6

1029 Kata
"Bisa gak Lo sebenernya?" tanya Dean, lelaki itu gemas karena Valen terlihat begitu lemah dan kehabisan tenaga. "Harusnya ini berhasil, dulu bahkan gue juara lomba menyalakan api." Gemetar Valen terus memutar mutar kayu dengan telapak tangannya, api tidak muncul meski beberapa kali rumput kering mengeluarkan asap. "Sudah jangan dipaksakan kalau gak bisa, tangan Lo bisa terluka. Gaize, tanpa api kalian bisa bertahan?" Margareta dan Hanum merapatkan tangan mereka masing masing, perut lapar, tenggorokan kering dan dingin adalah siksaan yang luar biasa. Tidak hanya mereka, beberapa orang dari sekoci penyelamat yang berbeda pun sama sama berusaha membuat api. "Gue coba," jawab Margareta, matanya terus menerawang ke arah lautan lepas, berharap ada Kapal penyelamat yang akan datang mengevakuasi dan menjemput mereka dari pulau Marai yang asing ini. "Anginnya gede, ini jadi apinya gak mau nyala." "Coba berkumpul," usul salah satu cowok. Mahesa, Valen dan Dean merasa tidak mengenal pria tersebut karena berasal dari sekoci yang berbeda. "Gue Dito, ayo berkumpul melingkar menghalangi sumber api dari angin kencang." Benar juga, usulan Dito langsung ditanggapi serius oleh Mahesa. Lima orang tadi termasuk Dito berkumpul bersama mengelilingi Valen. Orang yang yang ada di sana menyaksikan kegiatan mereka dengan enggan. Mereka hanya pasrah menggantungkan hidupnya dengan menunggu tim penyelamat di bibir pantai. Melihat semua teman temannya berusaha menghalang-halangi angin agar tidak menghambat pembuatan api, Valen merasa semangatnya kembali. Dia merentangkan tangan lalu memejamkan mata, berharap kemampuan saat menjadi anggota Pramuka bisa menjadi penyelamatnya di tepi pantai asing ini. Tidak ingin mengecewakan teman teman barunya, Valen berusaha keras sampai tangannya terasa kebas, percik api keluar di antara asap putih yang keluar di rumput kering. Semula kecil, lama kelamaan membesar hingga mereka bersorak gembira. Mahesa mengambil ranting kering dan berusaha menyalakan api di tumpukan kayu dan ranting sudah mereka susun berbentuk api unggun. Bukan hal yang mudah karena kayu bakar yang digunakan tidak dalam kondisi sepenuhnya kering. Sibuk dengan api unggun yang mereka buat, terdengar tangisan putus asa dari arah berbeda. Seorang perempuan memeluk temannya, Mahesa dan kawan kawannya mengira itu adalah tangisan putus asa karena terjebak di pulau yang sama sekali tidak mereka kenal. "Sebelah sini Bro, tolong." Mahesa meminta kepada Dito agar menghalangi jalannya angin agar api unggun yang mereka nyalakan berhasil. Dengan penuh kekuatan api itu menyala. Melihat ada api, perempuan yang tadi menangis memeluk temannya berteriak minta tolong. "Tolong teman saya, dia kedinginan. Tolong." Dito dan Mahesa bergerak mendekat, gadis muda berwajah pucat menatapnya bergantian, dia menggigil di pangkuan temannya. "Angkat, Dit," ajak Mahesa. Dekat api unggun Margareta dan Hanum menyiapkan tempat agar orang yang sedang ditolong itu mendapat tempat yang nyaman. Sementara Valen sedang berusaha menolong Dean, membuka scraf yang membebat tangannya, lalu mendekatkan kain itu di dekat api agar kering dan bisa digunakan lagi untuk membungkus lukanya. "Tolong teman saya," raung perempuan itu lagi, mengikuti Mahesa dan Dito. Yang lain ikut mendekat ke arah perapian. saling mencari kehangatan di tengah gempuran angin di tepian pantai yang dingin. "Margareta tolong, singkirkan papan itu," pinta Mahesa. Ada papan bekas membuat api yang terlalu dekat dengan perapian. Khawatir benda itu akan terbakar dan tidak ada lagi alat yang bisa dijadikan lagi media untuk membuat api. Perempuan bermata sayu yang digotong Dito dan Mahesa diletakkan di dekat perapian. Tangannya terkulai lemas. Tubuhnya kaku tidak bisa digerakkan dan setelah didekatkan dengan api barulah terlihat bibir perempuan itu membiru. Valen yang baru saja menolong Dean mendekat, "hipotermia," gumamnya. Dia letakkan ibu jarinya di pergelangan tangan korban dan menganalisa denyut nadi. "Melemah, Mbak, bisa lepaskan pakaian temannya, ini basah kondisinya bisa makin buruk. Jika ada pakaian kering tolong pakaikan." Valen menyambar scraf yang tadi digunakan untuk membebat tangannya Dean. Karena kainnya tipis sehingga sangat cepat kering ketika didekatkan dengan api. Kain hangat itu dikompreskan di leher korban. Temannya membuka mantel yang sangat basah, dan menyisakan sehelai kemeja tipis yang juga basah. "Tidak ada baju kering, dan tak mungkin dia gak pake baju. Dekatkan saja ke arah api," usul Margareta. Mahesa dan Dito kembali mengangkat tubuhnya wanita lemah tak berdaya itu lebih dekat ke arah api. "Jangan!" cegah Valen. Terlalu ekstrim dari kedinginan terus didekatkan ke api bisa serangan jantung. Tetap di posisi tadi. Ini pakaian kering pinjam dulu, ya." Valen mengambil beberapa pakaian tipis yang sudah dikeringkan di dekat api lalu digunakan untuk melindungi tubuh korban. Di leher lipatan ketiak dan dekat telinga. Temannya kembali menangis saat melihat sama sekali tidak ada tanda tanda kehidupan. Korban semakin lemah, napasnya satu satu matanya kini terpejam. "Letakkan kepalanya di bawah, angkat kakinya lebih tinggi dari posisi jantung, jika kesadaran kembali menurun lakukan CPR!" perintah Valen. Semua bergeming, mereka adalah orang-orang awam yang tidak tahu menahu masalah seperti ini. Apa itu CPR dan bagaimana caranya. Valen mendekatkan telinganya ke arah hidung dan mulut korban, napasnya semakin melemah. Melihat tangisan temannya dan orang orang yang berharap banyak pada dirinya lelaki itu akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan CPR. Korban sudah dibaringkan di atas permukaan yang keras dan datar, lalu Valen memposisikan diri berlutut di samping leher dan bahu korban. Dia meletakkan satu telapak tangannya di bagian tengah d**a korban, dia bergumam minta maaf mengingat korban yang ditolong adalah seorang perempuan. Tangannya bergetar hebat, posisi siku lurus dan bahu berada tepat di atas tangannya. Dulu waktu jadi anggota Pramuka, hal ini dilakukan dengan menggunakan media patung peraga. Bukan pada manusia, lagipula jika ada hal hal yang seperti ini langsung saja dibawa ke UGD. Sekarang situasi berbeda. Valen tidak pernah menyangka apa yang dia pelajari dulu bisa ada gunanya juga. Valen m damenekan dadaa korban setidaknya 100–120 kali per menit, dengan kecepatan 1–2 tekanan per detik. Saat menekan, dia gunakan kekuatan tubuh bagian atas. Ketegangan terjadi, terlebih situasi diperparah dengan tangisan memilukan teman korban. Usahanya sudah benar, lelaki paling muda di sana itu sudah mengerahkan seluruh kemampuan dirinya. Tapi Tuhan berkehendak lain, gadis itu tidak bisa bertahan dan memilih menyerah tanpa meneruskan perjalanan bersama. "Maaf," Isak Valen. "Maaf gue gagal." Dean mendekat, sejak berada di kapal, dia malas sekali diikuti oleh Valen, tetapi pikirannya itu ditepisnya dan berubah ketika Valen menolong Dean dan mengobati lukanya sehingga tidak kehabisan darah. "Lo sudah melakukan yang terbaik, Bro." Dean memberikan segenap kekuatan. Valen melihat kedua telapak tangannya yang bergetar ditingkahi jerit tangis teman korban.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN