Untuk saat ini, Casilda ingin istirahat penuh dulu. Dia bahkan tidak tahu dirinya ada di rumah sakit mana. Sambil berbaring sambil menatap langit-langit dengan tatapan melamun.
Semalam benar-benar bagaikan mimpi buruk baginya, dan malah berakhir di rumah sakit karena mimpi buruk itu.
Keadaan tidak berdaya semalam membuatnya merinding ngeri jika memikirkannya kembali. Seandainya dia mati beku sendirian di taman tanpa ada yang mengetahuinya, bukankah itu akan menjadi akhir yang tragis baginya? Wajah Casilda menggelap muram.
Beberapa menit, dia mencoba menata hatinya agar menjadi lebih tenang.
Casilda menghela napas kasar. Kedua matanya dipejamkan, sejenak mengusir kepenatan dalam pikirannya. Tapi, pikirannya masih sulit dikendalikan. Bayangan sosok pria tampan tapi kejam timbul tenggelam dalam otaknya.
Besok.
Besok dia akan bertemu Arkan lagi.
Apakah dia akan mempermainkannya lagi atau tidak, Casilda tidak tahu.
Minggu ini benar-benar sangat berat untuknya, bukan hanya hatinya tapi juga untuk tubuhnya.
Perempuan ini pun memaksakan dirinya tertidur mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Air matanya kembali berlinang tanpa diminta, terisak kecil lalu terjatuh ke alam mimpi.
***
Pada subuh hari, Casilda akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.
Tidak ada teman atau pun keluarga yang menemani.
Tidak apa-apa. Selama ini, dia sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian.
Dengan duduk di depan musholah rumah sakit yang ternyata cukup jauh dari rumah sakit khusus jantung adiknya berada, Casilda menatap orang lalu-lalang keluar-masuk tempat ibadah itu dalam mode setengah melamun.
Subuh itu masih sangat tenang, langit masih gelap. Tapi, hati Casilda sudah seperti akan berangkat berperang.
Sebenarnya, dia disarankan untuk lebih lama menginap di rumah sakit. Namun, Casilda menolak dan pamitan dengan izin pulang paksa saja. Toh, dia sudah punya obatnya. Hanya perlu istirahat baik dan makan dengan baik, semua akan berjalan lancar. Itu yang dikatakannya kepada sang perawat.
Yang tak diketahui oleh sang perawat adalah Casilda harus bekerja lagi seperti biasa demi adiknya. Bagaimanapun, dia tidak punya pilihan selama adiknya belum dioperasi.
Hari ini ada pesanan istimewa yang harus diantarkan olehnya.
Tubuh Casilda masih belum sehat betul, belum begitu kuat, tapi dia ingin segera bertemu Arkan dan meminta kejelasan darinya. Masalah dia sakit atau tidak, bisa nomor dua saat ini ketimbang keperluannya dengan lelaki kejam itu.
Sepulangnya ke rumah, dia menyadari ibunya belum bangun juga.
Ini hal yang bagus, tidak akan melihat dirinya yang sangat kacau balau.
Ketika makan pagi, ibunya menatapnya dengan tatapan ngambek.
“Kenapa, bu?”
“Kamu pulang terlalu lama! 1 hari tanpa kabar! Aku pikir kamu terjadi sesuatu! Bu Juli sampai hampir menelepon polisi!” tuntutnya seperti anak kecil.
“Aku, kan, sudah bilang pada ibu kalau akan pulang telat lagi,” terang Casilda, kini sudah berpakaian bersih dan rapi. Sekarang, dia memakai rajut wol merah tebal lengan panjang dan celana jeans hitam, jaga-jaga jika harus menunggu lama lagi dengan situasi yang tidak mendukung.
Sembari meletakkan lauk ke atas meja, Casilda tersenyum cerah dipaksakan pada ibunya.
“Tapi, seharusnya kamu bilang tidak pulang seharian! Ibu jadi cemas, kan? Dan lagi, kamu pulang jam berapa semalam? Ibu tidak dengar kamu datang? Ibu sampai tertidur di ruang tamu sampai tengah malam, tapi kamu belum pulang juga!”
“Aku sempat tidur di kedai, bu. Pulangnya baru subuh tadi, pesanan hari ini ada banyak. Aku harus bantu-bantu menyiapkannya untuk mereka! 200 kotak ayam! Bayangkan, bu!”
Casilda terkekeh dengan bangganya menyebut angka itu, duduk di kursi berhadapan dengan ibunya dan mulai menyantap hidangan dengan pura-pura penuh semangat, mata berbinar senang penuh sandiwara.
“200 kotak? Banyak sekali! Pantas saja kamu tidak pulang seharian. Tapi, tetap saja lain kali harus bilang tidak pulang ke rumah,” dengan cepat perhatian ibunya teralihkan, terlihat senang mendengarnya.
“Iya, kan, bu? Pesanannya sangat banyak. Maaf, bu, aku juga tidak menyangka kalau kami akan sesibuk itu.”
Mata Casilda tersenyum lunak.
“Pasti sangat sibuk, ya? Apa kamu tidak memaksakan diri? Nanti kamu jatuh sakit, nak,” wajah sang ibu merengut kecil, tidak suka ditinggal tanpa kabar oleh anaknya.
Casilda tersenyum pahit, karena sebenarnya dia sudah jatuh sakit dan seharusnya sekarang dalam proses pemulihan. Sedihnya, takdir sepertinya tidak membolehkannya istirahat sebelum bisa berbicara empat mata dengan aktor sombong itu.
“Aku kuat, bu! Jangan khawatir! Ini adalah rejeki bagus. Kalau diberi, ya, kita tidak boleh menolak, kan?” Casilda lalu memberikan ikan goreng pada ibunya. “Ayo, bu! Makan lagi. Aku tadi beli subuh ini, mereka baru menggorengnya, pasti lebih enak daripada yang sudah bermalam.”
“Oh! Benar! Pantas rasanya lebih enak, gurih dan empuk!” balasnya polos dengan wajah lugu. Wajah setengah linglung itu tersenyum sedikit bodoh.
Casilda tersenyum lembut, lalu tersenyum perih melihat ibunya yang makan dengan lahap. Ada perasaan menggigit di hatinya mengingat apa yang menimpanya semalam.
Seandainya dia tak tertolong seperti perkataan sang perawat, siapa yang akan merawat ibunya yang tidak bisa apa-apa ini? Dia tak mungkin bisa menitipkannya terus pada pemilik rumah sewa, atau pun kepada para tetangga yang sudah bersedia membantunya selama ini.
Sudut-sudut matanya berair, terisak pelan dan menguatkan diri.
Tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan! Masih banyak yang lebih penting untuk dipikirkan olehnya saat ini!
Casilda makan dengan lahap meski sebenarnya tidak begitu berselera, makanan itu masuk ke tenggorokannya terasa seperti karet yang dipaksa masuk ke mulutnya. Pahit dan keras. Sangat tidak nyaman,
Sebuah senyuman melebar di wajahnya langsung terbentuk ketika melihat ibunya yang tersenyum bahagia sembari menguyah makanan, seperti anak kecil umur 5 tahun.
“200 kotak ayam itu seberapa banyak, ya? Pasti benar-benar sangat banyak,” gumam sang ibu dengan mata penuh tanda tanya dan ketertarikan yang nyata, tangan masih sibuk menyuapi diri sendiri dengan gerakan lemah lembut yang terlihat sedikit tidak normal.
Senyum Casilda sedikit kecut, tapi senang ibunya terlihat bangga anaknya akan mengantarkan pesanan sebanyak itu, tidak lagi mempermasalahkan soal dirinya yang tidak pulang selama 1 hari penuh.
***
“Casilda! Akhirnya kamu kembali!”
Di kedai ayam kripsi, pukul 6.45 pagi, Bu Hamidah memeluknya erat tidak seperti biasanya yang dilakukannya saat datang ke kedai itu untuk bekerja. Wanita tua bercelemek itu seperti tengah menyambut seorang pahlawan dari medan perang.
“Maaf, ya, bos! Aku tidak sempat memberi kabar. Bagaimana dengan pesanan 200 kotak itu? Apakah belum selesai?”
“Sedikit lagi! Ayo, cepat bantu aku! Beberapa orang sudah ada di dalam membantu kita. Entah ke mana Ryan pergi, anak bandel itu suka seenaknya saja! Tapi, baguslah, aku tidak ingin dia mengacau!”
Bu Hamidah menyeret Casilda buru-buru untuk masuk menuju arah dapur, mata melirik suami bosnya dan menunduk memberi hormat dengan senyuman khas karyawan pagi hari.
Pria tua berkaos biru itu membalas senyumnya ramah, di kedua tangannya sudah sibuk membawa ayam kripsi dalam keranjang besar untuk dimasukkan ke dalam kotak.
“Apa hari ini kita tidak akan buka, bos? Pesanannya harus diantar jam berapa, sih?” tanya Casilda, mulai memasang celemek pada tubuhnya.
“Tidak. Setelah pesanan ini selesai, kedai akan segera tutup. Aku tadi juga sudah menelepon ulang. Katanya jam 11 pagi sudah harus ada di sana. Itu artinya kamu harus mengantarnya cepat-cepat mengingat jaraknya cukup jauh.”
Casilda mengerutkan kening, mengingat-ingat apa yang didengarnya kemarin melalui telepon. Jelas bukan akan diantarkan ke mansion itu lagi.
“Memang, kali ini harus di antar ke mana, bos?” sambil bertanya begini, Casilda mengangguk menyapa ibu-ibu yang dulu pernah bekerja membantu membuat pesanan 100 kotak ayam di kedai mereka.
Dengan sibuk duduk di depan kompor di lantai, ketiga wanita itu dengan cekatan sudah menggoreng banyak ayam dalam jumlah besar, sangat gembira melakukan tugas yang ada. Karena ada 200 kotak, maka Bu Hamidah harus menambah orang lagi. Di sana sudah ada 3 orang baru, semuanya wanita muda, dan bekerja dengan cepat memilah ayam yang sudah digoreng ke dalam keranjang besar lainnya. Semua wanita muda itu terlihat seumuran dengan Casilda.
“Ke alamat ini, antarkan ke sini dalam waktu 1 jam!”
Bu Hamidah memberikan kertas berisi alamat pesanan ke tangan Casilda yang perhatiannya sempat teralihkan melihat kesibukan di dapur dadakan belakang kedai itu.
Casilda kemudian menolehkan kepalanya meraih catatan tersebut.
Sontak dia langsung tertegun hebat, mata membola. Hawa dingin merasuk ke dadanya dengan cepat.
Casilda pikir, hal itu nyaris mustahil dilakukan!
“Bos! Ini tidak bisa diantarkan dalam waktu 1 jam saja!” protes Casilda dengan hati melemah, wajah memucat ngeri.