Ratu Casilda Wijaya sama sekali tidak tahu bagaimana dirinya bisa berada di kamar Arkan setelah kemesraan panas mereka di restoran sebelumnya.
Ketika membuka mata pada pagi Senin esoknya, dia sudah mendapati dirinya di kamar sang suami. Tidak! Lebih tepatnya ini adalah sangkar pribadi yang diberikan oleh Arkan kepadanya sejak mereka menikah!
“Aku bilang tidak mau! Berapa kali harus aku katakan, Renata? Aku menolak untuk melakukan semua syuting itu! Aku tidak peduli dengan ratingnya yang sedang meroket, atau pun permintaan fans yang menggila! Urus sendiri semua kekacauan yang kamu buat!”
Suara Arkan sang Top Star membahana dari arah kamar mandi, Casilda dengan cepat pura-pura tidur seraya menarik selimut di tubuhnya, memiringkan posisi memunggungi asal suara sang suami.
Begitu menyadari di balik selimut tidak ada pakaian apa pun yang dikenakannya, hati Casilda mencelos dingin hingga ke perut!
Astaga! Apa yang telah dilakukannya lagi dengan suami sialannya itu?!
Hati Casilda memilin tidak karuan, kesal setengah mati ketika ingatannya bermesraan panas di ruangan VIP temaram saat itu, lagi-lagi hanya sedikit yang tersisa di otaknya.
Setiap kali jatuh ke dalam pesona Arkan, dia pasti sudah mirip orang mabuk yang melayang tinggi ke langit.
Kejadian di restoran sama sekali tidak ada adegan berlebihan. Casilda sangat yakin, karena di bagian bawahnya sama sekali tidak ada rasa sakit menusuk, hanya sedikit pegal dan perih di lembah pribadinya seperti biasa.
Dalam hati, wanita yang tengah berpura-pura tidur ini sangat mengakui ketahanan Arkan untuk tidak melakukannya sampai akhir sampai detik ini.
Apakah dirinya sungguh istri yang tidak bisa membuatnya berselera?
Kalau dia tidak suka punya istri tidak berguna sepertinya, untuk apa menawannya terus? Dia bisa menyiksanya dengan cara lain, kan? Tidak perlu dalam bentuk pernikahan! Apakah dia masih dengan ide jahatnya itu? Ingin membuatnya memohon dan jatuh cinta seperti orang bodoh? Sialan!
Kening Casilda bertaut lesu, teringat alasan pertemuannya dengan Arkan di restoran karena sang tunangan.
Suaminya sama sekali tidak membantahnya ketika dia menanyakan alasannya berada di tempat itu. Apa lagi alasannya kalau bukan makan malam romantis dengan wanita yang dicintai?
Rasa sakit menyebar di hati Casilda, membakar hatinya hingga seolah berdarah menetes-netes.
Sungguh bodoh dirinya bisa jatuh cinta kepada penyiksanya sendiri! Apakah otaknya sudah rusak? Apakah dia benar sudah menjadi otak ayam? Hanya bisa mematuk seperti orang bodoh tanpa akal sehat?
Katanya, orang-orang bisa menjadi kecanduan ketika disiksa, mungkin dia sedang dalam kondisi itu gara-gara telah terbiasa dengan hidup yang penuh derita selama ini.
“Apakah kamu sedang menguji garis batasku? Jika kamu tidak juga menarik Casilda dari pria sialan itu, jangan sebut aku Arkan Quinn Ezra Yamazaki jika tidak berani keluar dari agensi kalian! Aku tidak takut mati kelaparan!”
Suara Arkan menggelegar kembali di udara, sepertinya dia sama sekali tidak bisa menahan emosinya, bahkan sudah mulai terdengar beberapa benda yang dibanting pecah ke lantai.
Casilda meringkuk lebih dalam di balik selimut, tidak mau melihat pria itu marah dan menyiksanya lagi sebagai alat pelampiasan.
Semakin dia terbelit dengan tubuh menggodanya, hati Casilda semakin terjerat dengan perasaan bodoh dan tak berdaya.
Kenapa dia sangat lemah dan mau-maunya ditindas, tapi malah seperti orang terhipnotis menikmati semuanya?
Apakah karena aura playboynya sangat luar biasa sampai dia tidak bisa menahan diri?
Arkan memang sangat berbahaya bagi jantungnya!
Kelamaan di sisinya, mungkin suatu hari nanti akan meninggal gara-gara serangan jantung betulan!
Disiksa oleh keintimannya, atau pun dengan perlakuan kasarnya selama ini. Semua itu bisa saja terjadi bersamaan.
Arkan memang sangat tampan. Penuh berkharisma berbahaya yang menggoda, dan punya banyak kemampuan yang sanggup membius para wanita di luar sana. Tubuhnya pun sangat menarik dan begitu membuat Casilda ketagihan secara diam-diam. Sayang sekali, temperamen Arkan sangat tidak bagus. Dia selalu membuatnya menderita hingga selalu berakhir menyedihkan.
Di benaknya, Casilda masih ingat jelas bagaimana perlakuan kejam pria itu ketika mendapatinya bekerja di klub malam Elric, dan geram mengetahui aksi ciumannya dengan pria lain. Sebagai hukuman, Arkan tidak hanya menyentuhnya seperti seorang murahan dan menghinanya dengan lemparan kartu di muka, tapi juga menyeretnya seperti binatang keluar dari bangunan klub itu, dan berlanjut lagi setibanya di mansion.
Yang paling menyakitkan hati wanita ini adalah kaki Arkan telah melukai perutnya dengan sengaja. Dia menendangnya bagaikan bola tanpa perasaan.
Casilda masih ingat bagaimana penderitaannya saat itu, tapi seolah tidak peduli dengan rasa sakitnya, sang aktor tetap memaksanya naik ke lantai dua dan mulai melecehkannya di kamar mandi. Kejam dan sangat kasar.
Kalau dia membandingkannya antara perlakuan kejam Arkan saat itu dan semalam, semua perlakuan iblis Arkan bagaikan mimpi buruk yang tidak pernah terjadi.
“Aku bilang tidak mau! Jika masih berani menjadikan Casilda sebagai manager Julian, aku tidak akan segan-segan membawa masalah ini ke pengadilan!”
Suara tawa meremehkan dan angkuh membahana dari seberang ruangan. Dari nada Arkan, Casilda bisa menebak kalau suaminya sangat marah sekarang. Sekujur tubuhnya mulai gemetar takut, tidak bisa menerima penyiksaan baru sementara masih lemah secara fisik dan mental.
Suara dingin dan sombong itu semakin terdengar jelas dari jarak dekat, membuat kuping Casilda bergerak-gerak kecil menahan kegugupan di hatinya.
“Apa? Aku siapanya Casilda? Coba saja, Renata! Mau kamu melawanku seperti apa pun, aku yakin tetap akan menang melawanmu di pengadilan!”
“Sialan!” lanjutnya sembari memaki, dan terdengar suara benda dibanting ke lantai.
Casilda menduga itu adalah ponsel sang aktor.
Kemuraman menghiasi wajah wanita yang tengah memejamkan mata di tempat tidur, menarik selimutnya perlahan. Tidak bisa membayangkan seperti apa sosok suaminya yang tengah murka tersebut.
“Beraninya mereka macam-macam dengan mainanku!” geram Arkan, berbicara sendiri sembari berjalan menuju arah tempat tidur.
Hati Casilda mendingin ke titik beku. Mata dipejamkan erat tanpa sadar, mencoba agar air matanya tidak keluar.
Oh... mainan, ya...?
Benar. Apalagi sebutan dirinya ini kalau bukan mainan? Kenapa dia selalu saja hampir lupa? Bermesraan dengannya bukan berarti pria itu menganggapnya istimewa.
Playboy nasional seperti itu memang punya selera rendah seperti dirinya ini? Berapa banyak wanita cantik yang telah menghangatkan ranjangnya? Sudah pasti ada banyak, bukan? Tidak bisa dihitung jumlahnya!
Pernikahan mereka juga tidak akan pernah menjadi hal yang serius dan sakral di mata Arkan. Bagaimana bisa mencintai orang yang paling dibenci olehnya? Dia hanya sedang bosan, dan kebetulan melihat musuhnya untuk disiksa dengan berbagai macam cara. Ya. Itu sudah jelas, kan?
Belum lagi sekarang fisik Casilda sangat mengenaskan. Tidak sebanding dengan Lisa sang supermodel dengan segala kelebihan yang dimilikinya.
Selama pikiran wanita ini bermain dengan imajinasi liarnya, Arkan dalam balutan handuk kimononya telah berbaring di sebelah sang istri, langsung memeluknya posesif tanpa ragu.
Napas Casilda berhenti sesaat.
Saking kagetnya menyadari pelukan yang terasa terlalu hangat dan ramah itu, kedua bola matanya membuka terbelalak. Syok dan linglung luar biasa!
Apakah dia butuh guling hidup lagi?
Memikirkan kemungkinan itu, Casilda langsung tidak bersemangat.
Dia tidak bisa membohongi hatinya. Entah sejak kapan telah jatuh hati kepada Arkan dalam waktu sesingkat ini. Padahal sikapnya sangat buruk dan kebejatannya bisa dibilang di luar nalar.
“Jangan buat aku marah lagi. Paham? Kalau masih saja bersikap liar, aku akan merantaimu lagi di kamar ini,” gumam Arkan tiba-tiba, membuat tubuh Casilda menegang kaget.
Apakah dia tahu dirinya pura-pura tidur.
Ketika hendak berbalik untuk membantahnya, Casilda merasakan napas berat menyentuh kulit belakang lehernya.
Dengan melirik ke belakang susah payah, baru menyadari kalau sang suami telah jatuh ke alam mimpi.
Baru kali ini Casilda merasakan pria itu tidur begitu nyenyak dari bahasa tubuhnya. Ini bahkan lebih nyenyak ketimbang di malam pertama mereka dulu. Saat itu, dia juga dijadikan bantal guling hidup olehnya dengan sesuka hati.
Mulut Casilda maju dengan mata datar malasnya, memperbaiki posisinya agar tidak membangunkan pria yang tengah memeluknya semakin erat.
Lebih baik menurutinya sekali lagi. Kalau sampai memicu amarahnya yang sudah reda, tidak yakin dirinya bakal selamat.
Dia tidak mau dirantai seperti hewan peliharaan.
Tidakkah cukup perlakuannya yang suka memberinya makan menggunakan bekas alat makan kucing preman miliknya?
Hati Casilda meradang sedih, tidak tahu bagaimana harus menghadapi Arkan jika mereka terbangun bersama-sama.
***
“Apa kamu gila, Casilda? Otakmu kemasukan air? Atau sudah kelamaan tidak sekolah, makanya jadi sebodoh ini?”
Arkan murka dengan wajah tampannya yang menggelap bengis, menatap istrinya yang duduk bersandar di kepala tempat tidur, memeluk diri sendiri dalam balutan selimut hangat dan lembut. Meringkuk sangat menyedihkan di sana, sementara di depannya sang suami berkacak pinggang dengan satu tangan, tatapan penuh emosi.
Dengan hati gugup, Casilda mencoba membalasnya.
“Perkataan Julian tidak seburuk itu. Bukankah semuanya memang benar? Aku ini tidak laku, kan? Tidak ada satu pria pun yang mau bersamaku dengan tubuh seperti sekarang. Kamu juga mengakui hal itu sejak awal kita bertemu. Kalau bukan karena dendam, mana sudi kamu menikah denganku? Makanya setelah aku pikir-pikir lagi, aku rasa tidak perlu marah hanya karena hal sepele begitu, atau pun bersikap manja tidak profesional hingga membuat hubungan menjadi renggang. Aku tahu diri dengan baik, tidak akan menyalahkannya sama sekali.”
Casilda menundukkan kepalanya takut-takut, mengkelam suram tidak berani menatap mata sang suami. Suaranya nyaris berupa bisikan lemah, tapi di telinga Arkan bagaikan ribuan jarum kecil yang menusuk-nusuknya.
Dalam benaknya, dia tahu alasan Arkan menolak dirinya sebagai manager Julian. Selain sebagai saingan utamanya, dia takut mainannya direbut.
Sebuah vas dibanting ke lantai penuh amarah. Mata Casilda dengan cepat dipejamkan erat, kepala ditolehkan ke arah lain. Bibir gemetar gugup. Kedua tangan meremas selimut kuat-kuat.
“Dasar bodoh! Istri tidak tahu berterima kasih! Apa kamu hanya bisa berpikir sempit seperti itu?”
Arkan meraung murka dengan ekspresi rumit melihat Casilda ketakutan setengah mati kepadanya. Pemandangan itu menusuk hati sang aktor, panas dan sangat sakit!
Bagaimana bisa otak istrinya punya IQ yang begitu rendah?
Kenapa selalu menganggap pernikahan mereka hanya main-main?
Berapa kali harus dia menjelaskannya agar bisa mengerti?
Dia tidak sebodoh itu mempertaruhkan segalanya untuk bisa bersama dengannya sebagai suami istri jika hanya untuk bermain-main tidak jelas!
Apakah di matanya dia hanya bisa dicap seorang penjahat?
Arkan sangat emosi!
Pria dalam balutan handuk kimono ini mengepalkan kedua tangannya hingga buku-bukunya memutih. Mengigit gigi marah, dan sorot matanya mendingin menahan segala emosi di dalamnya.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, dia berlalu bagaikan badai menuju pintu keluar.
Jika dia terus berada di ruangan yang sama dengan Casilda, Arkan tidak yakin bisa mengendalikan diri seperti dulu. Dia telah berjanji kepada dokter Ken untuk tidak membuat wanita itu masuk rumah sakit lagi. Tapi, sungguh susah menahan gejolak emosi di dadanya yang sudah mirip luapan lava yang menggelegak!
Pria yang telah sampai ke tepian tangga itu, berpikir kalau tidak segera pergi dari hadapan istrinya, mungkin akan memaksanya untuk melayaninya berjam-jam, atau mungkin juga gelap mata melakukan KDRT sampai dokter Ken akan menusuknya dengan pisau bedah saking emosinya telah menindas istri sendiri berkali-kali.
‘Arkan, kamu butuh konseling dan terapi serius. Jika kamu terus memberi makan egomu seperti ini, suatu hari Casilda benar-benar akan mati di tanganmu. Kamu peduli kepadanya atau tidak?’
Nasihat dokter Ken berputar di dalam kepalanya ketika mulai menuruni cepat anak tangga. Ketika semakin kesal, malah berbalik kembali menuju arah kamar.
Pintu kamar dibanting terbuka, dan berjalan penuh amarah ke arah Casilda yang tengah memakai pakaian. Karena kaget, selimut yang menutupi sebagian tubuhnya jatuh ke lantai, memperlihatkan kepolosannya yang menggoda.
Arkan tertegun syok!
Mata membola hebat melihat semua karya seninya di tubuh sang istri. Ada banyak hickey, gigitan, dan juga cakaran di kulitnya.
“A-apa yang kamu lakukan? Kenapa masuk begitu saja seperti angin topan? Kamu kesurupan, ya?” maki Casilda gugup. Sangat jelas ketakutan dan gemetar saat menarik cepat selimut di lantai. Secara alami mundur selangkah menjauh darinya.
“Ini juga adalah kamarku. Tentu saja aku bisa masuk kapan pun aku mau.”
Arkan mengeryitkan kening tak nyaman melihat tubuh polos Casilda, sangat memikat dan seksi. Mirip squishy boneka hidup yang memanggil-manggil jiwanya.
“Ka-kalau begitu, aku akan keluar,” balasnya dengan kepala tertunduk, tapi segera sebelah tangannya dicegat oleh Arkan ketika hendak melewatinya.
“Aku kembali hanya untuk memperingatimu. Tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa izin dariku. “
“Arkan! Kenapa kamu begitu kejam?!”
“Aku adalah suamimu! Apa kamu tidak paham sama sekali kalau aku sedang melindungimu dari Julian?!”
“Omong kosong! Playboy nasional sepertimu memangnya peduli kepadaku? Tidak! Kamu bahkan tidak peduli dengan hidup dan matiku!”
Arkan langsung meledak murka!
Bibir wanita itu segera menjadi sasaran amukannya, memeluk Casilda sangat posesif!
“Wanita super bodoh!” geram Arkan naik darah, melemparnya kasar ke atas kasur.
Dadanya naik turun penuh emosi menghadapi istrinya yang berotak ayam!