Bab 37 Antarkan dalam Waktu Satu Jam 1

1295 Kata
Casilda membuka mata perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah lampu berwarna putih, menyilaukan mata dengan langit-langit senada. Perempuan ini mengedipkan mata, cahaya kuat terasa menusuk ke dalam bola matanya. Suara ribut samar-samar terdengar di kedua gendang telinganya. Di tubuh wanita ini, sudah diberi selimut hangat dan nyaman. Bau disenfektan terasa menusuk hidung. Ketika dia membalikkan tubuh, menolehkan kepala dengan mata mengedip berusaha memfokuskan pandangannya, di tangan kanannya terasa ada yang melekat di sana. Dengan lemah, Casilda membuka selimutnya, menarik pelan tangannya yang terasa berat. “Infus?” gumamnya berbisik lemah, pandangan masih kabur dan sedikit gelap. Tubuhnya berhenti bergerak, mata dipejamkan berusaha mengingat apa yang terjadi padanya. Sekelebat semua hal yang terjadi kemarin langsung berputar dalam ingatannya bagai film yang dipercepat. Air matanya meluruh dari sudut-sudut matanya, tergugu kecil menahan isak tangis. Casilda, entah bagaimana berada di rumah sakit seorang diri di antara deretan pasien di sebuah ruangan besar. Di tubuhnya masih terpasang pakaiannya yang kotor dan kumal, setidaknya wajahnya sudah bersih, hanya sembab oleh air mata. Beberapa orang mencuri-curi pandang ke arahnya, tangisannya mulai sangat memilukan dengan ingus yang terdengar keras saat dia terisak. Siapapun yang telah menolongnya, Casilda sudah berhutang nyawa sekarang. Jika saja dia tetap berada di semak-semak itu, mungkin sudah ada berita mayat beku yang ditemukan di taman perumahan elit dengan begitu mengenaskan. “Anda sudah bangun?” Seorang perawat menghampirinya beberapa saat kemudian, wajah terlihat bingung. “Apa yang terjadi pada saya?” tanya Casilda serak, menatap sang perawat dengan sosok sedikit kabur tanpa menggunakan kacamata. “Anda ditemukan oleh petugas kebersihan taman saat sedang bersih-bersih. Beruntung dia menemukan nona, kalau terlambat sedikit saja, Anda pasti sudah masuk berita pagi.” Casilda terisak pelan, hatinya seolah ditusuk duri. Arkan sungguh keterlaluan! Tapi, dia bisa apa? Uang dan kuasalah di atas segalanya di dunia ini. Mau mengeluh, siapa dia? Malah dirinya yang ingin memohon bantuannya dengan bermodal belas kasihan dari sang aktor. Casilda yang terisak berusaha bangkit dari kasur, sang perawat buru-buru membantu. “Bagaimana nona bisa berada di taman itu sendirian? Anda ini, kata dokter sangat kelelahan dan demam tinggi. Syukurlah keinginan hidup nona ini kuat, jika tidak, mungkin meski sudah mendapat perawatan dari kami pun, Anda pasti tidak bisa tertolong lagi.” Perempuan berambut hitam ini terdiam, termenung cukup lama. “Ini adalah obat dan vitamin yang disarankan oleh dokter. Saya sudah menuliskan dan memberi petunjuk minumnya.” “Maaf,” potong Casilda pelan, menoleh ke arah sang perawat. Terlihat jelas ada binar kasihan di mata lawan bicaranya. Hati Casilda seolah berdarah mendapat tatapan seperti itu, rasanya dia begitu menyedihkan. “Ya?” “Ke mana orang yang sudah menolong saya itu?” “Oh! Katanya dia sedang sibuk. Jadi, tidak bisa menunggu nona sampai siuman. Dia juga baik hati sudah membayarkan obat ini, termasuk biaya rumah sakit untuk 3 hari ke depan.” Hati Casilda tersentuh. Rupanya masih ada orang baik di dunia ini. Kembali, air matanya meluruh, diusap dengan cepat. “Apakah dia meninggalkan identitas atau nomor teleponnya untuk saya?” Sang perawat berpikir sejenak, kening mengerut, kepala dimiringkan dengan mulut dimajukan. “Pak tua itu tidak menitipkan sesuatu, tapi kalau ingin tahu siapa dia, mungkin bisa nona cari tahu di bagian administrasi. Mereka pasti punya identitasnya, minimal nama atau kontak yang bisa dihubungi saat Anda diantarkan ke sini.” “Oh, benar juga. Terima kasih.” Sang perawat tersenyum kecil. “Karena biaya rumah sakitnya sudah dibayar duluan, sebaiknya istirahat saja dulu. Jangan berpikir yang terlalu berat. Apa Anda ingin makan sekarang? Setelah itu bisa langsung minum obat dan vitaminnya.” Casilda melirik beberapa pil dan tablet yang berbeda di atas nakas samping ranjang pasien, ada yang besar dan kecil. Hatinya jadi berat, dia pasti akan membalas kebaikan pria tua itu. “Kami tidak bisa menghubungi keluarga nona karena ponselnya terkunci. Jadi, sebaiknya segera hubungi keluarga nona supaya mereka tidak khawatir. Ponsel nona ada di dalam laci. Ini kuncinya.” Wanita muda dalam seragam putih itu memberi Casilda sebuah kunci kecil perak. “Terima kasih sekali lagi.” Sang perawat membantu Casilda selama 1 jam karena diam-diam kasihan padanya setelah mendengar kisah dari pria tua yang menolongnya. Dia dengan telaten dan sungguh-sungguh membawakan makanan untuk Casilda, dan memastikannya meminum obat. Casilda menundukkan kepala, mengucapkan terima kasih banyak karena sudah merawatnya dengan baik. Di ruangan rumah sakit dengan banyak ranjang itu, Casilda meminta gorden ditutupkan oleh sang perawat sebelum pergi dengan dalih ingin istrahat tanpa ada gangguan. Namun, bukannya tertidur, Casilda malah duduk termenung dengan air mata berlinang. Tetesan air matanya yang bagaikan mutiara besar-besar itu jatuh mengenai selimutnya. Layar ponselnya ditatap dengan sakit hati yang menusuk. Nama pria berengsek yang membuatnya menderita semalaman tertampang di layarnya, dengan bibir bergetar dia pun mengubah nama itu menjadi: Tuan Iblis Tidak Punya Hati. Perempuan berambut panjang ini, merasa sedikit lega meski hanya melakukan hal kecil seperti itu. Dia terisak sendirian di balik gorden rumah sakit, menutupinya dari pandangan semua orang. Meratapi nasibnya yang malang seorang diri. Sekarang sudah hampir magrib, tapi dia masih belum bisa bergerak banyak. Bu Hamidah pasti marah-marah mengetahui dirinya tidak muncul di kedai pagi ini. Jadi, dia pun segera meneleponnya alih-alih memberi kabar ke rumahnya. “Halo, bos, ini aku Casilda,” katanya pelan. “Casilda! Ke mana saja kamu?! Apa kamu tahu betapa repotnya aku seharian ini! Bahkan Ryan juga hilang entah ke mana! Aku terpaksa meminta bantuan tetangga lagi hari ini! Apa kamu tahu berapa biaya yang harus aku tanggung karena itu?” Bu Hamidah langsung berteriak keras begitu tahu siapa yang menelepon. Kedua bahu Casilda melorot. Apakah dia akan dipecat? Kalau dipecat, bagaimana dia akan dapat uang lagi? Wajahnya menggelap muram. Gara-gara pria kejam itu semua jadi begini! Telepon digenggam kuat, menjelaskan dengan suara sedikit serak, “maaf, Bos. Tadi pagi saya tiba-tiba pingsan karena demam. Jadi tidak sempat memberi kabar pagi ini.” Hening. “Bos? Bos? Bu Hamidah? Halo?” “Oh! Oooohh!!! Ya ! Ya! Aku mengerti, aku mengerti! Kamu pasti capek, ya, gara-gara belakangan ini sangat memaksakan diri.” “Bos tidak akan memecat saya, kan?” tanyanya ragu-ragu, cemas karena kedai itu satu-satunya harapan dasarnya untuk mengumpulkan uang 500 juta saat ini. “Ei... mana mungkin! Kamu ini pekerja andalan kedai kami, tidak ada yang mengalahkan semangatmu! Lagi pula, kamu ini pembawa keberuntungan bagi kedai kami, kan? Mana mungkin aku lepas! Kalau perlu kamu kerja seumur hidup saja di sini!” Bu Hamidah terbahak keras. Bekerja seumur hidup? Casilda melemas, kedai itu mungkin beruntung memilikinya. Tapi, kok, dia merasa yang sial karena sudah bekerja di sana, ya? “Kalau begitu, hari ini tidak apa-apa istirahat saja, ya. Tapi, besok sudah harus masuk. Ingat, pesanan aktor tampan itu sudah harus diantarkan olehmu!” Oh, Casilda mengerti. Apa karena dia yang harus membawa pesanan itu, makanya dia sekarang bersikap baik dan manis seperti ini padanya? Ingin mengeluh, tapi tidak bisa. Alhasil, Casilda hanya bisa mengangguk pelan dan mengiyakannya saja. “Iya, baiklah, bos. Terima kasih sudah tidak memecatku.” “Hahaha! Baiklah. Baiklah. Istirahatlah kalau begitu, mungkin aku perlu memberimu hari libur 1 hari setiap minggu supaya tidak kejadian seperti ini lagi.” “A-apa? Bos! Aku tidak mau libur!” desak Casilda panik. “Kenapa? Bukankah itu bagus?” Keringat dingin menuruni wajah Casilda. “Aku tidak mau libur, bos! Kalau libur, itu artinya uang yang akan aku terima akan berkurang, kan? Aku tidak mau!” tuntutnya keras, sedikit terdengar marah. “Hei, Casilda, kalau kamu begini terus, aku bisa dituduh memperbudak karyawan. Bisa-bisa ada yang melaporkanku ke polisi!” “Bos! Aku tidak masalah! Tolong jangan beri aku libur!” pintanya dengan suara mendesak. “Hmmm... baiklah jika kamu memaksa. Kalau begitu nanti aku pikirkan solusi yang tepat untukmu.” “Terima kasih, bos! Terima kasih banyak!” Hati Casilda sedikit lebih baik usai menelepon Bu Hamidah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN