Margareta
Tak akan ada orang yang menyambut perpisahan dengan senyuman, kecuali Margareta. Meskipun pekerjaan yang kini dia tinggalkan adalah pekerjaan impian semua orang, Margareta tetap teguh dengan pendiriannya. Pulang adalah satu-satunya jalan agar perempuan itu terbebas dari masalah.
Dirinya tidak pernah menyangka, keputusannya ikut dengan sang paman telah mengubah seluruh hidupnya. Margareta adalah gadis yang lugu, yang dia tahu hanya belajar dan membaca n****+. Hijrah membuat dia mengenal dunia, termasuk dunia malam hingga hampir jatuh ke dalam lubang kelam sebagai perebut suami orang.
Hubungan gelapnya dengan Max sebenarnya sudah lama tercium ke ranah publik. Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai pada akhirnya bau busuknya tercium juga. Max adalah pria beruntung yang menikahi pewaris perusahaan furnitur tempat Margareta bekerja. Lelaki berusia empat puluh dua tahun itu tidak tahu diri. Dikencaninya gadis sepolos Margareta.
Teringat pertama kali Margareta dirayu oleh Max. Tatapan lelaki beranak dua itu menatap Margareta dari ujung rambut hingga ujung kaki. Senyumnya seperti seorang predator yang menemukan mangsa.
“Nama kamu siapa?” tegas Max. Dengan kurang ajar tangannya menyentuh dagu Margareta, terpaksa gadis itu mengangkat wajahnya. Keduanya bertatapan, Max genit, Margareta ketakutan. Namun, lelaki itu terlalu pandai memainkan kata demi kata.
Awalnya, Margareta merasa senang dengan hubungan terlarangnya. Segala kebutuhan terpenuhi, kiriman uang ke Jawa lancar layaknya air di musim hujan. Sayangnya orang-orang yang kontra terhadapnya membeberkan perselingkuhan itu. Dia menjadi buronan Mustika, wanita kejam yang juga istri sah dari Max.
Hingga akhirnya Margareta terbuai, awalnya hanya jam tangan bermerk dengan dalih oleh-oleh dari Singapura. Lalu ponsel seharga sepeda motor, kalung, cincin bahkan belanja baju branded di Mal maupun online sudah tidak terhitung.
Tentu saja semua itu tidak Max berikan dengan Cuma-Cuma. Ditukar dengan nomor ponsel, ngobrol di kantin, bahkan makan malam mewah di hotel berbintang. Margareta yang semula tidak tahu apa-apa masalah barang bermerk. Perempuan pecinta kopi itu tidak mengerti fashion, dia tidak gila uang. Hingga akhirnya berubah.
Margareta terbuai, apalagi Max selalu berkata-kata manis. Seperti saat Margareta ingin menyerah dan mengakhiri hubungan dengan Max.
“Bee, aku janji, aku akan menikahimu segera. Selangkah lagi aku mengantongi Izin Mustika. Kalaupun tidak, kita akan tetap menikah. Hidupku hampa tanpamu Bee.” Max meyakinkan Margareta, gombalan demi gombalan akhirnya meluluhkan perempuan itu lagi dan lagi.
Dua kali Margareta mencoba kabur dari Kalimantan, dua kali pula perempuan itu tertangkap. Kini berkat bantuan sang paman. Margareta berada di pelabuhan ini, pulang melalui jalur laut. Mustika dan Max tidak akan memperkirakan Margareta pulang menggunakan jalur laut. Terlebih saat margareta memalsukan identitasnya serta berpenampilan berbeda.
Lamunannya harus berakhir kala tidak sengaja perempuan itu bertatapan dengan pria berambut ikal. Lelaki itu beberapa kali mengambil gambarnya. Seketika dia ketakutan, hal seperti ini sudah sering terjadi sejak perselingkuhan dirinya dengan Max mulai terbongkar. Siapa saja berlomba mengabadikan setiap momen. Lalu foto-foto yang didapatkan dijadikan alat untuk menjilat istri Max yang kesepian.
Margareta melotot. Pria berambut ikal itu seketika menunduk salah tingkah. Persis seorang siswa yang ketahuan mencontek oleh gurunya. Buru-buru Margareta memakai kembali kaca mata hitamnya, pemandangan terakhir yang dia lihat sebelum berpaling adalah lelaki berambut ikal yang membungkuk minta maaf karena menabrak seorang petugas.
Kapal yang akan segera merapat dan bersandar di pelabuhan sudah terlihat, Margareta tidak sabar. Dia ingin memulai kembali hidupnya yang telah berantakan. Di tanah Jawa, tanah di mana seharusnya dia berpijak.
***
Dean dan Valen
Dean menghidu aroma segar yang bercampur bau garam. Baginya aroma khas yang lebih dulu tercium sebelum melihat deburan ombak dan hamparan pasir pantai itu merupakan jembatan kenangan yang tak bosan dia lalui.
Interaksi orang-orang yang menantikan bersandarnya kapal mencuri perhatian Dean. Lelaki itu menikmati momen tersebut seraya menikmati sebungkus gorengan yang dibungkus koran bekas. Tahu isi dan juga bakwan sebagai ganjal perut untuk dua puluh jam perjalanan yang akan dia tempuh.
Pria berambut ikal di depannya antusias memotret dengan gawainya. Diacung-acungkannya benda pipih dengan case berwarna kuning norak itu di udara. Mungkin memotret awan, memotret kawanan burung yang melintas di udara. Bagi Dean, tindakan lelaki itu sungguh amat ceroboh, bagaimana jika ada yang menjambret telepon selularnya? Lalu lari di tengah kerumunan calon penumpang. Menangislah dia. Pasti.
Pengamatannya beralih pada perempuan berwajah sendu. Rambutnya yang agak panjang berkibar dibelai angin, diam-diam Dean menyaksikan lelaki berambut ikal tadi memotretnya. Senyumnya terbit kala melihat gugupnya lelaki itu karena ketahuan.
Dean seorang laki-laki yang gemar berpetualang, berlibur dengan gaya backpaker sudah dia lakoni sejak drop out dari perguruan tinggi. Hobinya mengeksplor destinasi wisata di pelosok Indonesia. Tidak lupa perjalanannya dia tuangkan dalam tulisan di blog pribadinya. Tulisan Dean selalu ditunggu-tunggu para pembaca yang haus informasi. Mereka yang biasanya butuh Tips bagaimana caranya berlibur dengan budget yang minim.
“Mas, sudah sering naik kapal?” Lelaki berbaju kuning tiba-tiba bertanya, sontak Dean menoleh. Dia melirik bungkus gorengan yang dipegang Dean, “Memang bisa ya makan dulu sebelum bepergian? Gak takut muntah?”
Dean memasukkan sepotong tahu ke dalam mulutnya, “Gak masalah, gak pernah mabuk kendaraan.”
“Enak banget, belum apa-apa gue sudah mual.” Pemuda itu mengeluh, ekspresinya lucu, terlihat jelas bahwa sosok mungil itu tidak pernah pergi jauh.
“Coba lupakan dan bayangkan hal yang indah-indah, supaya pikiran lo teralihkan, bisa saja itu terjadi karena sugesti.” Dean memasukkan sisa gorengan ke dalam tasnya. Dia lalu membersihkan tangan dengan tisu basah.
Pemuda itu mendesah, Dean melirik dengan ekor matanya. “Cemen banget!” bisik batin Dean.
“Di sini.” Pemilik lesung pipi itu menepuk tas hitam bersulam huruf V, “nyokap masikin banyak sekali perbekalan, kantong kresek, minyak kayu putih, sama permen mint. Sayang beliau gak bisa antar.”
Kedua tangan Dean dibiarkan menopang dagu, sesekali melirik lelaki yang terus-terusan ngoceh, poninya dengan liar menutupi kening hingga mata. Gerakan memperbaiki poni menjadi pemandangan menjengkelkan untuk Dean, setidaknya jika rambut itu mengganggu harusnya potong pendek saja.
“Eh, Mas, sory, gue jadi ngelantur. Gue sebenernya gugup, pertama kali pergi jauh seorang diri, naik kapal pula.” Valen sedang asik menikmati boat yang tampak mengecil di kejauhan tiba-tiba tersadar, bisa saja lawan bicaranya itu terganggu dengan ocehannya.
“Santai, Bro, nama gue Dean, panggil Dean saja jangan pake Mas, lo?” Lelaki itu menyodorkan tangannya.
“Valen,” sambut Valen.
Dua lelaki itu langsung akrab, mereka terlihat seperti sudah saling kenal sejak lama.
“Dean, lihat bapak itu,” tunjuk Valen wajahnya tetap menunduk, hanya tangannya saja yang memberi isyarat pada Dean.
“Gue tahu,” jawab Dean. “Sejak gue duduk di sini itu orang ngeliatin terus.”
“Risih gak sih?” Valen bertanya, pengalaman pertama melakukan perjalanan jauh membuatnya sedikit parno.
“Biarin aja, jadi lo dapat beasiswa?” Dean berusaha mengalihkan topik obrolan.
Valen mengangguk, pemuda yang selalu riang itu lantas bercerita, meski Dean tidak sepenuhnya mengerti apa yang dia ceritakan. Mata lelaki itu tetap awas, waspada karena lelaki berseragam petugas itu berkali-kali menatap keduanya lekat-lekat.