Kurang lebih seminggu telah berlalu sejak kejadian di mana Casilda mendapat ‘ancaman cinta’ dari Arkan sang top star, Ratu Casilda Wijaya hanya didiamkan oleh sang suami begitu saja.
Dari apa yang didengarnya dari pelayan yang sempat hadir di acara pernikahan rahasianya, Arkan mendapat banyak tawaran kontrak iklan hingga harus menyelesaikan beberapa di antaranya secepat mungkin sebelum jadwal syuting barunya tiba.
Sementara sang pelayan sendiri mendengar hal itu dari kepala pelayan yang Casilda jarang melihatnya hilir mudik di mansion.
“Casilda?! Casilda?! Kenapa melamun sejak tadi? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Bu Hamidah, menepuk sebelah bahunya yang tengah mengelap salah satu meja.
“Maaf. Akhir-akhir ini saya kurang tidur, Bu Hamidah.”
Lawan bicaranya tertawa keras, memukul-mukul punggungnya bangga, “pasti karena aktor tampan itu, ya? Selain dia pasti sibuk, dia benar-benar menepati janjinya. Setelah kemarin-kemarin memesan ayam krispi untuk tempat yang dia sebutkan sebagai bukti perjanjian, dia juga langsung memesan untuk bulan ini. Kamu harus pelan-pelan bujuk dia untuk mau jadi model poster kita. Ok? Aku akan sabar menunggu.”
Casilda hanya bisa tersenyum kecut, lalu melanjutkan sisa kerjaannya dengan hati sedikit lemas.
Dia memang tidak begitu menyukai pernikahannya, tapi kenapa dia malah seperti tanaman layu saat Arkan sibuk dengan kerjaannya hingga jarang pulang ke rumah?
“Apa... jangan-jangan dia masih suka tidur dengan wanita lain di luar sana? Katanya, sifat seperti itu sulit sembuh... Kebiasaan lama tidak mudah hilang begitu saja, kan? Kasihan sekali tunangannya itu...” gumam Casilda yang merasa kasihan kepada Lisa sang supermodel, tapi dirinya sendiri sebenarnya merasa lebih kasihan lagi.
Mencintainya, tapi hanya dianggap alat pelampiasan balas dendam
Disentuh, tapi tak dimasuki.
Istri sahnya pula.
Hidup Casilda terasa seperti sebuah lelucon yang sangat konyol dan bodoh!
“Casilda! Apa kamu bisa antarkan pesanan ke tempat ini?!” teriak Bu Hamidah dari arah dapur.
“Ya! Sebentar!”
Padahal ada beberapa karyawan baru di kedai itu, tapi kenapa dirinya yang masih harus kerja keras, sih?
Arkan sang Top Star sudah mengangkatnya sebagai asisten dadakan, tapi sepertinya hanya dijadikan asisten untuk disiksa saat dia mau saja.
Coba dia dibayar saat disiksa, setidaknya tidak akan rugi-rugi amat, kan?
Casilda menggelengkan kepala cepat-cepat, menghilangkan pikiran aneh dan putus asanya itu dari dalam kepalanya.
“Maaf, ya! Hanya kamu yang bisa ditugaskan antar pesanan selama ini, soalnya karyawan baru sama sekali tidak tahu cara mengantarkannya dengan baik.”
“Bukankah mereka bisa belajar, Bu Hamidah? Bagaimana kalau mereka ada yang ikut dengan saya selama mengantar pesanan beberapa kali? Saya mungkin saja tidak bisa tersedia terus, kan, untuk mengantar makanan?”
Bu Hamidah mengelus dagu, berpikir serius.
“Benar juga, ya? Baiklah. Kalau begitu, ajak satu bersamamu,” ucapnya sembari menoleh ke arah sisi ruangan lain, mata mencari-cari orang yang cocok, “hei! Cindy! Kemari!”
Seorang wanita bertubuh kecil segera bangkit dari duduknya, dan berjalan cepat ke arah Bu Hamidah, wajahnya cupu seperti Casilda, tapi dia sedikit lebih manis dan tubuhnya sangat ideal. Ditambah lagi rambut pirang jeruknya sangat memikat. Dia adalah kategori jeruk berjalan dalam benak Casilda selama ini.
“Ada apa, Bu Hamidah?” tanyanya polos.
“Kamu ikut dengan Casilda, ya, biar belajar jadi pengantar pesanan nantinya? Kalau bisa antar makanan, biasanya akan dapat bonus. Semakin sering dan banyak kamu antar pesanan, bonus juga makin banyak. Tapi, kamu tidak boleh buat masalah, ya!”
Cindy tampak antusias, mengangguk cepat.
“Baik, bu! Ok, Kak Casilda! Aku mau ikut! Asal bayarannya banyak, aku akan belajar lebih giat lagi bagaimana mengantar pesanan!” sahutnya ceria, memberi hormat bendera.
Casilda belum begitu akrab dengan para karyawan baru kedai itu, tapi Cindy sepertinya anak yang baik.
“Ayo! Kalau begitu bantu aku pindahkan kotak-kotak ini ke mobil,” titah Casilda riang, mengedikkan kepalanya ke arah tumpukan kotak di atas salah satu meja pengunjung.
***
Beberapa saat kemudian, kedua orang itu akhirnya tiba di depan sebuah gedung perkantoran tinggi dan terlihat megah.
“Wuah... tak kusangka mereka akan pesan makanan seperti jualan kita. Padahal mereka bisa pesan yang lebih mewah, kan?” celutuk Cindy yang memajukan tubuhnya ke depan kaca mobil untuk melihat gedung tinggi menjulang di luar sana.
Sambil membuka sabuk pengaman sambil membalas komentar Cindy dengan nada biasa, “makanan mewah belum tentu seenak yang kita pikirkan, Cindy. Biasanya hanya permainan tampilannya saja agar terlihat menarik. Ayo, kita turunkan pesanannya. Sepertinya satpam itu tahu siapa kita.”
Cindy, wanita cupu yang memakai kacamata bulat juga seperti Casilda akhirnya turun setelah mengangguk cepat, tersenyum lebar.
Benar saja kata Casilda, beberapa orang dengan cepat menyambut mereka.
Usai berbicara sedikit maksud tujuan mereka, kedua wanita ini akhirnya dibantu oleh 2 satpam pria untuk mengantarkan makanan yang ada.
Sementara Cindy sibuk mengangkat beberapa kotak menggunakan kedua tangannya, Casilda lebih banyak membawa masuk pesanan menggunakan troli barang.
Karena harus menumpuk sebanyak mungkin pesanan, wanita bertubuh gendut dalam balutan rajut merah lengan panjang digulung sebatas siku itu, akhirnya masuk paling akhir.
Ketika dia menjejakkan kaki masuk ke bagian lobi perusahaan, tampak ada banyak hiasan menarik yang terpasang pada beberapa bagian sudut ruangan, dan ada sebuah spanduk panjang yang bertuliskan:
“SELAMAT DATANG PRESDIR BARU KAMI, ETHAN ALDEMIR RAIDEN YANG TERHORMAT!”
Sayangnya, tulisan besar yang bisa menampar mata itu, tidak terlihat oleh Casilda karena sibuk mengagumi luasnya lantai 1 tersebut. Belum lagi interiornya yang sangat menarik dan terkesan minimalis.
Casilda termenung, andai saja dirinya bisa bekerja normal dengan pendidikan tinggi, mungkin dia bisa jadi pegawai kantoran di tempat seperti ini.
Troli terus didorong menuju sisi bagian lift berada. Nun jauh di sana, tampak Cindy tengah melambai riang kepadanya di depan pintu lift bersama 2 satpam di depannya.
Casilda hanya mengangguk, membiarkannya naik duluan.
Begitu Cindy sudah masuk ke dalam lift, Casilda yang masih mendorong troli dengan hati-hati, tidak tahu kalau di belakangnya, tepat di depan pintu masuk lobi, sebuah mobil baru saja berhenti. Dengan cepat, sebuah kaki pria dengan sepatu mahalnya terjulur keluar.
Saking luasnya lantai 1 bangunan itu, Casilda baru tiba di depan lift, dan kini malah harus menunggu lift turun dari lantai 30.
Di depan pintu masuk, sesosok pria tampan bermantel hitam melangkah masuk bersama seorang pria muda di sisinya, dan ketika dua sosok ini muncul, dari arah lain lantai 1 tersebut, sekumpulan orang tiba-tiba muncul dengan raut wajah panik dan berjalan tergesa-gesa.
“Cepat! Cepat! Dia sudah datang! Bagaimana bisa kalian tidak tahu kapan tepatnya bos baru kita tiba?!”
Salah satu dari kerumunan pria berpakaian rapi di sana, berteriak bisik-bisik panik.
Segera saja, mereka menyambut sang pendatang baru itu dengan sangat sopan penuh penghormatan.
“Selamat datang, Pak Presdir Ethan!” seru pria sebelumnya, tampak tersengal dan keringat dingin, menundukkan kepala kepada Ethan Aldemir Raiden.
Wajah dingin Ethan sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya mengangguk pelan. Selebihnya segera diambil alih oleh pria muda dengan wajah dingin dan terlihat sedikit licik di sebelahnya, tapi untungnya sangat murah senyum.
“Presdir Ethan sudah memberitahu kalian kalau tidak perlu menyiapkan sambutan apa pun untuknya. Apakah pesan kami kurang jelas?” sindir pria muda tadi tersenyum lebar, tapi jelas wajahnya sangat menakutkan.
Pria yang jadi lawan bicaranya mulai keringat dingin dan tidak tahu harus berkata apa.
“Cukup, Jimmy. Biarkan saja,” sahut Ethan pelan, berwibawa dan berkharisma.
Pria muda yang bernama Jimmy langsung mengangguk patuh.
“Terima kasih! Terima kasih, Presdir Ethan!” ucap pria sebelumnya, mengangguk berkali-kali.
“Kami akan langsung ke lantai atas. Bawakan saja dokumen yang sudah aku minta terakhir kali. Jangan lupa bawakan pembukuan lengkap selama 5 tahun terakhir,” titah Ethan dingin.
“Baik, Pak! Segera kami bawakan ke lantai atas!”
Seiring pria ini berkata begitu, semuanya menundukkan kepala begitu Ethan memberi gerakan untuk menyuruh mereka pergi, dan kembali berjalan menuju arah lift.
“Pak Presdir, bukankah Anda sudah bilang tidak akan suka jika ada kegiatan buang-buang uang perusahaan seperti itu? Apakah Anda akan membiarkannya begitu saja?” tanya Jimmy cepat, wajah masih tersenyum lebar.
Ethan yang berjalan dengan wajah dingin menatap lorong di mana deretan lift berada, hanya membalasnya santai, “aku berubah pikiran. Lingkungan di sini sudah pasti jelas berbeda dibanding di Amerika sana. Kita ubah strategi kali ini. Yang penting sorot dulu masalah laporan keuangan mereka, baru memikirkan sisanya.”
Mata Ethan menangkap sosok Casilda yang tampak melamun di depan lift sembari memegangi troli. Keningnya langsung mengerut dalam.
“Siapa yang mengizinkan orang luar tidak penting seperti itu dengan mudah memakai lift karyawan di jam seperti ini?” tanyanya lebih kepada diri sendiri.
Jimmy yang mendengar ucapan setengah lirihnya itu, segera melihat ke arah yang dimaksud.
“Oh! Mungkin itu adalah bagian dari sambutan Anda, Pak Presdir. Tampaknya mereka benar-benar susah payah untuk membuat acara penyambutan. Itu adalah produk frenchise yang lumayan terkenal di sini. Kedai itu mendapat pesanan dari berbagai kalangan, karena rasanya yang sangat enak. Saya juga sangat suka ayam krispi mereka.”
Wajah Ethan terlihat kesal, tapi masih terlihat tenang.
“Lain kali, suruh pakai lift barang saja jika ada hal seperti itu. Kalau harus pakai lift karyawan, apa kata orang nantinya? Kita tidak tahu siapa saja orang licik dan jahat di luar sana.”
“Baik, Presdir!” balas Jimmy cepat, masih tersenyum.
Ketika Ethan sudah sampai di lorong lift, matanya melirik ke arah Casilda sesaat, tidak benar-benar memerhatikannya, bahkan wajah berpipi bakpo dan berkacamatanya tidak menarik perhatiannya sama sekali.
Lift yang akan dipakai oleh Ethan adalah lift khusus orang penting, dan itu tepat berhadapan dengan lift yang dipilih oleh Casilda.
“Lama sekali liftnya... rusak, ya?” gerutu Casilda malas, memajukan mulutnya kesal, lalu mata melirik ke arah papan tombol di mana warna merah tertahan di sana.
“Ya, ampun. Sepertinya ada yang menahan liftnya di lantai 3. Siapa, sih, orang itu?” lanjutnya berbisik lagi.
Walaupun ada banyak lift di sana, tapi semuanya tampak sibuk, dan kebetulan saja lift yang dipilih oleh Casilda ini sempat nganggur di awal. Tidak tahunya bakal ditahan oleh seseorang di atas.
Helaan napasnya berat, sangat keras sampai terdengar oleh Ethan dan sekretarisnya yang tengah berdiri menunggu lift terbuka.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Gendut?!”
Sebuah suara pria yang tengah marah dan kesal tiba-tiba terdengar setelah pintu lift di belakang Ethan akhirnya terbuka.
“Akhirnya saya mengerti kenapa Anda tidak suka ada orang luar tidak penting memakai lift karyawan, Pak Presdir,” bisik Jimmy iseng, tersenyum lebar.
“...”
Ethan hanya diam dengan wajah dinginnya, menatap lurus ke depan pintu lift.
“Aku sudah bilang, kan, jangan keluar dulu! Kamu tidak paham artinya tidak boleh bekerja, hah?! Apa aku harus mengejanya untukmu satu per satu?!” teriak pria yang marah-marah itu.
Siapa lagi kalau bukan Arkan sang Top Star?
Ratu Casilda Wijaya merasa sangat sial dalam hidupnya. Ataukah beruntung dalam kesialan?
Mata wanita ini mendatar malas.
Baru saja dia merindukan pria tukang pemarah itu, tapi malah disembur tiba-tiba olehnya yang muncul seperti hantu di depannya.
Mana dia tahu kalau akan bertemu suaminya di tempat ini setelah pria itu jarang berada di rumah?
Ketika Ethan dan sekretarisnya sudah melangkah masuk ke dalam lift, dan mata pria ini secara alami menatap sosok gendut yang tengah berdiri memunggunginya di luar sana, tiba-tiba saja wajah dinginnya berubah tegang ketika mendengar suara sang wanita.
“Kontrak sebagai asisten saja belum ada di antara kita! Kenapa saya harus mendengarkan Anda? Saya butuh uang, jelas harus bekerja, kan?! Memangnya Tuan Arkan mau memberikan uang secara cuma-cuma kepada saya?!” balas Casilda kesal sembari mendorong kasar troli memasuki lift, menyenggol sang suami dengan sengaja.
“Berani kamu melawanku seperti ini di depan umum?!” koar Arkan kesal, menatapnya gelap. Sudut bibir berkedut-kedut marah.
Sang aktor langsung ikut masuk ke dalam lift, menyentak kasar sebelah tangan Casilda ke udara.
“SAKIT!!! LEPASKAAN!!!”
Ethan Aldemir Raiden syok!
Pupilnya seketika saja menyusut ketika melihat wajah familiar di depan sana.
Buru-buru, pintu lift ditahan menggunakan satu tangan.
“Apa apa, Pak Presdir?” tanya Jimmy heran.
“Ratu?” gumam Ethan dengan wajah gelisah pucatnya, rahang mengeras.
Sayangnya, lift di seberang sana sudah mulai perlahan menutup dengan pemandangan di mana Arkan tengah mengungkung tubuh sang istri ke dinding lift.
“Pak Presdir!” teriak Jimmy bingung, mengejar Ethan yang bergegas keluar lift, dan tiba-tiba saja keduanya berhenti melangkah.
“Pak Presdir?”
Ethan Aldemir Raiden tak membalas teguran sang sekretaris, fokus menatap ke arah lift yang sudah tertutup penuh di depan mereka berdua.
“Ratu...” bisik Ethan lirih.
Wajah dinginnya seketika merumit penuh konflik.