhammad. Lelaki soleh sepanjang zaman.” Ucapnya lalu menunduk malu. “Walau namaku Aisha, tapi aku merasa gak pantas untuk disamakan dengan sosok Aisyah yang cerdas, istri Rasulullah setelah Khadijah. Tapi....,” ia menghela lalu memberanikan diri menatap Marshall yang keningnya sudah berkerut-kerut. Terheran-heran akan ucapannya namun juga takjub.
“Kalau aku punya kesempatan yang sama seperti Khadijah, kenapa tidak aku mengikuti jejaknya?”
Ia menarik nafas dalam-dalam. Pada situasi ini, yang justru gugup adalah Fifa yang masih betah dibangkunya. Tapi tangan gadis itu sudah memegang erat bangku. Ini….kenapa seperti ia yang sedang bicara pada Marshall bukannya Aisha? Aish!
“Aku bukan Khadijah di masa lalu dengan kekayaan dan kedermawanannya, kak. Tapi aku adalah Khadijah di masa kini yang tak mau melewatkan kesempatan mendapatkan lelaki soleh. Walau aku sendiri tak yakin apakah aku pantas mendampinginya atau tidak. Namun...” ia menggantung lagi. Kali ini ia membuang wajahnya ke arah lain. Malu ditatap wajah menganga milik Marshall. Sementara Fifa sudah mengutuk-ngutuk kelakuannya yang jelas-jelas anti mainstream. “Ketika ada kesempatan kenapa tidak ku coba? Walau mungkin harus perih menanggung sakitnya ketika tidak diterima.”
Ia mendongak dan menatap Marshall dengan senyuman tipis. “Assalamu-alaikum, kak,” ucapnya cepat lalu terburu-buru keluar. Meninggalkan Marshall yang mengerjab-ngerjab dan Fifa yang sukses menganga lebar.
JJJ