BERTEMUNYA KEMBALI KEDUA ORANG TUA UDIN

1730 Kata
Saat di tengah perjalanan, Luki menghentikan motornya di depan sebuah tempat perbelanjaan yang menjamur di Indonesia, “Tunggu sebentar, ya mbak. Aku ada yang dibeli.” Luki kemudian masuk ke dalam toko tersebut meninggalkan Rachel di parkiran toko. Tak lama berselang, Luki ke luar dari dalam toko dengan membawa beberapa barang belanjaan, Begitu sampai di depan Rachel, Luki menyerahkan satu pak tisu, “Hapus mbak air matanya. Kita sebentar lagi sampai di rumah sakit dan dimakan dulu coklatnya untuk mengurangi rasa sedih mbak.” Dengan suara yang pelan, Rachel mengucapkan terima kasih. Diusapnya air mata yang jatuh menetes di wajah dan dibersitnya ingus yang ke luar. Rachel tersenyum malu, saat ia membersit hidungnya mengeluarkan bunyi nyaring. Luki hanya tersenyum saja, “Nggak papa, kok mbak. Santai aja sama aku.” Luki melepas jaket yang dikenakannya dan diulurkannya kepada Rachel. “Silahkan dipakai jaketnya, mbak. Badan mbak kedinginan kena udara malam.” Rachel menerima jaket yang diberikan oleh Luki, kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan kembali menuju ke rumah sakit tempat Udin di rawat. Luki melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, hingga Rachel harus berpegangan dengan erat di pinggang Luki. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, mereka pun sampai di parkiran sebuah rumah sakit yang ternama di ibu kota. Keduanya lalu turun dari motor dan menuju ke ruang Unit Gawat Darurat. Terlihat Maryam kakak Udin yang nomor 2 sedang duduk di kursi tunggu sambil memejamkan matanya. Ia ditemani oleh ketiga orang sahabat Udin lainnya. Rachel menghenyakan pantatnya di atas kursi di sebelah Maryam. Tanpa membuka matanya, Maryam bertanya kepada Rachel apakah ia bertemu dengan ayah mereka. Rachel mengambil napas dalam, lalu dihembuskannya. “Ya, aku bertemu dengan ayah, juga w*************a itu. Aku tadi sudah meneriaki ayah, karena aku merasa marah dan kecewa dengan ayah yang melupakan kita dan hanya memikirkan keluarga barunya. Aku juga mengatakan kepada ayah, kalau istri mudanya menghalangiku untuk menghubunginya. Aku merasa menyesal sudah berlaku kasar kepada ayah, tetapi rasa kecewaku lebih mendominasi hingga aku berlaku kasar kepada ayah.” Ungkap Rachel sedih. Maryam membuka matanya dan dirangkulnya tubuh kakaknya dengan rasa sayang. “Aku sudah menghubungi ibu dan sebentar lagi ibu akan sampai, semoga saja ibu akan lebih memperhatikan kita. Kita memang mempunyai orang tua yang lengkap, tetapi kita bagaikan anak yang kehilangan induknya. Tanpa ayah dan ibu yang egois lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri.” “Kita tidak memerlukan mereka, kita bertiga pasti bisa menjalani ini semua. Ungkap Rachel. Ia lalu menatap ke arah ke empat sahabat Udin, “Mbak minta tolong dengan sangat agar kalian semua merahasiakan dari Udin, kalau ayah kami sudah menikah lagi dan ia sudah mempunyai anak yang lain, yang lebih disayanginya. Keempat sahabat Udin berjanji kalau mereka tidak akan mengatakannya kepada Udin. Mereka juga merasa sedih mengetahui kenyataan yang sebenarnya mengenai kondisi keluarga Udin yang ternyata tidaklah harmonis. Sementara itu, di kediaman ayah Udin bersama dengan istri barunya. Setelah kepulangan Rachel, Altaf menatap tajam Saras, sekretarisnya dahulu yang berhasil memikatnya dan kini menjadi istri keduanya. “Apa yang sudah kamu lakukan dengan handphone milikku. Mengapa tidak kau beritahukan kalau putriku menelpon untuk menyampaikan berita sepenting ini.” “Aku sudah menuruti semua keinginanmu dengan lebih banyak menghabiskan waktuku di sini dibandingkan bersama dengan keluarga ku di sana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk dengan putraku, aku akan mengusirmu dari rumah ini.” Ancam Altaf kepada Saras. Altaf lalu naik ke atas tangga di sana ia berpapasan dengan putranya, Jaka. Putra yang lebih disayang dan mendapatkan perhatiannya secara penuh, hingga membuatnya menjdi remaja laki-laki yang manja. Di usapnya pelan kepala putranya itu, “Maaf, kalau pertengkaran ayah dengan ibu membuat mu terbangun. Tidurlah kembali. Semua akan baik-baik saja.” Altaf lalu melanjutkan langkahnya menuju ke kamar untuk berganti pakaian, tetapi sebelumnya ia menghubungi asistennya, Joni untuk mencari informasi di rumah sakit mana putranya Udin berada. Sambil mengganti mengganti kaos dan celana bokser yang dikenakannya dengan celana bahan dan kemeja berwarna coklat, Aktaf berdoa agar luka Udin tidak parah. Sebagai seorang ayah, ia memang tidak memberikan perhatian kepada anak-anak dari istri pertamanya. Ia lebih memperhatikan putranya bersama dengan Saras. Selesai berganti pakaian disisirnya rambutnya dengan rapi dan tak lupa dioleskannya pomade. Sebagai lelaki di usia yang sudah tidak muda lagi ia merasa masih perlu untuk menjaga penampilannya. Merasa penampilannya sudah rapi, Ia pun bersiap untuk turun dan menuju ke rumah sakit tempat Udin di rawat. Sambil menuruni tangga, Altaf menghubungi sopir pribadinya, Tikno untuk memanasi mesin mobil. ALtaf lalu mencek pesan dari asisten pribadinya yang berisi informasi rumah sakit tempat Udin di rawat. Saat berada di lantai satu, Altaf menatap Saras, 40 tahun dan Jaka, 16 tahun putranya. Ia mengatakan kepada mereka bahwa selama beberapa hari ini ia akan menginap di rumah lama bersama dengan istri dan anak-anaknya yang lain. Tidak menungggu persetujuan dari Saras dan Jaka, Altaf menuju ke mobilnya yang sudah siap di depan rumah. Tikno dengan sigap membukakan pintu belakang untuk bosnya. Altaf langsung masuk dan duduk di jok belakang, disebutkannya alamat rumah sakit tujuan mereka. Altaf menyenderkan kepalanya di sandaran jok mobil. Altaf teringat dengan kemarahan putri pertamanya tadi, ia sadar kalau telah mengecewakan putri yang dulu sangat disayang dan dimanjakanya itu. Namun, kini semua telah berubah semenjak ia menikah kembali dengan sekretarisnya. Ia jarang pulang ke rumah lamanya dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan keluarga barunya. Saat ia akan pulang ke rumah lamanya, ada saja alasan yang dibuat oleh Saras hingga akhirnya ia tidak jadi pulang untuk menjenguk keluarganya yang lain. Kini, putra yang dulu saat kelahirannya begitu ia harapkan dan saat kecil begitu disayanginya. Namun, sejak kelahiran Jaka yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dengan Udin yang sering sakit membuatnya memberikan perhatian dan kasih sayang lebih banyak untuk Jaka. Ia yang awalnya bisa membagi waktu 3 hari untuk keluarga lamanya dan 3 hari untuk keluarga barunya menjadi sebulan sekali menginap di rumah lamanya. Dan akhirnya berubah menjadi 3 bulan sekali dan terus menurun hingga akhirnya ia benar-benar jarang melihat anak-anak dari istri pertamanya itu. Ia hanya mentransfer uang untuk mereka dan mengirimkan asistennya untuk menangani masalah yang ditimbulkan oleh putra bungsu dari istri pertamanya. Hubungannya dengan Restu Martoni, 55 tahun istri pertamanya menjadi buruk semenjak istrinya itu mengetahui perselingkuhannya. Restu meminta cerai darinya, akan tetapi ia menolaknya. Ia masih mencintai istri pertamanya itu, Restu lah cinta pertamanya, cinta nya yang harus menerima pengkhianatan darinya. Altaf memejamkan matanya, sungguh ia ingin bersikap adil kepada kedua keluarganya. Hanya saja, Saras begitu pintar dalam membujuk dan merayunya sampai ia melupakan anak dan istri pertamanya begitu saja. Hari ini, Altaf menerima kemarahan putri pertamanya. Ia merasa sedih melihat dan mendengar Rachel berteriak begitu emosi. Mobil yang dikemudikan oleh pak Tikno sampai di parkiran rumah sakit dalam waktu satu jam, karena jauhnya jarak rumah Altaf dengan rumah sakit tempat Udin di rawat. Setelah mesin mobil mati, Altaf pun ke luar dari mobil dan berjalan dengan langkah panjang. Di usianya yang sudah 56 tahun, CEO PT Baihaqi Property itu masih terlihat gagah dan tampan. Sementara itu, di apartemen mewah miliknya yang ada di pusat kota Singapura Restu Martoni terbangun dari tidur nyenyaknya. Dilihatnya yang menelpon adalah putrinya, Maryam. Dengan cepat diangkatnya telepon itu, “Assalamu’alaikum, nak. Ada apa?” Di ujung sambungan telepon di dengarnya suara putrinya Maryam terisak, “Bu, Udin kecelakaan dan sekarang masih berada di ruang UGD, ibu harus cepat pulang ke Indonesia.” “Iya, nak. Ibu akan segera pulang ke Indonesia.” Sambungan telepon lalu di tutup, Restu menghubungi asistennya untuk memesankan tiket pesawat menuju ke Indonesia untuk penerbangan sekarang juga. Restu mengganti gaun malamnya pakaian yang kasual dan nyaman. Di usianya yang sudah tidak muda lagi Restu masih terlihat cantik dan menawan. Ia di Singapura bekerja sebagai desainer. Di mana hasil rancangannya banyak diminati kalangan atas, tua dan muda. Ia sengaja memilih Singapura untuk menjauh dari keluarganya, di mana ia merasakan sakit hati atas pengkhianatan suaminya. Meski pada akhirnya ia harus rela berjauhan dengan anak-anaknya. Namun, ia bergeming. Ia hanya memikirkan luka hatinya sendiri, tidak dengan perasaan ketiga anaknya. Restu mengambil clutch bag miliknya dan gegas ke luar dari apartemennya menuju ke basement di mana mobil Honda miliknya dan langsung menuju ke bandara internasional Singapura. Restu bersyukur, asistennya mengabarkan masih ada penerbangan terakhir menuju ke Jakarta dan beruntungnya lagi, pesawat itu masih kosong. Restu tiba di bandara dengan cepat, karena jalanan tidak terlalu ramai. Ia lalu memarkir mobilnya berbaur dengan mobil lainnya. Ia lalu melangkahkan kakinya ke luar dari mobil dan memasuki areal bandara. Setelah urusan administrasi beres, Restu duduk menunggu pesawat yang akan membawanya ke Jakarta, siap berangkat. Melalui pengeras suara, terdengar pengumuman kepada penumpang dengan tujuan Jakarta segera memasuki pesawat. Restu pun masuk ke dalam pesawat dan duduk di kelas bisnis. Selama berada di dalam pesawat Restu memikirkan bagaimana keadaan putra bungsunya itu. Setelah menempuh penerbangan kurang lebih dua jam, pesawat yang membawa Restu mendarat dengan mulus di bandara internasional Soekarno Hatta. Bersama dengan penumpang lainnya Restu pun turun dari pesawat dan menunggu proses bagasi dan administrasi kedatangan. Restu sudah memesan taksi online untuk mengantarkannya menuju ke rumah sakit tempat Udin di rawat. Taksi yang dipesannya meluncur dengan lancar membelah jalanan kota Jakarta yang lengang, karena waktu yang menunjukan sudah dini hari. Begitu taksi yang dipesannya sudah sampai di rumah sakit iapun langsung turun dan menuju ke Unit Gawat Darurat, tempat Udin dirawat. Dengan langkah kaki yang setengah berlari Restu pun akhirnya sampai. Maryam melihat kedatangan ibunya langsung berdiri dan memeluknya. Ia menangis dipelukan ibunya, “Udin lama sekali di dalam sana, bu. Apakah Udin akan baik-baik saja?” Restu mengelus pelan punggung Maryam lembut dan berbisik, “Ibu tidak tahu, nak. Kita berdoa saja semoga luka Udin tidak parah.” Restu mengedarkan pandangannya dan dilihatnya wajah pria yang menjadi suaminya, pria yang menyumbangkan luka di hatinya dan membuat ia pergi jauh meninggalkan ketiga anaknya. Restu mengalihkan tatapannya dan dilihatnya putri sulungnya yang duduk dengan air mata di wajahnya. Ia lalu mengurai pelukan Maryam dan menghampiri Rachel. Dipeluknya putri sulungnya itu, “Maafkan ibu yang sudah meninggalkan kalian. Kita berdoa saja kalau Udin pasti kuat dan ia tidak mengalami cedera yang parah.” Pintu ruang UGD terbuka dan muncullah seorang dokter dengan pakaian operasi, dokter itu menghampiri mereka dan bertanya apakah ada pihak keluarga, karena ada beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh pihak keluarga. Altaf maju dan mengatakan kalau dirinya adalah kelurga dari pasien. Ia meminta kepada dokter untuk menjelaskan mengenai kondisi putranya. Apakah lukanya parah? Dan bagaimana kondisi putranya sekarang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN