Bab 15. Sadar Akan Status

1101 Kata
Selamat membaca! Setelah Bima benar-benar keluar dari apartemen, Nathan segera berlari menaiki anak tangga untuk menuju lantai dua. Pria itu berjalan dengan perlahan sembari memikirkan perasaan yang saat ini ia rasakan di dalam hatinya pada Dania. "Aku nggak bisa terus menerus memikirkan Dania! Bisa-bisa pekerjaanku hancur karena perasaan ini, sepertinya mulai sekarang aku harus membatasi diri biar nggak terlalu sering bertemu Dania. Pokoknya, perasaan ini harus bisa aku hilangkan!" Setibanya di depan pintu kamar, dengan penuh keraguan Nathan mulai melangkah masuk ke dalam kamar. Pikirannya masih kalut karena perasaan yang dirasakannya saat ini. "Kira-kira malam ini aku tidur sama Dania atau tidur di kamar yang lain, ya? Kalau aku tidur bersamanya di sini, nggak mungkin juga aku memaksa dia buat layani aku, apalagi kondisi Dania lagi seperti ini." Nathan mengesah kasar. Namun, pria tampan itu tetap membuka pintu kamar, walau pikirannya masih dipenuhi keraguan. Tiba-tiba saat pintu kamar mulai sedikit terbuka, Nathan terhenyak ketika mendengar suara tangisan Dania yang begitu memilukan hatinya. "Ternyata Dania sudah sadar? Terus kenapa dia menangis? Apa ada rasa sakit yang ia rasakan?" Nathan terus bertanya-tanya dalam hati. Rasa cemas terhadap Dania mendorongnya untuk melangkah masuk setelah beberapa detik hanya diam mematung di depan pintu. Pria itu tak dapat menahan diri untuk menemui Dania, terlebih saat tangisannya terdengar semakin terisak. Nathan mempercepat langkah kakinya menuju ranjang besar yang ada di depannya. Kedua matanya langsung menatap dengan penuh rasa empati pada sosok wanita yang saat ini duduk meringkuk sambil terus menangis. "Dania, kenapa kamu nangis?" tanya Nathan dengan lembut sembari mengusap pucuk kepala wanita itu. Kedua mata Dania yang semula terpejam erat, kini terbuka lebar saat mendengar suara Nathan yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya. Wanita itu pun segera bangkit dan memeluk tubuh Nathan dengan begitu eratnya. "Than... aku takut. Tolong jangan tinggalin aku sendirian!" Wanita itu memohon dengan terisak. Nathan pun spontan membalas pelukan Dania dengan melingkarkan tangannya pada tubuh wanita yang saat ini terlihat sangat rapuh. "Kenapa kamu harus melakukan itu, Dania? Kamu tahu nggak, sekarang polisi lagi nyari keberadaanmu setelah melihat CCTV yang ada di bar!" ucap Nathan sambil mengusap punggung Dania, berharap pelukannya dapat sedikit meredakan kesedihan wanita itu. Perkataan yang terlontar dari mulut Nathan, membuat Dania seketika melepaskan pelukannya. Kedua bola matanya yang begitu basah oleh bulir kesedihan kini menatap dalam wajah pria yang berada di hadapannya. "Kenapa kamu bisa tahu masalahku di bar tadi?" tanya Dania heran. Nathan tersenyum tipis karena pertanyaan Dania. "Oh ya, kamu tadi pingsan makanya sampai nggak tahu. Jadi, kamu itu pulang diantar Bima. Dia sahabatku dan dia sudah menceritakan semuanya tentang apa yang terjadi di bar. Awalnya aku kaget karena kamu bisa seberani itu, tapi setelah aku pikir lagi mungkin kalau aku berada di posisimu, hal yang lebih di luar akal sehat bisa kulakukan." Dania terhenyak dengan apa yang dikatakan Nathan. Ia tak menyangka bila pria yang menolongnya di bar adalah sahabat dari pria yang menjadi teman tidurnya. "Benar Bima sahabatmu? Tapi kenapa dia harus menceritakan semua masalahku sama kamu?" tanya Dania protes. "Ya, dia sahabatku sejak masih sekolah dulu. Dia cerita karena aku memaksanya. Lagian juga dia minta aku buat nolong kamu biar kamu bisa bebas dari kasus kekerasan yang udah kamu lakuin sama Vano." Dania mengerutkan keningnya begitu dalam dengan rasa penasaran yang berputar-putar di dalam pikirannya. "Terus kamu jawab apa?" tanya Dania menatap tajam wajah Nathan. "Apalagi ... ya, aku nggak bisa berbuat apa-apa!" jawab Nathan sembari mengedikkan kedua bahunya. "Memang menurutmu aku bisa apa buat nolong kamu?" Dania terdiam dan hanya termangu meratapi jawaban yang Nathan katakan padanya. Ia saat ini sudah sangat pasrah dengan hukuman yang akan ia dapat atas tindakan yang telah dilakukannya. "Nathan aja nggak bisa nolongin aku, sepertinya ini adalah akhir dari hidupku. Hidup yang aku pikir akan indah dengan kemewahan ini, tapi malah berakhir di dalam penjara karena kebodohan yang sudah aku perbuat," batin Dania dengan sorot mata yang sendu. Kedua kaki wanita itu tiba-tiba terasa begitu lemah hingga membuatnya kembali terduduk di tepi ranjang sambil menghela napas yang terasa menghimpit dadanya. Dania kembali bangkit dari posisi duduknya dan mendekat ke tubuh Nathan dengan menampilkan raut wajah yang manja. "Than, tolong aku! Pokoknya aku nggak mau di penjara? Apa aku salah kalau membalas rasa sakit hatiku dengan melukainya?" Nathan bersedekap dengan kedua alisnya yang saling bertaut. "Ya, kenapa kamu harus melakukan itu, apa nggak ada cara lain buat membalasnya?" Dania mencebik sedih dengan wajah yang masam dan seketika kembali tertunduk penuh penyesalan. "Maafin aku! Aku menyesal, tapi memangnya apa yang bisa aku lakukan selain memukul kepalanya. Dia itu udah selingkuh sama sahabatku sendiri, mereka berdua benar-benar nggak punya hati karena tega mengkhianatiku!" Nathan mengesah kasar, ia memasang wajah datar seolah acuh dengan kesedihan Dania saat ini. "Aku nggak mau ikut campur dengan kasus yang kamu buat ini." Nathan mengedikkan bahunya sembari melangkah kakinya dan duduk di sofa yang berada di dalam kamarnya. Dania pun semakin terisak dengan sikap Nathan yang seolah tak mempedulikannya. Namun, ia tak menyerah, wanita itu kembali menghampiri Nathan dan menarik kedua tangan Nathan hingga pria itu kembali berdiri. Dania langsung memeluk tubuh Nathan dengan erat sambil terus memohon belas kasihan Nathan agar pria itu mau menyelamatkannya dari jeratan hukum yang saat ini mengintainya. "Bantu aku, aku mohon! Memangnya apa alasanmu sampai nggak mau bantu aku? Kenapa kamu seolah-olah nggak peduli dan nggak mau tahu dengan kesedihanku? Lalu apa tujuanmu datang ke sini? Apa kamu datang hanya untuk seks aja?" Nathan melepaskan dekapan Dania yang masih memeluknya dengan erat. Pria itu kemudian menangkup kedua lengan Dania dan menatap wajah wanita itu dengan sorot matanya yang tajam. "Kamu tahu 'kan, aku sudah membayarmu mahal? Jadi, aku berhak datang ke sini kapan pun saat aku ingin bercinta denganmu! Sekarang aku datang hanya untuk menikmati tubuhmu, bukan harus kamu pusingkan dengan urusanmu ini. Lagi pula semua itu salahmu, harusnya kamu berpikir lebih dulu apa akibatnya sebelum melakukan sesuatu. Jadi, sekarang karena semua sudah terlanjur terjadi, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatan yang telah kamu lakukan!" Perkataan Nathan sungguh sangat melukai hati Dania. Wanita itu pun semakin sulit menahan rasa sakit di dalam hati. Tubuhnya bergetar dengan rasa sesak yang begitu menghimpit d**a. Dania menangis semakin terisak. Namun, beberapa saat kemudian ia tersadar akan maksud perkataan yang Nathan katakan padanya. Sambil menghapus air mata pada kedua pipi dengan jemarinya, Dania langsung menatap Nathan dengan raut sendu. "Betul kata Nathan, aku ini hanya teman tidurnya alias wanita yang dia bayar. Aku bukan wanita yang berarti buatnya selain hanya pemuas nafsunya saja, nggak akan lebih Dania!" Dania berkata pada dirinya sendiri. Menyadarkan posisinya di mata Nathan seperti apa, sesuai dari perkataan yang pernah ia dengar dari pria itu. Bersambung✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN