Sekoci yang mereka dayung dengan susah payah kini berada di setengah perjalanan. Beningnya air laut membuat pantulan langit begitu jelas terlihat. Meski begitu, tidak ada satu pun di antara mereka yang berani turun meski laut kelihatannya dangkal.
Mahesa mencoba melihat ke belakang, beberapa sekoci mengikutinya dan sisanya bertahan menunggu tim penyelamat. Sementara itu tersisa dan mengapung di atas air adalah barang-barang milik penumpang dan serpihan kapal yang tersisa. Teringat wajah sang Ibu yang mungkin sekarang sedang menunggunya di rumah, dengan masakan spesial yang selalu disiapkan kala lelaki gempal berambut ikal itu pulang ke rumah.
Lautan Ilusi sungguh salah satu misteri yang tidak bisa ditebak. Tadi selepas kapal karam lautan begitu tenang saking tenangnya mereka bisa dengan mudah mendayung dengan tangan kosong hingga mendekat ke pulau Marai.
Namun, semakin sekoci mendekati pulau Marai lautan bergolak, gelombang datang seperti tarian gurita yang siap menenggelamkan perahu kecil yang mereka tumpangi. Alam seperti tidak merestui tindakan mereka untuk menepi di Pulau Marai. Margareta mengeratkan pegangan pada sisi perahu, para pria berjuang mempertahankan agar sekoci tidak terbalik.
Tangisan dan jeritan dari perahu lain terdengar pilu, senda gurau dan canda tawa yang terdengar menyenangkan saat di kapal feri sekejap saja langsung sirna. Ombak yang datang tinggi menjulang, bagai benteng kokoh di perkampungan yang menjadi batas wilayah. Sudah tidak ada yang kering lagi di tubuh mereka. Dibiarkan saja dingin menggerogoti tubuh mereka sampai bibir membiru dan bergetar.
Ombak-ombak mengguyur wajah mereka dengan air garam, menyisakan perih di mata dan panas di tenggorokan saat airnya tertelan.
Ombak datang lagi, kali ini bagai serangan musuh tanpa aba-aba, seketika membalikkan perahu yang mereka tumpangi. Jeritan teredam air laut, hanya gemuruh yang terdengar. Hanum melihat orang-orang panik mengapung, dia sendiri berusaha tenang agar tidak tenggelam. Dibiarkan tubuhnya terombang ambing. Terayun-ayun bagai tarian kupu kupu yang siap menghisap nektar bunga.
Kepala Valen menyembul, rambutnya yang basah jadi menyerupai helm hitam yang mengkilap. Terengah-engah pria itu merasakan panas di tenggorokan karena menelan air laut yang asin. Dean berpegangan pada perahu yang terbalik, hanya satu tangan yang dibiarkan bebas. Luka-lukanya perih digigit air laut.
Valen mendekat sekuat tenaga lelaki itu menolong Dean yang terlihat sudah sangat pucat.
“Naik punggungku, kita berenang sampai ke tepian.” Penuh percaya diri Valen menolong Dean. Dan pertolongannya itu disambut oleh Dean. Tangannya terlalu lama berpegangan hingga mati rasa. Dia tidak ingin mati konyol di tempat ini. Hidupnya masih panjang, masih banyak tempat yang harus dia datangi. Masih banyak artikel yang harus dia bagikan.
Air laut melembah, pertanda ombak besar akan datang lagi. Tidak ada tanda-tanda awak kapal yang akan menyelamatkan mereka. Pasrah hanya itulah yang bisa dilakukan. Biarkan saja air laut menelan mereka. Menghabiskan waktu mereka hidup di dunia ini.
***
Satu jam bergelut dengan ombak yang menggila, mereka semua selamat. Berpegangan pada perahu yang terbalik dan benda-benda lain yang membuat mereka tetap terapung bersama dan tidak menjauh dari pulau Marai.
Mahesa duluan sampai di bibir pantai, bersamaan dengan gelap yang menyergap seiring kepergian matahari ditelan pekatnya gulita.
Di sepanjang pantai angin berembus kencang. Mereka melihat cahaya terang yang memantul ke atas langit dari balik pulau. Rumah penduduk, mereka yakin itu. Kalaupun awak kapal tidak dapat menyelamatkan dan mengevakuasi mereka. Setidaknya rumah penduduk itu bisa dijadikan tempat berteduh untuk sementara waktu.
“Gue yakin di sana banyak orang. Di sana bakal ada yang nolong kita, lo dengar kan itu?” Valen berucap serius. Diiyakan oleh Margareta dan Hanum. Sementara Dean dan Mahesa adalah dua orang yang tidak merasakan semuanya. Tidak ada cahaya yang dikatakan orang-orang. Yang ada hanya langit pekat bertabur bintang dan juga gemuruh ombak.
“Kita tunggu di sini, awak kapal bakal datang selamatkan kita.” Seorang penumpang dari sekoci lain berbaring di atas pasir. Napasnya terengah, matanya merah seperti serigala, sayangnya bukan karena dia serigala melainkan karena terlalu banyak air garam yang masuk ke matanya.
“Ada makanan?” Margareta bertanya, menyesal dia karena tidak makan sebelum berangkat tadi. Biasanya jam segini dirinya dimanjakan oleh makanan makanan lezat yang dikirim.
“Situasi begini lo masih mikirin makan?” teriak Dean.
“Gue nanya baik baik!” Margareta tak kalah sengit.
“Lo gak lihat barang-barang gak ada yang bisa kita selamatkan? Susah ya kalau sama cewek, otaknya dangkal, yang dipikir Cuma perut aja.”
Margareta tidak terima dengan apa yang dikatakan Dean. Dua orang itu saling pandang dengan tatapan penuh kebencian, akhirnya Mahesa menengahi. Tidak ada yang salah, Margareta wajar saja jika bertanya tentang makanan, toh dirinya juga saat ini lapar.
“Okay, kalian stop bertengkar, gue Mahesa, lo siapa?” tanya mahesa.
“Margareta.”
“Dean.”
“Nah, Dean, Margareta, tidak ada yang salah. Kita memang harus makan agar bisa bertahan di sini. Ayolah kalian sudah dewasa jangan memperkeruh suasana."
Dean mendengkus kesal, sikap Mahesa terkesan seperti membela Margareta. Padahal tidak seperti itu. Jika boleh bertanya setiap orang yang ada di sana sama sama kelaparan, apalagi setelah berjam-jam terombang-ambing di lautan dan bertarung dengan ombak.
"Gue Valen, waktu Pramuka di sekolah gue di ajarkan bikin api, nah biar gak kedinginan gue mau bikin api unggun, siapa yang mau bantu cari kayu bakar?"
Bergeming, tidak ada yang menjawab, Mahesa berdehem, dia lelah tidak sanggup berjalan lagi, nyuruh orang tidak berani karena dirinya bukanlah pemimpin mereka. Mana tau ada orang yang tidak suka diperintah.
"Ayolah, kalian memangnya tidak kedinginan pake baju basah? Sekalian cari ikan kita bakar bakar."
Valen adalah orang paling muda di sana, pemikiran dirinya masih sangat simpel, tidak dibawa ribet.
Terdampar di pulau Marai yang notabene pulau tidak dikenal pun rasanya seperti sedang kemping di bumi perkemahan Cibubur.
"Mudah gitu cari ikan?" celetuk Dean.
"Eh kalau gak dicoba, mana tau. Ayolah, kalian lapar tidak?" Valen terus memaksa.
"Kenapa gak pergi sendirian saja?
"Gue takut anjir."
Mahesa mau tidak mau akhirnya menemani Valen memungut benda benda yang dibutuhkan untuk membuat api.
Valen memulai dengan cara yang paling dasar atau mungkin bisa dikatakan paling kuno, yaitu Hand Drill. Cara ini merupakan cara yang pertama kali ditemukan dalam membuat api. Bahan yang digunakan cukup mudah, yaitu kayu kering yang panjang cukup panjang berbentuk poros atau seperti anak panah dan papan kayu yang digunakan sebagai alasnya, lalu dengan memutar poros dengan telapak tangan.
Dengan bantuan Mahesa, Valen menambahkan rumput kering secukupnya yang berfungsi sebagai sumbu yang akan menjadi penerima percikan api. Rumput kering ini digunakan karena sifatnya yang mudah terbakar saat percikan api sudah sedikit saja keluar. Sayangnya tidak semudah yang mereka lihat di film-film.
Kelemahan dari metode ini adalah harus menggunakan tenaga yang cukup banyak untuk dapat membuat percikan api tersebut. Dan usahakan untuk membuat api dengan metode ini pada lokasi yang tidak terlalu memiliki angin kencang.
Valen terlalu lemah dan angin terlalu kencang sehingga membuat api Dengan metode ini tidak berhasil.