CHAPTER 7: Meet Again and Stay Overnight

1756 Kata
Sekitar satu bulan kemudian, sepulang dari kantor, Dathav melihat sebuah kerumunan di tepi jalan dekat dengan apartemennya. Biasanya dia abai saja, tetapi kali ini dia merasa penasaran. Dia pun turun dan mencari tahu apa yang terjadi. Setelah berhasil membelah kerumunan, dia akhirnya tahu bahwa penyebab kerumunan tersebut ternyata adalah seorang gadis yang tergeletak tak sadarkan diri. "Hei, apa sudah ada yang memanggil ambulans? Kita tidak tahu apa yang terjadi kepadanya, kita harus bawa dia ke rumah sakit," ujar seorang wanita paruh baya yang mendekap gadis itu. "Tunggu sebentar, akan aku hubungi ambulans dulu," sahut salah satu orang. Ketika sang wanita paruh baya menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi wajah gadis di dalam dekapannya, Dathav terkejut karena gadis itu ternyata adalah Ragta. "Ragta? Kenapa dia ada di sini?" Dathav mendekat untuk memastikan dan memang benar itu Ragta. "Maaf, apa Anda tahu apa yang terjadi kepadanya?" "Tadi saya melihatnya terhuyung dan pingsan begitu saja, saya tidak tahu dia kenapa." Wanita paruh baya tadi menjelaskan dengan singkat. "Saya mengenalnya, biar saya yang membawanya ke rumah sakit." "Apa? Apa Anda sungguh mengenalnya? Anda bukan orang yang ingin berniat buruk kepadanya, 'kan?" "Tidak, percayalah kepada saya, dia adalah tunangan teman saya, saya tidak mungkin berniat buruk kepadanya." "Benar, nak Dathav tidak mungkin berbuat buruk kepadanya, dia orang yang baik." Seorang pria tua yang ada di antara kerumunan tiba-tiba angkat bicara. "Nak Dathav adalah tetangga saya, kami tinggal di apartemen yang sama, saya berani menjamin kalau dia tidak akan berbuat macam-macam." "Ya, itu benar." Wanita di sebelah pria tua itu ikut bicara. "Percayalah, Bu. Gadis itu akan aman jika pergi bersama nak Dathav." Dathav merasa beruntung karena ada orang yang masih mempercayainya, meskipun dia terbilang jarang bersosialisasi dengan mereka. "Baiklah, saya percaya, Anda bisa membawanya, Tuan Dathav." "Terima kasih, Bu." Dathav segera mengangkat tubuh Ragta. Sebelum membawanya ke mobil, tak lupa dia berterima kasih kepada kedua tetangganya yang sudah membantu meyakinkan wanita tadi. ===《《 ♡ 》》=== Dathav menunggu di ruang tunggu, sejak tadi dia terus terpikirkan, kenapa Ragta bisa sampai ke Jaipur? Dia membawa sebuah koper besar dan tas jinjing yang kemungkinan berisi pakaian, dengan bawaan seperti itu, mau apa dia datang ke Jaipur? "Permisi, apakah Anda keluarga pasien?" Dokter wanita yang memeriksa Ragta keluar dari ruangan dan menegur Dathav. "Bukan, saya temannya, keluarganya tidak ada di Jaipur, jadi saya yang akan bertanggung jawab atas dirinya, Dokter. Bagaimana keadaannya?" Dathav agak kaget karena rasanya belum lama Ragta diperiksa, tetapi dokter sudah keluar dari ruangan. "Dia baik-baik saja, dia pingsan karena kelelahan dan tekanan darahnya agak rendah." "Jadi tidak ada sakit yang serius?" "Tidak ada, dia bisa pulang setelah sadar nanti. Untuk pemulihannya, saya sarankan dia harus istirahat yang cukup. Nanti Anda juga bisa belikan obat sesuai resep dari saya ini." Dokter memberikan kertas bertuliskan resep obat untuk Ragta. "Baik." Dathav menerima dan membacanya sekilas. "Apa sekarang saya boleh melihat keadaannya?" "Tentu, dia akan segera sadar, sebaiknya Anda memang menemaninya." "Iya, terima kasih, Dokter." "Sama-sama, Tuan. Saya permisi." Dathav masuk ke ruangan, di sana dia melihat Ragta masih terbaring di atas katil dengan mata terpejam. Dia mengambil kursi dan duduk di sebelah katil tempat Ragta berbaring, memperhatikan wajahnya yang sedikit pucat. "Seingatku, aku selalu melihat wajahnya yang sedih dan pucat. Terakhir kali aku melihatnya tersenyum adalah saat bertemu dengannya di Taj Mahal. Dia tampak sangat ceria waktu itu, pasti karena masih ada Sanjay di sisinya." Bulu mata panjang nan lentik milik Ragta bergetar dan kelopak matanya perlahan terangkat. Dathav lega dia sudah sadar dan sepertinya tengah bingung melihat tempat yang asing baginya. "Di mana aku?" tanyanya pelan tanpa melihat ke arah Dathav, seperti sedang bertanya kepada dirinya sendiri. "Kau ada di rumah sakit." "Hah?" Ragta baru sadar kalau ada orang di sebelahnya. "Kau … kau temannya Sanjay, 'kan? Kalau tidak salah … namamu Dathav?" "Ya." "Kau yang membawaku ke sini? Terima kasih banyak." "Sama-sama, kebetulan kau pingsan di jalan dekat apartemenku." "Apa? Benarkah?" "Iya. Aku heran, kenapa kau bisa ada di Jaipur dan sampai pingsan di pinggir jalan seperti tadi?" "Ah, itu … aku ke sini untuk mencari pekerjaan. Aku bisa pingsan mungkin karena kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dan sejak berangkat aku pun sudah merasa sedikit tidak enak badan." "Meski begitu kau tetap memaksakan diri untuk berangkat?" "Mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin membatalkan tiket keretaku." "Begitu, ya? Apa kau punya kenalan di sini atau tempat yang harus kau tuju?" "Tidak." "Lalu apa kau sudah mendapatkan incaran apartemen, kontrakan, atau semacamnya untuk tinggal?" "Belum." Dathav memijit keningnya. "Kalau begitu tinggalah di apartemenku." "Apa?" Ragta melongo. "Apanya yang apa? Ini sudah malam dan kau belum mendapatkan tempat tinggal, jadi untuk malam ini kau menginaplah dulu di apartemenku, akan aku bantu mencari tempat tinggal besok." "Oh, begitu. Aku … sebenarnya tidak ingin merepotkanmu." "Kau tidak merepotkanku, justru aneh kalau aku tidak membantumu padahal aku mengenalmu." "Um, terima kasih banyak untuk itu." "Sama-sama. Kau sudah boleh pulang saat ini juga, apa kau sudah siap untuk pulang atau masih pusing?" "Aku sudah merasa baik-baik saja, lebih baik kita pulang, karena aku kurang suka berada di rumah sakit." "Aku juga, kalau begitu mari kita pergi dari sini. Sekalian nanti kita ambil obat untukmu di apotik." "Baik." Ragta turun perlahan dari atas katil. Rasa pusingnya tersisa sedikit, tetapi masih bisa dia atasi. Bersama Dathav, dia berjalan beriringan menuju ke apotik untuk mengambil obat, baru setelah itu pulang ke apartemennya. "Eee … Dathav, biar aku sendiri yang membayar biaya rumah sakitnya. Kalau kau tadi sudah terlanjur membayar, biar aku ganti uangnya." "Kau orang yang selalu segan menerima bantuan orang lain, ya?" "Itu wajar, 'kan? Apalagi kita belum lama saling mengenal." "Ya, memang rasanya kita masih seperti orang asing, tapi kau tidak perlu merasa segan. Kau tidak perlu khawatir tentang biaya rumah sakit, anggap saja aku membayarkannya untukmu sebagai bantuan kecil dari temanmu." "Kau melakukannya karena sebelumnya aku adalah tunangan Sanjay?" "Mmm … ya, itu salah satu alasannya. Alasan lainnya karena kau seorang wanita yang aku kenal dan sedang berada di kota Jaipur ini sendirian, sehingga aku merasa kau memerlukan bantuanku." "Terima kasih banyak, aku tidak akan melupakan kebaikanmu sampai kapan pun juga." "Ah, kau terlalu berlebihan, padahal ini hanya bantuan kecil." "Ya, tapi tetap saja kau sudah membantuku, terima kasih." "Sama-sama, senang bisa membantumu." ===《《 ♡ 》》=== Ragta benar-benar sungkan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Dathav. Tak seperti apa yang ada dalam bayangannya tentang sebuah apartemen sederhana, ternyata apartemen itu adalah apartemen yang cukup mewah. Tempat itu sudah terlihat seperti penthouse yang selama ini hanya dia lihat di film-film. Dia pikir, dirinya tak akan mungkin masuk ke dalam apartemen semewah itu seumur hidupnya. "Selamat datang di apartemenku, maaf kalau agak berantakan, karena aku belum sempat merapikannya tadi pagi, aku buru-buru berangkat sebab ada meeting." Ragta mengamati dengan lebih seksama setiap bagian ruang apartemen yang bisa dijangkau oleh matanya. "Tidak ada yang berantakan, menurutku tempat ini sangat rapi." "Benarkah?" "Ya, sepertinya kau sangat memperhatikan kerapian dan kebersihan tempat tinggalmu." "Itu tak bisa aku sangkal, beberapa orang bahkan sampai mengataiku maniak kebersihan." "Bagus, 'kan? Menyukai kebersihan bukanlah hal yang buruk." "Iya, menurutku juga begitu. Ah, silakan duduk dulu, akan aku rapikan kamar untuk kau tidur malam ini." "Tidak perlu, biar aku yang melakukannya sendiri." "Kau adalah tamuku, kurang pantas kalau aku membiarkanmu menyiapkan tempat tidur sendiri." "Aku mohon, jangan membuatku semakin sungkan kepadamu." Dathav tersenyum hingga gigi depannya terlihat, membuatnya tampak sangat manis. "Baiklah, aku akan membiarkanmu melakukannya sendiri. Kamarnya ada di sebelah kanan, kalau kau ingin segera beristirahat, aku akan menunjukkannya kepadamu sekarang." "Terima kasih–" Mendadak Ragta mendengar suara perutnya berbunyi, dia merasa malu, entah Dathav mendengarnya atau tidak. "Eee … apa aku bisa meminjam dapurmu dan memasak sesuatu?" "Memasak? Kau lapar?" "I–iya, aku belum sempat makan siang tadi." "Oh, masalahnya … aku tidak punya dapur." Dathav menggaruk belakang kepalanya. "Apa?" Ragta kaget karena tidak ada dapur di apartemen mewah itu, padahal menurutnya dapur adalah salah satu bagian penting dalam sebuah tempat tinggal. "Ada dapur di sini, tapi aku tidak pernah menggunakannya. Tidak ada kompor atau peralatan masak lain di sana." "Lalu, bagaimana kau makan? Tunggu, apa kau tinggal sendirian? Apa kau juga tidak mempunyai asisten untuk membantumu di sini?" "Aku tinggal sendirian, aku juga tak memiliki asisten untuk membantuku, aku memesan makanan jika aku lapar." Dathav agak malu mengakuinya, tetapi sudahlah, menurutnya berterus terang tetaplah pilihan terbaik, daripada harus berputar-putar mencari alasan. "Aku … akan memesankan makanan untukmu sekarang, kau mau makan apa? Kau bisa memesan apa pun." "Aku ingin paratha dan kari." "Hanya itu?" "Ditambah tumis sayuran." "Mau sayur apa?" "Sawi, lobak, dan jagung, apa ada?" "Tentu, sudah aku katakan kau bisa memesan apa pun, 'kan? Mau makanan penutup apa?" "Samosa isi cokelat." "Minumannya?" "Teh saja." "Baiklah, tunggu sebentar, biar aku pesankan." Dathav menghubungi restoran langgan*nnya dan memesan makanan untuk Ragta, sedangkan Ragta menghubungi ayah dan ibunya untuk memberi kabar bahwa dia sudah sampai di Jaipur dalam keadaan baik-baik saja. Perlu sekitar 20 menit menunggu, hingga makanan yang dipesan datang. Delivery man yang mengantarkannya tak hanya menyerahkan makanan pesanan Dathav, tetapi juga sebuah kotak berwarna merah yang berbentuk hati, dengan setangkai bunga mawar dan pita biru muda kecil yang menghiasi atasnya. "Apa ini?" "Itu cokelat, Tuan." "Aku rasa, aku tidak memesan cokelat, tapi samosa isi cokelat." "Benar, Anda memang tidak memesannya. Hanya saja, restoran kami sedang berulang tahun, hampir sama seperti tahun lalu, 500 pelangg*n hari ini akan mendapatkan hadiah cokelat seperti ini. Anda adalah pelangg*n terakhir yang mendapatkannya, Tuan Rai. Selamat, semoga cokelat ini menjadi salah satu keberuntungan Anda hari ini." "Wah, terima kasih. Selamat berulang tahun untuk restoran kalian." "Terima kasih, Tuan. Terima kasih telah menjadi pelangg*n setia kami." "Sama-sama." "Saya permisi, selamat malam dan selamat menikmati makan malam Anda." Dathav mengangguk pelan. Setelah delivery man tersebut pergi, dia menghampiri Ragta dan memberikan makanan beserta cokelat tadi kepadanya. "Apa ini?" Ragta heran melihat Dathav memberikan kotak yang indah bersama dengan makanan pesanannya. "Kau dapat hadiah karena restoran tempatku memesan sedang berulang tahun." "Benarkah?" Ragta membuka kotak dan melihat isinya. "Cokelat?" "Ya, kau suka cokelat atau tidak?" "Suka, pada dasarnya aku suka makanan manis." "Kebetulan sekali, berarti itu keberuntunganmu." "Hari ini aku memang sedang sangat beruntung, karena itu aku bertemu denganmu saat aku tidak tahu harus pergi ke mana di kota sebesar ini." "Kalau itu mungkin memang sudah takdir. Sekarang kau makan saja dulu, aku akan mandi dan istirahat, kau juga harus segera istirahat setelah makan nanti." "Tunggu, kau tidak makan?" "Aku sudah makan di kantor sebelum pulang." "Oh, baiklah." "Satu lagi, jangan lupa minum obatmu." "Iya, aku tidak akan lupa." "Bagus. Selamat malam!" "Selamat malam!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN