CHAPTER 6: Weddings Turned Into Cremation

1699 Kata
Mentari tenggelam di sebelah barat, semburat jingga perlahan menghilang berganti warna kelam. Upacara kremasi Sanjay telah selesai dilakukan. Ayah dan ibu Sanjay kini berdiam di rumah dengan pakaian serba putih dan wajah sendu. Masih sulit rasanya mengikhlaskan kepergian putra mereka yang seharusnya sedang tersenyum bahagia bersama istrinya hari ini, jika saja maut tidak mendahului dan membatalkan pernikahannya. Tak jauh dari mereka, ada Ragta yang terus didampingi ayah dan ibunya. Dia hanya menatap kosong sedari tadi, air matanya tak mengalir lagi, terasa sudah terkuras habis dan akhirnya mengering. Gaun pengantin yang indah harus digantikan salwar kameez dan dupatta berwarna putih, melihatnya saja terasa menyedihkan bagi sebagian besar orang, apalagi merasakannya. Tak perlu dipertanyakan lagi memang, acara pernikahan yang batal dan berubah menjadi upacara kematian pasti akan menyisakan luka yang sangat mendalam. Di luar rumah, Dathav duduk bersama Fikhar, Ravi, dan Areev. Tidak hanya mereka, beberapa orang juga ada yang duduk-duduk di luar, sepertinya mereka tidak akan pulang sampai besok pagi. Itu adalah kebiasaan yang sudah seperti tradisi, untuk berjaga sepanjang malam di rumah orang yang sedang berduka, agar mereka merasa lebih aman dan tenang karena banyak yang peduli. "Dathav, bukankah seharusnya kau kembali ke Jaipur sore ini?" Ravi ingat Dathav mengatakan dia harus segera pulang setelah pernikahan Sanjay selesai, karena banyak pekerjaan yang menantinya di kantor. "Rasanya tidak enak jika aku pergi sekarang. Dalam suasana duka seperti ini, bagaimana aku bisa berpamitan kepada paman dan bibi?" "Memang benar, rasanya tidak sopan jika berpamitan sekarang, tapi apa tidak masalah kalau kau terlambat pulang?" "Tidak masalah, aku bisa mengatur semuanya. Aku akan pulang besok pagi saja." "Ya sudah, terserah kau mau bagaimana." "Aku masih tidak menyangka Sanjay akan pergi secepat ini," celetuk Areev. "Kasihan paman dan bibi, juga Ragta dan keluarganya, mereka semua pasti benar-benar merasa terpukul sekarang." "Membayangkan bagaimana perasaan Ragta saat ini, rasanya sangat menyakitkan. Seorang wanita yang kehilangan calon suami tak hanya akan merasakan kesedihan, biasanya tak sedikit orang yang akan menggunjingkannya. Apalagi orang-orang tua yang kolot, pasti mereka akan menghubungkan kejadian seperti ini dengan mitos-mitos aneh yang tidak masuk akal, mengatakan tentang pembawa nasib buruk, sumber kesialan, dan sebagainya." Fikhar hendak meneguk teh di gelasnya, tetapi ternyata gelasnya sudah kosong. "Biar aku isikan ulang gelasmu di dalam, sekalian aku ingin minum air putih." Dathav meminta gelas Fikhar. "Terima kasih, Dathav." "Sama-sama." Meski Dathav tak menanggapi apa yang dikatakan Fikhar, sebenarnya dia terpikirkan tentang kata-katanya itu. Yang dikatakannya ada benarnya juga, beban bagi seorang wanita yang ditinggalkan oleh calon suaminya pasti cukup berat. Sebelumnya dia tak begitu memikirkan bagaimana perasaan Ragta, dia terlalu fokus memperhatikan ayah dan ibu Sanjay serta memikirkan perasaan mereka. Sudah bukan rahasia lagi, dia memang kurang peka terhadap perasaan wanita. Melewati ruang utama, sekilas Dathav melihat Ragta, membuatnya makin menyadari seberapa besar kesedihan dan beban yang dirasakannya. Dari air mukanya saja, jelas terlihat gadis itu sangat hancur. Di dapur, Dathav melepas napas dengan berat, jujur saja, kepalanya agak pusing karena hari ini harus menyaksikan peristiwa yang terjadi di luar perkiraannya. "Hidup memang tidak terduga. Dalam hitungan detik, hidup bisa langsung berubah. Saat pagi ada persiapan untuk pernikahan, tapi di sore harinya, justru dilangsungkan upacara kematian. Aku hanya bisa berdoa, semoga jiwamu tenang di alam sana, Sanjay. Aku sangat ingin mengataimu bodoh karena sudah meninggalkan banyak orang yang menyayangimu, tapi itu tidak ada gunanya sekarang, karena aku tidak akan bisa melihatmu tertawa sembari menyangkal ejekanku itu seperti yang dulu biasa kau lakukan." ===《《 ♡ 》》=== Manisan yang dibeli oleh Sanjay di hari pernikahannya adalah manisan kesukaan Ragta. Sebelumnya dia sudah meminta ibunya untuk mempersiapkan manisan itu dan dia sendiri yang akan menyerahkannya kepada Ragta, tetapi ternyata ibunya membelikan manisan yang berbeda. Dia baru mengetahuinya ketika sudah berangkat menuju rumah Ragta dan memeriksa manisan istimewa yang dimintanya. Maka dari itu, dia memutuskan untuk membeli manisan kesukaan Ragta di tengah jalan, meski sudah dilarang oleh ibu maupun ayahnya. Begitulah yang diceritakan oleh ayah Sanjay dan disebarkan oleh orang-orang, hingga sampai di telinga Dathav. Dathav bisa mengerti, Sanjay memang begitu mencintai Ragta sampai demi manisan untuknya, dia mau berhenti di tengah jalan dan turun untuk membelinya. Selain itu, Dathav juga mendengar kalau Sanjay tidak melepaskan tas berisi manisan yang dibawanya meski dia sudah tak sadarkan diri. Dokter dan perawat yang menanganinya pun harus melepasnya secara paksa. "Dia benar-benar sudah diperbudak oleh cinta atau bagaimana, aku tidak mengerti. Semoga nanti aku tidak akan sepertinya. Biar saja aku disebut manusia yang tak memiliki hati, lebih baik seperti itu daripada buang-buang waktu untuk mencintai lalu menderita atau berakhir menjadi seperti ini. Aku tidak bisa mengatakan orang yang jatuh cinta itu bodoh, tapi kebanyakan kesannya memang demikian." Dathav selesai merapikan tasnya, pagi ini dia sudah siap kembali ke Jaipur. Meskipun masih agak tidak enak berpamitan dengan ayah dan ibu Sanjay, dia tetap harus melakukannya. "Maaf, Paman, Bibi. Aku tidak bisa tetap tinggal di sini untuk lebih lama lagi." "Tidak masalah, Nak." Ayah Sanjay menepuk bahu Dathav. "Pulanglah, karena kau juga punya kehidupan pribadi, jangan sampai apa yang terjadi kepada kami membuatmu terganggu." "Tidak, aku tidak merasa terganggu, Paman. Andai aku bisa di sini sedikit lebih lama, aku pasti akan melakukannya." "Terima kasih banyak, kami mohon maaf atas semua keadaan yang tidak nyaman ini." "Paman tidak perlu meminta maaf. Tolong jaga diri Paman baik-baik, jaga bibi juga." "Tentu." "Aku pamit, terima kasih sudah menyambutku dengan baik di sini." Dathav menyentuh kaki ayah dan ibu Sanjay. "Hati-hati di jalan, Nak," pesan ibu Sanjay. "Baik, Bibi." Ragta dan keluarganya juga akan pulang pagi itu. Setelah Dathav, ganti mereka yang berpamitan dengan ayah dan ibu Sanjay. "Aku akan ke sini lagi nanti, Ibu." Ragta berkata sembari memeluk ibu sanjay dengan wajahnya yang masih tampak sendu. "Terima kasih, Ragta. Kau tidak perlu memaksakan diri, karena kau juga butuh istirahat." "Tidak apa-apa, aku akan senang jika bisa menemani Ibu." Dathav lega, dia tak perlu terlalu mengkhawatirkan ibu Sanjay, karena Ragta masih ada untuk menghiburnya. Walau dia tidak tahu, siapa yang bisa menghibur Ragta. ===《《 ♡ 》》=== Dathav merasakan perasaan lega, seakan kembali ke habitatnya saat tiba di apartemen. Dia tak bisa menyangkal jika aroma, suasana, hingga suhu di sana adalah sesuatu yang cukup nyaman untuknya, kendatipun beberapa hal lain bisa membuatnya risih. Duduk dan menyandarkan punggung di sofa, dia membuka ponselnya yang sejak kemarin hampir tak dia sentuh sama sekali. Beberapa panggilan tak terjawab dan pesan-pesan dari berbagai aplikasi menumpuk, di antaranya berasal dari Lisha. Dia hendak menjawab salah satu pesan yang menanyakan kenapa panggilannya tak dijawab, tetapi Lisha sudah kembali menghubunginya terlebih dahulu. "Halo?" [Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku sejak kemarin?! Sesibuk apa kau di sana sampai setidaknya membalas pesanku pun tak sempat?!] "Maaf, ada hal tidak terduga yang kemarin terjadi." [Apa? Ada apa? Apa yang membuatmu sampai mengabaikan aku dan juga para mitra usahamu yang lain? Kau terlalu terlena dengan pesta pernikahan temanmu?!] "Bukan begitu, pernikahannya justru batal." [Batal? Kenapa? Pengantinnya melarikan diri?] "Tidak." [Lalu?] "Sanjay mengalami kecelakaan dan meninggal." [Apa? Apa kau serius?] "Untuk apa aku bercanda, Lisha?" [Ma–maaf, aku terlalu terkejut.] "Tidak masalah." [Aku turut berduka cita atas berita ini, Dathav. Aku hanya tidak mengerti, bagaimana bisa seseorang yang akan menikah malah harus meninggal begitu? Bukankah itu sangat tidak terduga dan rasanya juga tak adil?] "Kematian sudah digariskan akan terjadi kepada setiap makhluk yang hidup. Kapan, di mana, dan bagaimana itu terjadi, semuanya sudah diatur, jadi tidak ada gunanya kita protes." [Ya ... kau benar. Semoga pengantin wanitanya bisa kuat menghadapi kenyataan.] "Semoga saja." [Maaf lagi, tadi aku sudah memarahimu begitu. Aku merasa panik ketika kau tidak menjawab panggilanku, selain itu, beberapa mitra usahamu juga mengatakan kalau kau tidak bisa dihubungi. Aku sudah meminta pihak kantormu untuk membantu menghubungimu, tapi tetap tak bisa juga.] "Apa ada hal penting sampai kalian terus berusaha menghubungiku?" [Ya, jadwal meeting dengan tuan Yuv dimajukan, dia meminta meeting-nya diadakan besok. Ini memang agak mendadak, tapi mau bagaimana lagi? Tuan Yuv harus pergi ke Austria esok lusa dan dia akan tinggal di sana untuk satu minggu ke depan, jadi kalian tak bisa mengadakan meeting sesuai jadwal awal.] "Baiklah, kau tenang saja. Bagiku, besok tak terlalu mendadak." [Kau tidak lelah?] "Untuk saat ini aku lelah, tapi sepertinya besok sudah tidak lagi." [Mau aku temani tidur nanti malam?] "Hmm … tidak perlu, aku akan lebih nyaman jika tidur sendiri." [Baiklah, terserah kau saja.] "Oh ya, Lisha. Aku ingin bertanya kepadamu." [Tentang apa? Tanyakan saja.] "Mungkin aku sudah pernah menanyakan ini sebelumnya, tapi aku ingin bertanya lagi. Menurutmu, apakah mencintai itu salah?" [Mencintai itu seharusnya tidak salah, tapi bisa dianggap salah jika yang dicintai, waktu mencintai, atau keadaan ketika jatuh cinta tidak tepat. Aku sudah pernah mengatakannya, 'kan?] "Benar, kau sudah pernah mengatakannya. Lalu … apakah berlebihan, jika mencintai seseorang sampai rela mengorbankan apa pun untuknya?" [Menurutku, tentu saja itu berlebihan. Mengorbankan apa pun, melakukan hal-hal konyol, sampai rasanya tidak logis lagi, bagaimana aku bisa menyebutnya wajar? Mencintai tak harus sampai tahap yang begitu gila, 'kan? Berkorban boleh-boleh saja, tapi tak harus mengorbankan apa pun atau segalanya, itu terlalu berlebihan.] "Jawaban yang sangat sesuai dengan dirimu. Jadi, kau sendiri apakah mau mengorbankan sesuatu untuk orang yang kau cintai atau tidak sama sekali?" [Kalau untukmu, aku akan rela mengorbankan banyak hal dan melakukan banyak upaya.] "Heh? Kau mencintaiku? Aku tidak suka itu, aku tidak suka cinta." [Kalau aku ganti kata cinta dengan obsesi, apakah kau mau?] "Menjijikkan, kenapa harus ada singa betina yang terobsesi denganku?" Dathav tertawa garing. [Entahlah, salahmu sendiri karena kau terlalu menarik.] "Menarik? Dari segi mana aku menarik?" [Oh ayolah, Dathav! Kau hanya tinggal mengatakan saja kepadaku jika kau ingin dipuji. Seorang pria tampan, keren, karismatik, dan kaya sepertimu tidak akan menarik dari segi mananya? Aku yakin, banyak wanita di luar sana yang mengenalmu dan diam-diam bermimpi bisa menjadi pendamping hidupmu.] "Oh, baiklah-baiklah, aku sudah mengerti sekarang. Cukup sampai di sini, aku ingin mandi dan berberes dulu." [Oke, istirahat yang cukup agar besok kau bisa menghadiri meeting dalam keadaan fit. Sekarang aku akan kembali menjalani aktivitasku.] "Semangat, Nona Lisha!" [Terima kasih banyak, Presdir Dathav!] Dathav beranjak setelah Lisha mengakhiri panggilan. Sembari mandi dan melakukan kegiatan lainnya, dia masih memikirkan kata-kata Lisha tentang cinta yang berlebihan dan membandingkannya dengan opini pribadi. Terkadang pemikiranku dan Lisha memang kerap kali selaras. Mungkin karena itu juga aku suka mendengarkan opininya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN