Bab 39 Menanggung Semua Kesalahan 1

1488 Kata
Dalam keadaan menggerutu, Casilda mengemudikan mobil kedai bergambar ayam potong itu seperti orang kesetanan! Harus diantarkan tepat jam 11 pagi? Gila, yak?! Pesanannya saja 200 kotak! Jalur ke tempat itu juga sering macet! Bahkan kadang sampai bisa berjam-jam! Bangsatlah memang aktor satu itu! Casilda menggertakkan gigi kuat-kuat, mata berkilat berbahaya. “MINGGIR! MINGGIRRRR!!! WOI, MINGGIRRR!!!” teriak Casilda yang langsung menerobos lampu lalu lintas yang selalu ditemuinya, dan ketika dia lewat, saking cepatnya perempuan berkepang satu ini mengemudi, lampu jalan itu baru berubah merah. Meski dalam mobil berteriak seperti itu, tapi hanya dia yang mendengarnya di dalam mobil. Karena tidak ingin terjebak macet ke tempat tujuan, Casilda terpaksa mencari jalur alternatif, dan itu mau tak mau adalah jalur yang hampir 2 kali lipat lebih lama dari jalur utama. Satu-satunya solusi adalah dengan mengendarai mobilnya seperti mobil angkot yang sedang ngebut dalam keadaan mabuk! Makian dan sumpah serapah, serta berbagai macam jenis klakson ditujukan pada cara mengemudi Casilda yang ugal-ugalan. Tapi, untung saja kedua kaca mobilnya ditutup rapat hingga perempuan ini bisa fokus menyetir dalam keadaan kesal dan marah! Dalam hati, dia malah sibuk menyumpahi Arkan dengan berbagai macam perkataan yang tidak layak untuk didengarkan, bahkan di antaranya sangat konyol tapi menyebalkan. 'SEMOGA HARI INI KAMU MAKAN MIE INSTAN DAN BUMBUNYA TIDAK ADA DALAM KEMASANNYA!' batin Casilda dengan nadi pelipis berdenyut kesal. Selama mengemudi itu, Casilda nyaris menyerempet beberapa mobil, dan hampir 2 kali menabrak mobil yang lewat dari arah samping. Jantung wanita berkepang satu ini sudah seperti orang yang tengah sibuk menjinakkan bom. Sekujur tubuhnya keringat dingin, tidak yakin apakah itu karena keadaan gawat saat ini yang dihadapinya atau karena tubuhnya kembali tidak sehat. Ban mobil berdecit keras, menandakan mobil sudah tiba di tujuan, wajah Casilda membiru dengan mata mengerjap-ngerjap cepat, perut sudah bergolak hebat dan tiba-tiba wajahnya menggembung seperti ikan buntal. Cepat-cepat Casilda turun dari mobil, mencari tempat yang aman untuk mengeluarkan isi perutnya. “HOEK!” Casilda muntah di sebuah sudut taman, hawa dingin menyuntik tubuhnya, seketika saja dia gemetar dengan kepala mulai pusing. Kedua kakinya lemas bagaikan agar-agar. Pantatnya jatuh terduduk di pinggiran taman, dan langsung tepar ke rerumputan di bawahnya. “Ugh... sialan... mereka itu benar-benar ingin membunuhku, ya?” gumamnya dengan suara berbisik lemah. Perkataan ini ditujukan untuk Arkan dan Bu Hamidah, berpikir mereka jika disatukan pasti adalah komplotan penjahat yang sangat cocok satu sama lain. Sama-sama tidak berperasaan dan punya otak! Rasa asam dari lambung akibat muntahannya terasa pahit di dalam mulut, membuat Casilda sekali lagi muntah mengeluarkan isi perutnya. “HOEK! BLURB BLURB BLURB!” Kali ini isi muntahannya lebih parah. Ikan goreng segar dan gurih yang dinikmatinya tadi pagi akhirnya keluar semua. “Sialan... ikan mahal yang kubeli susah payah...” gerutunya lemas tidak berdaya, mata terpejam sepet, berair akibat muntah hebatnya. Beberapa menit kemudian, Casilda sudah mulai bisa menenangkan diri, duduk di dekat ban depan mobilnya sembari memegang sebotol air minum yang selalu disediakannya setiap waktu. Perutnya kosong, padahal sebentar lagi harus minum obat. Tapi, lebih baik menundanya saja setelah pesanan itu diselesaikan semua agar bisa bernapas lega dan istirahat dengan baik. Dari jauh, terlihat kerumunan orang dengan begitu antusias, sepertinya itu adalah lokasi syuting Arkan. Bu Hamidah bilang mereka sedang melakukan syuting drama hari ini, jadi besar kemungkinan mereka akan membagi-bagikan makanan untuk para kru dan lingkungan sekitar mereka. “Jadi, ini yang dia maksud dengan pencitraan itu?” keluh Casilda, mata memicing sinis. Perasaannya masih belum terlalu stabil, meneguk air minumnya sekali dengan mata dipejamkan kuat-kuat, dan mengelap mulutnya dengan mata terus tertuju pada pemandangan ramai di depan sana. Mobil yang dibawa Casilda dengan hebatnya bisa menempuh 1 jam pas tiba di lokasi tersebut. Saat di kedai, demi mencegah keterlambatan tiba di tempat tujuan, dia juga harus ikut turun tangan dengan cepat menyelesaikan pengepakan makanan tanpa mempedulikan kondisi tubuhnya sendiri. Saat ini, dia sudah merasa gerah, tidak tahu apakah karena matahari saat ini sudah mau naik ke puncak tertinggi atau karena demamnya kembali menyerangnya. Suara keras terdengar di udara. “Berengsek!” maki Casilda yang terjatuh saat mencoba bangkit dari duduknya. Tubuh wanita ini gemetar kelelahan, kedua kakinya sepertinya masih lemas tidak bisa menopang tubuh sendiri. Dari tempat dia muntah tadi sampai ke samping mobilnya, perempuan berkepang satu dan berkacamata tebal ini merangkak seperti bayi yang baru berjalan di tanah berumput itu. Untung saja bukan aspal panas! Hatinya seolah digigit keras meratapi kesialannya yang tak kunjung tiada hentinya minggu ini. Tidak ingin dicap telat dan dimarahi dengan berbagai alasan, dia pun memilih untuk menelepon ponsel Arkan. Nada tunggu terdengar berkali-kali setiap Casilda mencoba menghubunginya. Hati Casilda tenggelam. Dia tak bisa berdiri beberapa saat hanya untuk berjalan ke arah sana. Jadi, mau Arkan marah sekalipun, dirinya tidak peduli lagi. Salah sendiri tidak angkat telepon! Dengan mengirim sebuah pesan singkat ke ponsel pria itu, akhirnya Casilda tanpa sadar tertidur dengan bersandar pada sisi mobil van putih yang dikendarainya. *** Beberapa saat kemudian. Suara ‘duk duk duk!’ keras masuk ke gendang telinga Casilda. Casilda merasakan kakinya seolah diantuk-antukkan oleh seseorang. Perlahan dia membuka mata dan mendapati seorang anak kecil yang tengah memegang bola kaki, satu kakinya menendang-nendang ke arahnya. “Apa yang kamu lakukan, adik kecil?” ucap Casilda serak, mata masih sepet dengan wajah pucat. Kepala dalam keadaan miring melihat ke arah anak kecil yang hanya memakai singlet merah dan celana putih gading, sedikit kumal dan berantakan. “Kakak juga pengemis? Tidak boleh tidur di situ, kak! Nanti dipanggilkan satpol PP, kakak masuk penjara mau?” “Anak ini bicara apa, sih? Siapa yang pengemis?” gumam Casilda yang sedih merasakan kekesalan di hatinya, tapi langsung terdiam mengingat dia memang akan mengemis ke Arkan untuk meminta pinjaman uang untuk Danish sang adik. Helaan napasnya panjang dan berat, menatap langit yang mulai terlihat mendung. Sepertinya demamnya kembali muncul karena kurang istirahat, sudah mendingan karena tertidur tadi, dan untung saja awan sedang berbaik hati padanya, sehingga tidur tidak begitu kepanasan. “Ini buat jajan. Terima kasih sudah membangunkan kakak, ya,” ucap Casilda tulus kepada anak kecil tadi, memberinya uang 5 ribu rupiah sebagai uang jajan. “HOREEEE!!!” teriak si anak kecil gembira, langsung berbalik dan melanjutkan dengan suara lebih keras, “TERNYATA BANGUNIN PENGEMIS BISA DAPAT UANG! HOREEEE!!!” Casilda tertegun syok! “A-apa?!” Casilda melotot kaget, langsung merasa emosi mendengar celotehan keras anak laki-laki tadi, tapi dia kemudian tersenyum kecil, menyerah dengan keadaan. Terkekeh pelan, membuat wajah dengan bakpao kecil itu terlihat menggemaskan, senyum lebar dipaksakan terlihat di wajah pucatnya. “Pengemis, ya? Mungkin memang aku sudah jadi pengemis saat ini. Apa boleh buat,” bisik Casilda pelan, kening bertaut lemah, kedua bahu melorot lemas. Casilda kemudian mengecek jam di ponselnya: pukul 12 lewat 21 menit. Casilda pasrah, mau bagaimana Arkan padanya sudah tidak ada gunanya lagi. Yang penting, dia harus bisa bertemu dengannya. Kalau harus menanggung risiko karena pesanannya telat, maka dia tidak punya pilihan lain. Harus ada korban di saat keadaan sedang terjepit. Sekali lagi Casilda menelepon ponsel Arkan, tapi telepon pria itu masih dalam keadaan sibuk. “Apa dia masih syuting, ya? Masa selama ini dia tidak cek ponselnya? Memang kalau syuting berapa lama, sih, baru bisa istirahat?” Dengan wajah penuh ragu-ragu dan cemas, Casilda berjalan memberanikan diri menuju tempat syuting di depan sana. Masih banyak orang yang berdiri untuk menonton. Bisa dilihatnya ini adalah kawasan orang-orang miskin, tidak heran tadi bertemu anak kecil kumal sebelumnya. “Pe-permisi?” sapa Casilda berbisik pada seorang wanita yang diyakininya adalah seorang kru TV di sana. “Ya?” lawan bicaranya berbalik dengan sebelah kening naik, wajah tidak ramah. Casilda berbisik pelan, “ saya dari ayam krispi Yummy. Tuan Arkan memesan di tempat kami sebelumnya, dan katanya harus diantarkan ke mari. Apakah saya bisa bertemu dengannya? Ponselnya tidak bisa dihubungi.” Sang kru wanita dengan cepat melototkan mata, lalu berteriak ke arah kerumunan kru yang sedang berniat mengambil ulang sebuah adegan, “HEI! ORANGNYA SUDAH DATANG!” Heh? Casilda melongo hebat. Kemudian matanya diedarkan melihat ke sekeliling, semua kru melihatnya dengan tatapan marah dan kesal. Keringat gelisah menuruni pelipisnya, langsung membungkuk minta maaf berkali-kali. “MAAF! MAAF! SAYA TERJEBAK MACET! SUDAH CARI JALAN LAIN TAPI TETAP KENA MACET!” bohong Casilda cepat tanpa pikir panjang. Alasan itu lebih masuk akal ketimbang menceritakan dirinya yang lemas dan ketiduran karena demam. Lebih terasa seperti sebuah alasan yang dibuat-buat jika dikatakan. “OK! CUT! AKHIRNYA KITA BISA ISTIRAHAT JUGA! SYUTING HARI INI SUDAH SELESAI! KALIAN BISA MAKAN SEKARANG!” Seorang pria yang dulu dilihat Casilda duduk di meja utama pada promosi di panti asuhan berdiri dari kursinya sambil memegang pengeras suara. “TERIMA KASIH, PAK SUTRADARA!” teriak para kru, nyaris serempak. “HEI! CEPAT BAWAKAN PESANANNYA! KAMI SUDAH LAPAR!” teriak seorang kru pria pada Casilda yang terbodoh di tempatnya. Beberapa orang juga mulai ikut menimpali dengan nada tidak sabaran dan terdengar marah-marah, Casilda hanya bisa menundukkan kepala berkali-kali meminta maaf. Dari situasi di lokasi itu, sepertinya mereka masih syuting sejak tadi tanpa ada jeda untuk istirahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN