Pak Sapto meminta tolong kepada salah seorang siswa untuk mengambilkan segayung air dan oleh Sapto kemudian air itu dipercikannya ke wajah Udin. Udin dengan wajh kesal pun bangun dari tidurnya.
“Siapa sih, ganggu orang lagi tidur saja, kurang kerjaan sekali!” ucap Udin galak.
Pak Sapto mengacungkan tongkatnya ke arah Udin, “Berani kamu memarahi bapak. Kamu sadar apa kesalahan kamu kali ini?” tanya pak Sapto galak.
“Ketiduran di halaman sekolah, ‘kan” pak?, daripada saya tidur di dalam kelas, lebih baik saya tidur di luar kelas. Apa salahnya pak?, kalau saya tidur, karena mata saya mengantuk.”
Pak Sapto memarahi Udin dan mengatakan kalau salahnya itu banyak. Ia sudah meminta orang lain untuk menggantikan hukumannya, sementara ia malah tertidur dengan pulas di bawah pohon.
“Saking sayangnya bapak sama saya, sampai apa yang saya lakukan harus bapak awasi, jangan gitu dong pak!. Nanti bapak dikira pilih kasih loh, perhatiannya hanya sama saya saja.”
Pak Sapto lalu membawa Udin ke ruang kepala sekolah untuk mendapatkan hukuman langsung dari kepala sekolah. Setibanya di ruang kepala sekolah, Udin dan pak Sapto dipersilahkan untuk duduk.
Pak Sapto diminta oleh sang kepala sekolah, untuk menjelaskan apalagi kesalahan Udin kali ini. Pak Sapto pun menjelaskan kalau, ia memergoki Udin merokok. Lalu ia memberikan hukuman kepada Udin untuk memetik daun yang gugur di halaman sekolah.
Akan tetapi, si Udin nya malah tidur dan ia mengancam siswa lain untuk melaksanakan hukuman yang seharusnya diberikan kepadanya.
“Mengapa kamu tidak pernah bosan membuat masalah, udin. Tidak cukupkah ulah yang sudah kamu lakukan selama ini?” tanya pak Kadir sang kepala Sekolah.
“Saya tidak salah pak, yang salah itu pak Sapto yang terlalu sayang sama saya. Masa saya diawasin terus, pak Sapto memberikan perhatian yang berlebihan kepada saya. Saya ngumpul bareng teman-teman saya didatangin. Kayak orang yang cemburu gitu pak. Apa yang saya lakukan selalu salah di mata pak Sapto.”
Pak Kadir membolakan matanya mendengar apa yang dikatakan oleh udin barusan, lalu ditatapnya dengan tajam pak Sapto. Ia tidak mau sampai citra sekolahnya tercoreng, karena perbuatan tidak bermoral dari pegawai di sekolahnya. Terlebih lagi Udin merupakan anak dari donatur terbesar di SMA Tunas Bangsa.
“Apa yang kamu lakukan kepada Udin itu tidak benar, kenapa kamu terlalu memberikan perhatian yang berlebih kepada Udin. Saya tidak mau ada hubungan terlarang di sekolah yang saya pimpin,” ucap pak Kadir kepada pak Sapto.
“Bapak salah faham, pak. Tidak benar kalau saya suka sama si Udin, pak. Saya juga mengawasi anak-anak yang lain kok. Hanya saja kebetulan hari ini Udin banyak membuat kesalahan. Tidak benar kalau saya hanya memberi perhatian khusus kepada Udin.”
Udin pun ikut menimpali ucapan pak Sapto, “Saya hanya tidak suka saja, pak Masa saya merokok dilarang, kan yang merokok saya, belinya juga pakai uang saya bukan uang pak Sapto, kok malah dilarang. Saya juga tadi dihukum pak Sapto, karena datang terlambat ke sekolah. Nah, karena hukuman yang diberikan oleh pak Sapto itulah saya dihukum lagi sama guru Matematika.”
“Kamu memang pantas mendapat hukuman, karena sudah membuat kesalahan. Sekarang kamu juga akan mendapat hukuman tambahan dari saya, karena sudah membuat saya dan mungkin orang yang lain berfikir negatif tentang pak Sapto. Selain itu hukuman ini juga untuk semua kesalahan kamu hari ini.”
“Ya, Allah pak, masa dalam seharian ini saya harus mendapatkan hukuman terus sih, besok saja ya pak hukumannya. Hari ini saya belum siap untuk mendapatkan hukuman lagi.”
“Tidak bisa. Kamu bapak hukum untuk membersihkan toilet siswa laki-laki, sepulang sekolah. Sekarang silahkan kamu kembali masuk ke dalam kelas.”
Udin pun kembali masuk ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran. Saat jam pulang sekolah tiba, Udin mendapat pengawasan dari pengurus OSIS di sekolahnya untuk melaksanakan hukuman.
Jam 08.00 malam, Udin bersama dengan keempat sahabatnya sudah bersiap di apartemennya. Tengah malam nanti, ia akan balapan liar dengan Farid.
Udin menenggak minuman kaleng yang diambilnya dari dalam kulkas. “Aku merasa ada yang aneh dengan motorku, entah kenapa jalannya sedikit tidak nyaman. Sebelum ke sirkuit kita mampir dulu ke bengkel, ya. Untuk mengecek motor ku.”
“Ayo, sekarang saja kita berangkat ke bengkel. Sebelum keburu waktu balapan. Jangan sampai kamu dianggap pengecut dan tidak berani melawan ketua geng Scorpion.
Udin dan keempat sahabatnya lalu berangkat ke bengkel langganan mereka untuk memeriksakan motor sebelum balapan. Sampai di sana Udin disambut dengan hangat oleh pemilik bengkel yang langsung memeriksa motor Udin. Ternyata motor Udin mengalami kerusakan yang lumayan parah, menjelang lomba balap dimulai barulah motor Udin selesai diperbaiki dan itupun masih belum baik benar. Udin nekat tetap memakai motornya, karena ia tidak mau kalah dari si Farid.
Tepat kurang satu menit lomba dimulai barulah Udin datang ke arena balap liar dan kedatangannya disambut dengan ejekan dari Farid, “Kukira kau terlalu pengecut untuk melawan ku balap motor.
“Tentu saja aku bukanlah seorang pengecut. Bersiaplah kau untuk mendapatkan kekalahan mu,” balas Udin.
“Sudahlah!, jangan banyak bacot. Ayo, segera saja kita mulai balapannya,” jawab Farid.
Keduanya lalu bersiap di garis start di atas motor mereka masing-masing. Udin dengan helm berwarna biru dengan gambar tokoh balap idolanya, Valentino Rossi. Sementara Farid dengan helm berwarna hitam miliknya.
Seorang gadis pembawa bendera start dengan pakaian seksi sudah bersiap untuk mengibaskan bendera sebagai tanda dimulainya balapan. Begitu bendera start dikibaskan, Udin dan Farid langsung saja memacu motor mereka.
Udin memimpin jalannya lomba, akan tetapi saat di tengah jalan ia berhasil disusul oleh Farid. Udin pun kembali menggeber motornya untuk menyalip Farid. Akan tetapi, saat berada di sebuah tikungan, Udin dicurangi. Farid telah memerintahkan anak buahnya untuk bersembunyi saat berada di tikungan dan membuat jebakan agar Udin terjatuh.
Udin yang sedang melajukan motornya dengan kencang tidak menduga sama sekali, akan menemukan sebuah balok kayu besar yang melintang di jalanan. Udin dengan sigap mengerem motornya. Akan tetapi, sepertinya rem motor Udin bermasalah. Ia tidak dapat melakukan pengeremen dan… Brak… Udin terjatuh dari motornya dan terseret beberapa meter, karena kencangnya laju motor miliknya.
Farid yang sengaja memperlambat laju motornya, biar disalip oleh Udin, tersenyum melihat Udin yang jatuh tak berdaya dari motornya. Farid langsung saja memerintahkan anak buahnya untuk menyingkirkan balok kayu tersebut.
Dengan begitu saja Farid melewati Udin yang terjatuh. Tidak ada niat sedikitpun di hati Farid untuk menolong Udin.
Sahabat Udin kecewa melihat Farid yang memenangi balapan malam ini. Sudah pasti geng mereka akan mendapat ledekan dari geng Farid saat di sekolah nanti.
“Farid dengan jumawa turun dari motornya, “Bersiaplah kalian semua untuk menerima hukuman atas kekalahan pimpinan kalian.” Ejek Farid kepada sahabat Udin.
“Tenang saja, kami tahu aturan, asalkan kau mengalahkan Udin dengan jujur. Kami akan menerima taruhan yang kau buat dengan Udin.” Jawab Ryan, salah seorang sahabat Udin.
Setelah menunggu selama kurang lebih setengah jam, tetapi Udin dengan motor balapnya belum juga muncul di hadapan mereka semua. Keempatnya pun memutuskan untuk menyusul Udin.
ALangkah terkejutnya keempat sahabat Udin, saat mereka melihat Udin tergelatak tidak berdaya di samping motornya. Dengan cepat Zidan menghubungi ambulance dan juga menghubungi Maryam, kakak Udin.
Petugas medis segera datang ke lokasi kejadian dan langsung saja tubuh Udin yang masih tidak sadarkan diri di bawa ke rumah sakit, diiringi oleh keempat sahabatnya.
Rachel dan Maryam, kedua kakak Udin sudah telrebih dahulu sampai di rumah sakit untuk menunggu Udin. Begitu melihat Udin yang di turunkan dari atas brankar dalam keadaan pingsan dan wajah yang terluka, keduanya pun menangis.
Tubuh Udin di masukkan ke ruang gawat darurat untuk mendapatkan perawatan. Rachel, kakak Udin menelepon ayah mereka untuk mengabarkan keadaan sang adik. Namun, kembali yang mengangkat teleponnya adalah sang ibu tiri. Wanita yang membuat ayah yang mereka sayangi melupakan anak-anaknya dari istri pertama dan lebih memilih tinggal bersama dengan istri mudanya.
Hanya Udin sajalah yang tidak mengetahui kalau ayahnya sudah menikah lagi dan lebih menyayangi keluarga barunya.
“Hei, w*************a. Aku hanya mau berbicara dengan ayah ku, tolong kau berikan teleponku kepada ayah ku.” Bentak Rachel melalui sambungan telepon.
Merasa usahanya nihil untuk berbicara dengan sang ayah, Rachel memutuskan untuk mendatangi ayahnya langsung. Ia meminta tolong kepada Luki, sahabat Udin untuk mengantarkannya ke kediaman ayah nya.
Untung saja Luki bersedia mengantarkannya, Rachel meminta kepada Luki untuk merahasiakan apapun yang dilihat dan didengarnya nanti dari Udin. Dengan naik motor Ninja milik Luki, mereka tiba dengan cepat di gerbang rumah ayah Rachel.
Satpam yang bertugas melarang Rachel untuk masuk ke dalam. Rachel yang emosi, sejak teleponnya untuk sang ayah disabotase oleh ibu tirinya menjadi emosi. Ia berteriak dan mengancam satpam yang berjaga akan dipecat kalau tidak mau membukakan pintu gerbang untuk nya. Namun, satpam itu bergeming. Ia beralasan, kalau ia hanay mematuhi perintah dari nyonya majikannya.
Luki ikut membantu Rachel agar diijinkan masuk ke dalam, tetapi mereka gagal. Saking kesalnya, Rachel menendang kemaluan petugas keamanan ayahnya hingga ia membungkuk kesakitan. Belum lagi ia pulih, Rachel kembali menendang lututnya dengan kencang. Tendangan Rachel kali ini membuat petugas keamanan itu jatuh tersungkur.
Rachel segera saja mengambil kunci yang terselip di pinggang petugas keamanan di rumah ayahnya dan dibukanya pintu gerbang dengan lebar. Rachel meminta kepada Luki agar segera menyalakan motornya dan mereka pun masuk ke halaman rumah.
Rachel melompat turun dari motor yang belum mati, ia langsung saja menekan bel pintu rumah ayahnya dan menggedor pintunya berulang. Pintu dibukakan oleh seorang maid di rumah megah tersebut.
Rachel mengabaikan sopan santun, dilewatinya begitu saja maid itu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Rachel berteriak kencang memanggil nama ayahnya dengan tidak sopan. Ia sudah sangat emosi dan kemarahan begitu menguasainya saat ini.
Dari balik tangga ayahnya diikuti oleh istri mudanya, si wanita ular yang menghalangi Rachel untuk berbicara dengan ayahnya.
Tanpa mengucapkan salam dan mengabaikan sopan santun, karena memikirkan kondisi adiknya yang terluka parah, Rachel membentak ayah nya, “Sebegitu tidak pedulinya Anda dengan kami, anak kandung Anda sendiri. Hingga Anda tidak bersedia untuk menerima telepon dari saya yang hanya mau mengabarkan kalau anak Anda Udin, yang juga adalah adik saya mengalami kecelakaan.”
“Dan saat ini, ia sedang berjuang antara hidup dan mati. Ingat saja, saat Anda tua dan sakit-sakitan jangan harap untuk datang mencari kami dan meminta maaf kepada kami. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk dengan Udin, saya tidak akan pernah memaafkan Anda. Maafkan saya anak yang tidak dianggap ini mengganggu waktu anda bersama dengan wanita perebut suami orang.” Teriak Rachel dengan begitu emosi.
Ia lalu mengajak Luki untuk meninggalkan rumah megah ini, “Oh, iya nyonya dan tuan Altaf Baihaqi, saya berjanji ini adalah kunjungan saya yang terakhir ke rumah ini. Saya berjanji tidak akan datang kemari lagi,” ucap Rachel diiringi isakan tangisnya.