3

920 Kata
Siapa yang akan tahu perihal masa depan? Hanya Tuhan, Mahesa tidak pernah berpikir bisa berada di pelabuhan ini dengan perasaan sedih. Satu persatu anak tangga dia pijak untuk menaiki kapal. Lelaki itu mengucapkan selamat tinggal pada burung-burung hitam yang terbang mengelilingi kapal. Pada angin, pada pantai. Dia siap meninggalkan kota ini melalui sepanjang jalur pelayaran dengan kapal di atas riak gelombang. Semua penumpang berduyun saling bersinggungan, satu di antara sekian banyak burung yang terbang mengitari kapal itu adalah burung gagak hitam, yang kini bertengger di atas tiang buritan  persis di mana bendera dikibarkan. Cukup aneh mengingat tidak seharusnya hewan pertanda kematian itu tidak seharusnya berada di atas sana. Dean berjalan di atas deck diikuti Valen, ranselnya tidak begitu besar, tetapi cukup berat. Hal itu membuat Dean terhunyung dan menabrak Bustami. Salah satu awak kapal yang sejak awal mengawasi mereka lekat lekat. Tas ranselnya jatuh hingga menghambat perjalanan. Dean membungkuk minta maaf, sayangnya Bustami berjalan cepat hingga sesaat kemudian menghilang dari pandangan Dean. Dia berlutut mengambil tas yang teronggok di atas deck. Sesuatu yang berkilap tertimpa cahaya matahari, warnanya seindah warna langit. Valen gelisah karena antrean di belakangnya sudah protes karena perjalanan terhenti, dia buru-buru meminta Dean untuk mempercepat langkah. Tidak enak dengan yang lain. Keluhan penumpang yang tidak sabaran membuat Dean meminta maaf berkali kali. Matanya awas melihat sekeliling deck, mencari Bustami yang menjatuhkan kalung berbandul indah saat tidak sengaja bertabrakan tadi. “Nyari siapa?” tanya Valen. Tangan Dean terkepal menggenggam kalung itu, dia lalu menggeleng dan berjalan menuju bagian dalam kapal bersama Valen. Seumur-umur Dean jalan-jalan keliling Indonesia, untuk pertama kalinya ada orang yang terus terusan nempel seperti Valen. Terganggu? Tidak juga, Valen cukup menyenangkan diajak bicara. Di sisi lain, Margareta duduk di dengan manis di tempatnya, kacamata hitam masih setia dia pakai. bukan menghalaunya dari sinar matahari, melainkan menghindar dari  orang-orang yang mungkin akan membawanya kembali ke pulau yang ingin sekali dia tinggalkan. Hari semakin siang dari dalam kapal Mahesa bisa melihat bagaimana  ombak memukul-mukul tepian dermaga. Dean menikmati bagaimana birunya air laut dan terkadang hijau tosca. Merasa sayang jika tak merekam momen-momen cantik lewat kamera. Menghirup udara yang datang dari samudera luas sambil memuji Sang Pencipta. Dean akan menuangkan segala keindahan itu nanti dalam tulisan dan mempostingnya di blog pribadinya. Dia bahkan mengamati aktivitas para penumpang di dalam kapal demi kepentingan tulusan nantinya. Insting eksplorasi kian disuburkan dengan berjalan-jalan ke tiap sudut kapal yang bisa di datangi. Ikut mengamati petugas mengatur kendaraan masuk ke lambung kapal. Kadang langsung naik ke buritan untuk melihat anak buah kapal mengangkat sauh. Lalu menunggu detik-detik saat ujung kapal perlahan menjauh dari dermaga. Dean terus mengeksplorasi, memotret sebisanya, bertanya tanpa rasa malu meski terkadang lelaki itu merasa sangat kesal lantaran Valen terus mengikutinya. Bertanya dan sesekali minta bantuan untuk membalurkan minyak kayuputih ke punggungnya karena dia mabuk laut. Semakin menjauh kapal dari dermaga perasaan Dean semakin berbeda, dia merogoh kantong celananya. Ada benda yang harus dia kembalikan kepada pemiliknya, sebuah Liontin yang dia temukan saat bertabrakan dengan salah satu awak kapal tadi. Lantas Dean kembali menyusuri seluruh isi kapal, mencari lelaki itu. Sayangnya awak kapal berseragam biru itu banyak. Dia juga tidak tahu di mana pria berbadan tinggi itu bertugas. “Lo nyari apaan sih?” tanya Valen ketika mereka sudah duduk di salah satu sofa dekat dengan jendela yang besar. Wajah lelaki kecil itu memucat. Pengalaman pertama naik kapal ternyata begitu buruk. Ombak semakin besar terus menampar nampar badan kapal. Cuaca yang semula cerah berubah menjadi kelabu. Lautan mengamuk. Beberapa pusaran angin tidak jauh dari kapal seperti sedang menari di sebuah panggung hiburan. Mengundang keriuhan. Bedanya tidak ada tepuk tangan di sana, melainkan teriakan panik karena kapal menjadi tidak terkendali. Terombang ambing membuat Valen beberapa kali mengosongkan isi perut. Awan-awan kelabu yang tidak tahu datangnya darimana itu berubah jadi amukan hujan dan badai petir yang mengerikan. Pusaran puraran tadi semakin membesar dan meliuk-liuk ditingkahi oleh debur ombak yang menggila. Mahesa merapal doa. Mengingat wajah Ibunya, mengingat teman-teman yang dia tinggalkan di tempat kos juga mengingat pesan kakek Zumi sebelum meninggalkan Kalimantan. Margareta juga tak kalah panik, dia berpegangan dengan perasaan yang tidak karuan. Mungkin inilah saatnya, inilah waktunya dia menjemput karma karena telah menjadi perempuan yang menyakiti perempuan lainnya. Dean? Dia tidak seantusias sebelumnya, tidak ada lagi konten di kepalanya. Tidak ada lagi pikiran bagaimana caranya menggambarkan semua kejadian ini melalui tulisan. Yang dia tahu saat ini bagaimana caranya selamat dari amukan badai di hadapannya. Dean berlari ke dalam di mana awak kapal membagikan pelampung. Benda berwarna orange itu seperti sepiring nasi yang ditaburkan di tengah rakyat yang kelaparan. Berebut seakan takut tidak akan kebagian. Dean meraih dua buah pelampung, memakai salah satunya dan memberikan satunya lagi kepada Valen yang tergolek lemas karena mabuk parah. Dean belum sempat memakaikan pelampung itu kepada Valen saat semua menjerit karena nampak dari jendela pusaran besar menghantam kapal hingga memecahkan kaca dan menerbangkan sebagian atap. Air hujan bercampur angin menerobos masuk, lampu-lampu padam. Gelap, mencekam dan seluruh isi kapal tumpah ruah diacak-acak pusaran angin. Tidak cukup sampai di situ, pusaran besar mengangkat kapal berukuran besar itu hingga berputar di udara. Semua berpegangan, yang tidak sempat berpegangan terombang ambing membentur meja, sofa, dinding kapal bahkan tiang tiang penyangga. Berputar seperti kapas yang ringan dan ditiup oleh angin. Mahesa Pasrah. Margareta juga sudah siap jika memang takdirnya hanya sampai di sini. Sebelum pusaran itu memuntahkan kapal kembali ke lautan, guncangan hebat terjadi dan BOOM kapal menghantam lautan. Tidak ada lagi amukan ombak. Yang terdengar hanyalah tangisan dan raungan minta tolong dari penumpang yang sama sama shock.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN