7

1043 Kata
Malam menuju puncaknya, sebagian orang bertahan di depan api. Ada yang tidur dan ada yang duduk memeluk lutut. Sesosok Jenazah korban hipotermia terbujur kaku tidak jauh dari sana. Berada di tengah rasa sesal, Valen melamun seorang diri, dari matanya yang Jernih memantulkan merahnya api unggun. Sesekali lelaki itu membuka kedua telapak tangannya. Kegagalan memberikan pertolongan membuat pemilik mata hitam itu dirundung kesedihan. "Bro, Lo sudah melakukan yang terbaik. Jangan menyesal, Lo pahlawan di mata gue." Valen mengangguk, setidaknya tidak ada orang yang menyalahkan dirinya. Angin berembus sangat kencang, mereka mendengar gemuruh dari kejauhan, bukan berasal dari ombak di lautan, melainkan seperti gemuruh orang orang di kejauhan. "Gue rasa gak jauh dari sini ada pemukiman penduduk. Apa kita tidak coba cek ke sana?" usul Margareta. "Betul, tapi bertahan saja sampai pagi, baru kita cari. Siapa tahu selama itu ada tim penyelamat yang datang, lagipula apa kalian berani melintasi hutan tengah malam begini?" Serempak mereka melihat ke arah hutan yang gelap. Tidak tahu bahaya apa yang mengincar mereka di sana, Akhirnya setuju dengan usul Mahesa untuk mencari pemukiman itu keesokan harinya. Jam demi jam berlalu, kayu bakar hampir habis, nyala api yang semula besar menghangatkan semakin berkurang. Manusia manusia yang tengah menunggu datangnya pertolongan itu kini terbaring pasrah. Dengan perasaan dingin dan juga lapar menjadi satu. Terang menyapa bersamaan dengan air pasang yang membasahi tubuh tubuh lelah itu, rasa dingin akhirnya membangunkan mereka. Pantai yang indah, pasirnya terlihat berwarna pink saat ditimpa sinar matahari. Jika saja mereka sedang tidak terdampar maka pemandangan ini adalah pemandangan yang indah dan cocok untuk berlibur. Sebagian orang sudah mendekat ke arah hutan. Sebagian lagi memilih bertahan karena yakin akan segera ditemukan oleh tim penyelamat. "Gue maju, karena diam artinya mati. Kalian gimana?" tanya Mahesa. "Gue juga maju." Valen mengangkat tangannya. Dia tidak tahan ingin segera mencuci seluruh tubuhnya yang lengket dan gatal karena air laut. Dean, Margareta, Hanum dan Dito juga setuju untuk ikut mencari pemukiman meski mereka tidak yakin apakah ada atau tidak. Menjauhi garis pantai, mereka Melawati barisan pohon kelapa yang tinggi menjulang. Lalu semakin dalam masuk ke dalam rimbunnya hutan. Dari kejauhan debur ombak terdengar. Manakala menoleh ke belakang Mahesa bisa melihat beberapa orang yang memilih bertahan menunggu tim penyelamat. "Kita sebenarnya ada di mana?" tanya Margareta. "Pulau Marai," jawab Hanum. Terkadang semua orang termasuk Mahesa bingung dengan Hanum. Dia seperti bisa meramal sesuatu seperti saat berada di sekoci. Terkadang juga dia bertingkah seperti seseorang yang paling tahu banyak. "Bukankah pulau Marai itu hanya sebuah Ilusi?" tanya Dito. "Puluhan kali melintasi laut selalu mendengar desas desus keberadaan lautan Ilusi dan pulau Marai." "Berarti kamu beruntung bisa datang ke pulau ini, karena tidak banyak orang yang tahu tentang tempat ini. Bahkan satelit pun tidak dapat mendeteksi keberadaan lautan Ilusi dan pulau Marai." Di mana pun itu, Dean yang selalu antusias dalam bepergian ke mana pun itu untuk pertama kalinya ingin mengakhiri perjalanan. Entah mengapa di matanya semua tampak begitu menyeramkan, tidak ada keindahan yang disebut oleh Margareta dan Hanum dalam setiap percakapan mereka. Dean tidak sengaja menyentuh celananya. Di dalam saku sana masih tersimpan kalung dengan liontin berwarna biru yang belum sempat dia kembalikan. Sepanjang perjalanan menuju pemukiman warga, mereka mencari sesuatu yang bisa dimakan dan diminum. Ada buah buahan yang tumbuh di hutan tersebut, dedaunan yang bisa dimakan juga jamur. Harus hati hati dalam memilih makanan tersebut, jika tidak nyawa mereka menjadi taruhannya. Semakin jauh masuk ke dalam hutan semakin rapat. Sinar matahari bahkan tidak sanggup menembus rimbunnya pepohonan. Merasa lelah dan lemas, Mahesa duduk di akar pohon besar yang mencuat. Dia lantas menyandarkan kepalanya di batang pohon. Valen kembali menunjukkan kemampuan bertahan di hutan. Dia berhasil mengumpulkan air yang berasal dari pohon. Setetes demi setetes terkumpul dan bisa menghilangkan dahaganya Melihat itu semua mengikuti apa yang Valen lakukan. Demi bertahan diri, tidak ada lagi perasaan takut dan jijik. Dean memeriksa luka menganga di tangannya. Sudah hampir mengering dan kini tangannya bisa dia gerakkan. Rasa terima kasih dia ucapkan pada Valen. Lelaki yang semula dia kira anak manja ternyata jadi orang serba bisa di antara mereka. Ketika hendak melanjutkan perjalanan, Dean berjalan mendahului Margareta dan Hanum. Ada satu hal yang ingin Dean pastikan. Yaitu kalung yang melingkar di leher Mahesa. "Mahesa tunggu!" Dean setengah berlari. Dia tetap berhati-hati karena khawatir langkahnya tersandung akar pohon. "Ya!" jawab Mahesa. "Tolong kembalikan kalung itu," pinta Dean setelah memastikan kalung yang dipakai Mahesa adalah kalung yang dia temukan di kapal. "Maaf?" Mahesa sedikit kebingungan. "Itu punya orang, gue minta Lo balikin." Mahesa menyentuh kalung itu, kalung yang diberikan kakek Zumi sebelum meninggalkan Pulau Kalimantan. "Ini punya siapa?" Mahesa memastikan. "Jangan bertele-tele, lepasin aja, Bro!" "Ini punya gue, hak Lo apa?" Mahesa sedikit terpancing emosi, jelas jelas ini miliknya. Tidak mau kalah, Dean berusaha mengambil paksa kalung itu. Tindakan dua orang itu menjadi bahan tontonan. Di mana mereka seharusnya menyelamatkan diri malah memperebutkan sebuah kalung. "Kalian bisa diam?" Margareta berusaha menengahi. Dean dan Mahesa yang hampir berkelahi akhirnya diam. "Kenapa sih ngerebutin hal yang gak penting? Gue laper, semua laper, makin cepat sampai kita bisa selamat. Plis deh jangan bikin ulah, kecuali kalian mau kami tinggal." "Gue gak ngerebutin hal yang gak penting, gue minta balik kalung itu. Gue mau balikin kepada pemiliknya." Luka di tangan Dean kembali merembes, noda merah tembus di scraf yang dia gunakan untuk membalut lukanya. "Bro, Lo tahu, sebelum pergi ke naik kapal Feri itu gue diberi kalung ini oleh Kakek Zumi. Memangnya Lo kenal dia?" ejek Mahesa. "Tapi gue Nemu kalung itu di deck kapal, milik salah seorang awak kapal yang gue tabrak." Tidak ada yang mau mengalah. Bahkan jika tidak dihalangi mereka bisa saja saling kelahi. "Memang Lo simpan kalungnya di mana tadi?" tanya Valen. "Gue simpan di–" Dean yang merogoh kantong celananya berhenti sejenak. Benda itu tetap aman di tempatnya. Dia yang salah karena telah menuduh Mahesa mengambil benda itu darinya. Dia mengeluarkan benda itu perlahan dan mengacungkannya. Sama persis, tidak ada hal yang membedakan kalung yang baru saja dia ambil dari sakunya dan kalung yang dipakai oleh Mahesa. "Sorry, Bro. Ternyata ini masih ada," ucapnya penuh penyesalan. Mahesa yang semula gemas dan hampir menghajar Dean, kini hanya bisa terpaku. Kalungnya tidak hanya satu. Berarti benar itu hanyalah kalung biasa, bukan hal yang bisa menangkal dia dari berbagai bahaya yang dihadapi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN