8

1018 Kata
Pulau Marai dan Lautan Ilusi Sejak dahulu kala, keberadaan pulau Marai dan Lautan Ilusi selalu menjadi perdebatan. Ada yang bilang itu hanyalah mitos belaka, ada yang menyatakan sekadar legenda nenek moyang dan ada pula yang mengatakan kalau itu adalah sesuatu yang nyata. Beberapa orang bahkan mengklaim pernah menyambangi pulau yang memiliki banyak penduduk gaib tersebut. Tidak banyak orang yang beruntung bisa sampai di Pulau Marai dan tidak banyak orang yang berhasil keluar dari sana setelah berhasil masuk. Dan tentunya yang pasti orang yang berhasil menembus dimensi hingga sampai di pulau itu adalah orang-orang pilihan. Seperti saat ini, lebih dari sepuluh orang yang menjelajahi hutan di pulau itu, berusaha mencari jalan keluar dan sumber kegaduhan yang selalu mereka dengar di malam hari. Kesulitan menemukan pangan adalah rintangan utama yang mereka hadapi. Banyak juga perbedaan pendapat yang membuat mereka saling mencaci dan seperti salah faham masalah kalung antara Dean dan Mahesa. Lalu yang terbaru antara Margareta dan Hanum. Meski begitu, di antara mereka bahu mambahu untuk bertahan hidup. Gemuruh ombak semakin terdengar menjauh pertanda bahwa mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan. Valen yang terlihat paling kuat dan serba bisa justru kini terlihat jadi orang yang paling lemah. Dia kelelahan. "Sebaiknya memang seharusnya kita istirahat terlebih dahulu. Harus hemat tenaga. Kalau perlu bermalam ya bermalam." Mereka berhenti, lalu masing masing duduk di akar pohon yang ada di sana, memastikan apa yang mereka duduki aman dan tidak ada binatang melata seperti ular dan binatang berbisa lainnya. "Kita harus buat api lagi gak sih?" tanya Dito. "Gue capek," keluh Valen. Membuat api tidak semudah yang dibayangkan, tidak semudah saat praktikum di kegiatan Pramuka. "Biar gue yang bikin, apa aja yang harus kami siapkan?" tanya Dito, lelaki itu menawarkan diri. Setelah mengumpulkan beberapa kebutuhan untuk membuat api unggun, Dito berusaha menyalakan api seperti Valen di tepi pantai tadi malam. Angin pantai yang kencang seakan menghalangi mereka untuk menyalakan api, beda dengan sekarang. Meski Dito merasakan panas di tangannya dia senang karena perlahan asap keluar dan berhasil membuat api menyala. Semua berkumpul mendekat api unggun. Meski belum malam, dingin mereka rasakan, ditambah dengan perut kosong yang tidak diisi sejak mereka terbawa ke pusaran angin oleh kapal feri yang mereka tumpangi. Dean baru saja selesai membuka belitan pada luka di tangannya saat melihat Mahesa berdiri hendak mencari makanan. "Gue ikut," ucapnya. Bukan sekadar ikut cari makanan, melainkan saat ini adalah waktu yang tepat untuknya meminta maaf atas insiden kalung. "Tangan Lo gak apa-apa?" tanya Mahesa. "Aman," ucapnya. Memang aman, rasa sakit sudah tidak begitu kentara. Lagipula Dean harus membiasakan diri, membiasakan diri agar tangannya bisa kembali digerakkan seperti sedia kala. Dua lelaki itu berjalan beriringan, Mahesa terus melihat sekeliling, barangkali ada sesuatu yang bisa dibawa untuk makan bersama. "Bro, gue mau minta maaf," ucap Dean, dia berjalan di belakang Mahesa, meminta maaf seraya menatap punggung pria gempal itu. "Lupain aja." "Gue gak enak. Beneran." "Dean, setidaknya dengan kejadian ini gue bisa menilai Lo. Lo orang bertanggung jawab, buktinya Lo merasa berkewajiban mengembalikan kalung itu, dan marah ketika gue pake kalung yang sama." "Harusnya gue tanya baik baik, tadi." "Nah itu salahnya elo. Gak apa apa, yang penting sekarang kita sudah baikan." Langkah mereka lanjutkan ke arah random. Tanpa arah, yang penting dapat makanan. Terdapat sebuah pohon besar dengan lumut di sekeliling tempat itu. Mereka melihat Valen mengambil air putih dari pohon yang sama, meski lama karena menunggu setetes demi setetes, tetapi air itu bisa melepaskan dahaga mereka. "Itu pohon pakis kan? bisa dimakan!" terka Mahesa. "Paku Sayur. Ciri-cirinya berdaun gerigi, memiliki akar yang gemuk, serta tangkainya berwarna hijau." "Bisa dimakan, kan?" tanya Mahesa antusias. "Untuk mengonsumsinya, lo bisa merebus terlebih dulu paku sayur, setelah itu baru memakannya sebagai lalapan. Sangat tidak dianjurkan memakan paku sayur mentah, karena tumbuhan ini mengandung asam sikimat, yang bisa berdampak pada sistem pencernaan." Mendengar penjelasan Dean, Mahesa sedikit kecewa sekaligus takjub. Kecewa karena bagaimana caranya merebus paku sayur itu, tidak ada media yang bisa digunakan. Takjub karena Dean tahu banyak, seakan hutan ini sering dikunjungi oleh Dean. "Lo kok tahu, sih?" tanya Mahesa. "Kerjaan gue keliling Nusantara. Hutan, laut, gunung, desa dan kota. Jadi sedikit banyak gue tahu tumbuhan apa saja yang bisa dikonsumsi." Dean tetap mengambil tumbuhan itu, lalu mengumpulkannya di satu tempat, selain itu, dia juga menemukan tumbuhan Selaginella, tumbuha yang termasuk dalam tumbuhan paku-pakuan, Selaginella atau disebut pula daun Rane juga banyak ditemukan di hutan Indonesia. Tumbuhan ini biasanya berwarna hijau, namun enggak jarang pula berwarna merah atau kebiruan. "Itu bisa dimakan juga?" tanya Mahesa. Dean mengangguk, "Bisa, tetap harus direbus. Kita cari kaleng, barangkali ada, atau apa saja yang bisa digunakan untuk merebus. Kumpulan saja di sini kita cari ke depan sana." Perjalanan hampir berakhir karena mereka bisa mendengar debur ombak. Tidak begitu jelas, tetapi hal itu membuat mereka berputar arah. Hari hampir gelap, mereka harus bergegas, ada atau tidak alat untuk merebus paku sayur dan Selaginella tetap mereka bawa, ditambah buah murbei dan juga ciplukan. Cahaya merah terlihat dari balik semak, dan mereka melihat orang orang berkumpul mengelilingi. Sudah ada kaleng yang digunakan untuk merebus air. Entah kaleng bekas apa, yang pasti sudah berkarat. "Makanlah dulu ini," ucap Mahesa seraya memberikan masing masing lima buah murbei, tidak mengenyangkan memang, tetapi setidaknya mulut tidak pahit karena tidak menemukan makanan. Dan juga buah ciplukan yang mereka temukan. "Ini harus dimasak." Dean menyerahkan satu ikat paku sayur dan Selaginella. "Kalengnya terlalu kecil, bagaimana caranya?" Valen mendekat lalu dia mengambil helai daun yang lebar entah daun apa, lalu dia membentuk daun itu menjadi seperti mangkok. Daun paku sayur itu dipotong potong lalu disimpan di dalam mangkok daun. Kaleng kecil berisi air hampir mendidih dibiarkan mendidih terlebih dahulu. Setelah mendidih, Valen berusaha mengangkatnya, dan kemudian menuangkan air mendidih itu di atas paku sayur dan Selaginella. "Semoga gak apa apa, cuma kita siram pake air mendidih." Valen berucap. Tidak apa, malam ini tidak ada makanan yang bisa mereka makan, selain tanaman yang didapatkan oleh Mahesa dan Dean. Entah sampai kapan mereka terjebak di pulau Marai, di tengah hutan itu bimbang dan keraguan mulai datang menguasai hati. Antara terus melanjutkan perjalanan atau kembali ke pantai dan menunggu tim penyelamat untuk menolong mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN