Bab 36 Dipermainkan dengan Kejamnya 2

1076 Kata
Kaki Casilda setengah mati mengejar mobil itu memasuki halaman depan mansion, tapi dia tertinggal jauh. Dirinya juga sudah terlalu lelah dan tidak enak badan, hanya bisa berlari ngos-ngosan dengan tubuh gendutnya seperti sedang lari marathon selama 1 jam tanpa henti. Begitu berat, begitu menyiksa! Paru-parunya seperti terbakar! Begitu baru sampai di pertengahan jalan, sebuah sosok berjalan cepat ke arahnya. “Anda tidak boleh masuk. Tuan Arkan tidak ingin menerima tamu saat ini.” Awalnya, pria ini bersikap baik. “Sa-saya hanya ingin bicara sebentar saja dengannya! 5 menit saja? Boleh, ya?” pinta Casilda, wajah memucat keringat dingin, kedua kaki dan tangannya diam-diam sudah gemetar hebat. Mendengar suara Casilda yang terdengar cepat dan menuntut, membuat pria itu kesal. “Tuan Arkan bilang tidak ingin diganggu, apa kamu tidak mengerti sama sekali?! Tuli, ya?” bentaknya dengan suara keras, mendorong bahu Casilda hingga perempuan berpakaian kaos merah muda dan berjeans hitam ini jatuh terduduk, pantatnya dengan keras menghantam tanah. “ADUH!” keluh Casilda, meringis kesakitan, mata terpejam menahan sakit baru yang menimpa tubuhnya. Dia tidak boleh menyerah! Sudah ada di depan mata orang yang bisa membantunya, tidak bisa disia-siakan seperti ini! Casilda yang sudah mulai pusing, bangkit dari tanah, mencoba kembali. Tapi, pria tadi langsung menyeret tubuhnya yang tidak bisa melawan, berjalan mengarah keluar pagar. “Pak! Saya mohon, Pak! Hanya sebentar saja! Saya ingin memastikan sesuatu dulu! Tolong dengarkan saya, Pak! Ini sangat penting bagi saya!” Sayangnya, mau bagaimanapun Casilda memohon, pria itu tidak mau mendengarnya sama sekali, tetap saja menyeretnya kuat dan melemparnya jatuh ke tanah sekali lagi. “Anda ini tidak tahu malu, ya? Apa tidak pernah diajarkan oleh kedua orang tua Anda kalau bertamu malam-malam begini sangat tidak sopan?” Pagar ditutup dengan kasarnya, kuat dan nyaring memekakkan telinga. Casilda sampai berjengit dengan mata tertutup kaget. Apa yang dilakukannya di tempat ini? Berjuang untuk adiknya sampai dipermalukan bagaikan pengemis seperti ini membuat Casilda sedih, sudut-sudut matanya memanas. Kedua telapak tangannya kotor oleh tanah, dan sedikit lecet karena menghantam tanah keras di halaman dalam mansion itu. Sakit, sakit, tapi hatinya saat ini lebih sakit daripada semuanya. Dia tidak pernah melalui hal memalukan seperti ini sebelumnya sejak bertemu pria bernama Arkan itu. Air matanya berjatuhan dengan cepat, bibir gemetar. Apakah dia begitu bodoh berharap pada orang yang membencinya? Casilda bangkit dari tanah, terisak seraya menghapus air matanya cepat. Dengan keadaan tergugu, dia membalikkan punggung berjalan menjauhi mansion mewah sang aktor Sia-sia dirinya bertahan. Mungkin benar lebih baik menunggu sampai hari Jumat tiba. Arkan tidak punya alasan lagi, kan, untuk menunda bertemu dengannya? Tidak berhenti air matanya meluruh, dan sekujur tubuhnya sakit dan kepala sudah pusing, tapi semua pengorbanannya berakhir sia-sia hari ini. Pria sombong itu sudah sukses mempermainkannya. Pasti, puas, kan? Tawa lemas tergelincir dari bibir beku Casilda. Kakinya melangkah jauh menyusuri jalan menuju gerbang keluar perumahan elit yang sangat luas itu. Angin dingin terus menerpa tubuhnya, malam ini seolah terasa tidak nyata saja. Dia lelah, capek, ingin istirahat, tapi sama sekali tidak bisa mendapat kendaraan satu pun di dalam perumahaan mewah itu. Jadi, satu-satunya cara adalah berjalan kaki sampai gerbang utama, baru bisa mendapat kendaraan untuk pulang. Tatapan mata Casilda memicing menatap jauhnya pintu keluar perumahan, hati mencelos. Dengan keadaan ini, hatinya semakin terasa sakit dengan perlakuan Arkan. Baginya mungkin lucu, tapi tidak dengannya. Saat ini, pria itulah yang berkuasa, dan dirinya tidak punya kekuatan untuk melawan, malah ingin meminta padanya dengan terpaksa merendahkan harga dirinya demi sang adik. Pandangan Casilda berputar, kacamatanya berembun. Dia tiba-tiba jatuh terduduk di pinggir jalan beraspal perumahan. Tidak tahan, sudah tidak tahan.... Badannya remuk redam bagaikan ditarik-tarik ke seluruh penjuru arah mata angin, kedua kaki dan tangannya seperti digantungi beban berat berkilo-kilo. Dengan menyedihkan, Casilda menyeret tubuhnya, setengah merangkak mendekati sebuah pohon besar di sebuah taman di sana. Dia ingin tidur, tidur sebentar saja.... Sebenarnya, dia takut jika tertidur nanti, malah tidak bisa membuka mata dan mati kedinginan seorang diri. Tapi, dia sudah tidak kuat. Kelopak matanya juga sudah mulai tergoda, begitu berat. Air matanya jatuh bagaikan mutiara, menggertakkan gigi menahan segala emosi yang berputar perih di dalam dadanya. Casilda, dengan susah payah berhasil memasuki sebuah taman dengan banyak semak-semak dan pohon tinggi, terlihat cukup terlindungi dari hembusan angin dan cukup gelap. Sepertinya terlihat cukup hangat berlindung di sana. Bagaikan melihat tempat tidur mewah, Casilda baring di tanah keras itu, melengkungkan tubuhnya, bersembunyi menghadap semak-semak, menghindari bagian depan tubuhnya tersekspos oleh angin malam, meringkuk di sana dengan mata terpejam sepet, kedua bahu gemetar hebat. Kalimat ibunya yang didengarnya saat akan berangkat pagi ini terngiang di telinganya sesaat sebelum jatuh ke alam mimpi. Rapi? katanya dia rapi sekali dan juga cantik.... Cantik? Ibunya mungkin tidak akan pernah menyangka keadaan anak perempuan yang dilihatnya rapi dan cantik, kini bergelung menahan rasa dingin dan lelah di sebuah taman perumahan elit, seorang diri bagaikan orang yang terbuang dan berpenyakit menular. Air mata menuruni sudut-sudut matanya, tertekan dengan keadaannya yang tak berdaya. Casilda bergumam pelan, berbisik dengan sebuah kata yang membuat hati siapa pun miris mendengarnya: “Lapar... lapar....” Karena tidak ingin melepas kesempatan emas hari ini bertemu Arkan, dia bahkan rela tidak makan, membuat perutnya sekarang mulai berbunyi keras. Perempuan itu semakin melengkungkan tubuhnya bagaikan janin, tenggelam dalam gelapnya malam dan tersembunyi di balik semak-semak rimbun, merintih sendirian dengan tubuh menggigil panas dingin, kedua tangan memeluk tubuhnya. Entah berusaha menahan rasa lapar yang membuatnya semakin lemah, atau tubuh yang sudah mulai membeku menarik kesadarannya secara perlahan. Di tempat mahal dan mewah itu, sementara semua orang berada di ruangan hangat dan nyaman penuh makanan, terlindung dari dinginnya angin malam, di luar sana, tanpa ada yang mengetahuinya, Casilda tergeletak lemas dengan suhu badan silih berganti, merintih samar-samar dengan wajah berkeringat pucat hingga beberapa menit kemudian tidak terdengar suara apa pun lagi keluar dari bibir bekunya yang mendingin. Di kamarnya, Arkan duduk dengan santai bersandar di ranjang besarnya yang putih bersih, sibuk mendengarkan musik melalui headphone. Tidak ada tanda-tanda pria itu terlihat lelah atau pun mengantuk. Dalam balutan kaos merah burgundy dan celana training putih, matanya sangat antusias membaca majalah fashion edisi terbaru yang berada di salah satu kakinya yang ditekuk. Tangan satunya memegang secangkir kopi panas, meminumnya sesekali dengan senyuman puas di wajah tampannya. Kepala dengan gerakan lambat, mengangguk-angguk gembira mengikuti irama lagu yang didengarkannya sekarang. Hari ini, hati pria tampan dan arogan ini begitu senang hingga terasa meluap-luap tak terkira, tercetak jelas di wajahnya yang tak pernah luput dari senyum lebarnya. Tiba-tiba, dunia terasa begitu indah dan menyenangkan untuk dijalani!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN