4

1037 Kata
Valen membuka matanya, kali ini dorongan kuat dari perutnya memaksa dia untuk kembali memuntahkan udara, tidak ada lagi yang bisa dia keluarkan. Kapal masih belum tenang, tetapi tidak separah tadi. Laki-laki dengan rambut berantakan itu mencari tas di gelapnya ruangan kapal. Hanya sedikit cahaya yang mengintip dari sela sela atap yang habis dihantam ombak besar. Perempuan cantik yang tadi dia lihat di pelabuhan merintih terjepit di antara sofa dan tiang kapal. Valen merasa iba, dia berdiri hendak menolong Margareta tetapi tubuhnya limbung. Kepalanya berputar seperti sedang menderita tekanan darah rendah. “Valen,” panggil Dean. Tangan laki-laki itu terluka, pecahan kaca melukai tangannya hingga berdarah. “Bantuin gue.” Merangkak Valen menghampiri Dean, untuk menghentikan pendarahan yang dialami oleh kenalannya itu Valen meraih selembar scraf yang tersangkut di antara tiang tiang yang sudah patah. Entah milik siapa, yang penting untuk saat ini pendarahan bisa dihentikan sebelum dia mendapatkan pertolongan yang lebih layak. “Gue tolongin dia dulu,” ucap Valen, nunjuk Margareta yang sedari tadi menatap dengan peniuh harapan agar diselamatkan. Ditingkahi dengan tangisan tangisan memilukan Valen tertatih demi untuk menyelamatkan orang-orang yang ada di sekitarnya termasuk Margareta dan Mahesa. Siapa sangka, sosok yang semula terlihat paling lemah justru kini berada di baris terdepan untuk menyelamatkan orang. Dean kembali merogoh kantong celananya, liontin itu masih aman di sana. Pandangannya menyapu seluruh ruangan kapal yang terlihat mulai miring. Benda-benda di sekitarnya berjatuhan mengikuti gaya gravitasi. Mahesa berusaha berdiri seraya memegangi tangannya yang terluka, dia berusaha melawan gravitasi bumi dengan naik ke puncak kapal. Jadi ingat adegan dalam film TITANIC, tapi tidak separah itu, ternyata kapal hampir karam di lautan yang begitu tenang. Awak kapal berseragam biru menyelamatkan puluhan penumpang dengan menggunakan sekoci. Tidak akan ada drama tenggelam, setidaknya itulah keyakinan Mahesa. “Mas, bantu, Mbak itu, Mas,” teriak Valen. Mahesa menoleh ke kolong meja di mana seorang perempuan dengan tubuh bergetar hebat. Ketakutan dan terluka. “Ayo naik,” ajak Mahesa. Dijulurkannya tangan, perempuan bernama Hanum itu menyambut pertolongan dua pemuda. Valen berusaha menahan Meja agar tidak ambruk menimpa kepala Hanum sedangkan Mahesa menarik tangannya. Dean, Mahesa, Margareta, Valen dan Hanum kini sudah ada di deck, menunggu di evakuasi oleh awak kapal menggunakan sekoci. Mereka ada di tengah lautan, tidak laut lepas karena di ujung ujungnya tampak sebuah titik yang diduga adalah pulau. Salah satu keanehan yang terjadi adalah mereka jelas jelas berada di lautan dengan gundukan awan kelabu dan ombak yang menggila. Pusaran angin yang mengamuk seperti monster yang siap memangsa kapal itu seperti seorang nenek yang menelan kwaci bunga matahari. Kini semua sirna, lautan itu tenang tidak berombak, awan-awan kelabu hilang bagai disedot vacum cleaner, dan angin yang bertiup begitu sejuk. “Tunggulah di sekoci, kapal hampir karam. Jangan kalian dayung sekoci itu ke arah pulau besar di tenggara sana. Tunggu sampai kami menjemput lagi,” ujar awal kapal. Mereka semua berhimpitan di atas sekoci yang sempit. Terombang ambing di lautan menjauh dari kapal Feri yang akan segera tenggelam. Sedikit demi sedikit kapal mulai ditelan air laut, Valen tidak pernah menyangka barang-barang yang dia bawa ikut lenyap di sana. Termasuk surat keterangan beasiswa yang dia terima dari salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Terbayang wajah Sang Ibu yang kecewa ketika mendapati anaknya tidak jadi kuliah karena berkas berkasnya karam bersama kapal yang kalah ditelan air laut. Margareta ingat dengan gagak hitam yang terus mengitari kapal sebelum berangkat tadi. Di banyak negara, keberadaan burung gagak hitam sering dikaitkan dengan cerita-cerita mistis dan pertanda akan adanya kematian. Dalam kepercayaan masyarakat Eropa kuno, gagak hitam adalah jelmaan Dewi Morrigan atau dewa perang dan kehancuran. Kemunculannya di suatu tempat akan memberi pertanda, di tempat tersebut bakal mengalami perang atau musibah yang berujung pada kematian. Burung ini juga dipercaya sebagai hewan piaraan para penyihir. Betul, bukan hanya kepercayaan semata. Buktinya kapal yang mereka tumpangi harus mengalami badai dahsyat yang memakan korban. Dan kini kapalnya karam di tengah lautan. “Pulau itu paling dekat dengan lokasi kita saat ini, kenapa awak kapal malah membawa ke pulau yang itu?” tunjuk Valen. Pemuda berusia delapan belas tahun itu masih memiliki rasa ingin tahu yang besar. “Kita tunggu saja, ini hampir malam, daripada terombang ambing di lautan nanti kita tunggu di pulau itu.” Mahesa menunjuk arah tenggara. “Awak kapal bilang jangan ke sana, lo gak denger?” Dean sedikit emosi. “Lo mau bermalam di sini, lo gak kasian sama mereka?” tunjuk Mahesa pada tiga orang perempuan yang ada di atas sekoci. “Benar kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi di sini malam nanti, bagaimana kalau ada hiu atau binatang laut menakutkan?” Margareta mulai parno. Di daratan setidaknya mereka bisa mencari sumber makanan, membuat api unggun demi melindungi diri dari dinginnya air laut. Rupanya awak kapal tidak pernah kembali lagi, menyisakan tiga sekoci yang terombang ambing tanpa kejelasan nasib di tengah lautan Ilusi. “Bergeraklah, apa saja yang bisa dijadikan dayung jadikan.” Mahesa berteriak. Jujur sebagian dari mereka merasakan takut mengingat pesan awak kapal tadi bahwa mereka tidak boleh pergi ke pulau itu. Hanum tersentak, matanya melotot dan membulat. Dia sedikit menggeram lalu berkata dengan suara serak, serak seperti baru bangun tidur. “Jangan takut untuk melangkah, Lautan Ilusi dan pulau Marai yang kalian anggap sebuah mitos itu sesungguhnya ada. Dan di sinilah kalian berpijak. Berhati-hatilah pada dua pria dengan segara biru.” Ombak kecil di lautan membuat sekoci melambung dan Hanum tersedak. Perempuan itu bersikap seakan-akan dia tidak mengatakan apa pun barusan. “Hei, apa maksudnya pulau Marai?” Margareta menyenggol lengan Hanum. Perempuan itu linglung sama sekali tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan Margareta. “Sudah, sebaiknya kita jalan. Dayung sekocinya dengan tangan siapa saja ayo.” Mahesa memberi aba-aba. Tangan tangan mereka mulai menyentuh air laut yang dingin. Kecuali Dean yang tangannya terluka. Kayuhan demi kayuhan mengantarkan sekoci mereka mendekat ke pulau besar yang terlihat sangat indah. Marai digambarkan sebagai pulau indah dengan garis pantai yang panjang, meski indah. Pulau Marai bagi mereka terasa sangat angker. “Gue yakin itu bukan pulau kosong,” celetuk Dean. “Tapi nyeremin.” Mahesa memutar bola matanya, di mata dia pulau itu adalah keindahan dari perjalanan yang mereka lalui saat ini. Dia yakin, di sana ada banyak penduduk yang dapat menolong dan menyelamatkan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN