Selamat membaca!
Baru saja kedua kakinya menuruni setengah anak tangga. Tiba-tiba suara Bima mulai terdengar keras.
"Nathan, cepat kau turun atau aku akan tidur di kamar Dania!!"
"Argh ... dasar nyebelin! Dia itu selalu saja penasaran sama urusanku. Lihat aja kau Bim! Setelah aku tahu apa yang terjadi sama Dania, aku akan langsung mengusirmu jauh-jauh dan aku pastikan kalian nggak akan bisa ketemu lagi!" Nathan semakin mempercepat langkah kakinya, menuruni anak tangga terakhir lalu mulai berjalan menuju ruang tamu untuk menemui Bima.
Gerak-gerik Nathan tak luput dari pandangan Bima yang terus menatapnya dengan sorot mata tajam.
Tak lama kemudian, Nathan mulai mendekat ke arah ruang tamu di mana Bima telah menunggunya dengan bersedekap dan tersenyum penuh sindiran.
"Ternyata dugaanku benar, Dude. Kau itu sangat mencintai Dania sampai menghamburkan uang sebanyak ini. Kau bukan hanya membelikan dia apartemen mewah, tapi kau juga memberinya mobil dan juga credit card, belum lagi yang lainnya yang aku nggak tahu. Ternyata kau bisa begitu royal sama wanita kalau sedang jatuh cinta." Bima terkekeh puas karena mengetahui sosok wanita yang telah disembunyikan oleh sahabatnya. Seorang wanita yang telah berhasil memikat hati seorang Nathan yang terkenal dingin dan sangat takut akan sebuah komitmen pasca ditinggal tunangannya.
Nathan tersenyum sinis melihat sahabatnya itu tertawa puas saat mengejeknya, ia memilih duduk di sofa yang bersebrangan dengan sofa yang diduduki oleh Bima.
"Cih! Jangan asal menduga-duga, Bim. Aku dan Dania nggak ada hubungan lebih selain urusan ranjang. Kami berdua nggak saling mencintai dan dalam hal ini baik aku juga Dania nggak menggunakan hati saat kami bercinta. Memangnya kau, Bim, yang terlalu mudah jatuh cinta sama wanita sampai nggak bisa dihitung pakai jari berapa kali kau patah hati karena ditinggal nikah!" Ledekan Nathan tak kalah pedas dan tajam hingga Bima tersindir.
Raut wajah Bima pun seketika meredup saat mengingat akan nasib percintaannya yang selalu berakhir tragis, terlebih di saat ia sudah benar-benar mencintai dengan tulus wanita itu. Entah kenapa kisah cintanya tidak seberuntung kariernya dalam dunia bisnis yang selalu gemilang. Pria itu pun menyembunyikan raut kesedihan di hadapan Nathan.
"Munafik kalau kau nggak cinta sama Dania, dia itu cantik loh, seksi, dan sepertinya dia sangat pintar memuaskan laki-laki di atas ranjang sampai-sampai pesonanya mampu memikat hati seorang Nathan yang angkuh dan arogan! Aku saja hampir jatuh cinta sama dia karena selain cantik, Dania juga wanita yang berani dan tidak lemah."
Perkataan Bima membuat amarah Nathan membumbung tinggi. Rahangnya kini mengeras dengan sorot mata yang tajam, menatap wajah asistennya itu.
"Aku peringatkan padamu, Bim! Jangan pernah coba-coba jatuh cinta sama Dania! Sekarang cepat katakan, apa yang terjadi padanya!? Kenapa sampai sekarang dia masih belum juga sadar?"
Bima tersenyum tipis, walau terlihat samar hingga Nathan pun tak dapat melihatnya.
"Kemarahannya sudah cukup menyimpulkan bahwa di dalam hatinya, memang ada cinta untuk Dania, tapi dia cuma gengsi mengakui di depanku," batin Bima seakan sudah menemukan jawabannya.
Bima pun mulai bercerita pada Nathan dengan santainya. "Aku ketemu Dania di Bar yang biasa kau datangi, Than. Di sana aku melihatnya memesan dua botol wine dan terus meracau. Aku sempat berkenalan dengannya, lalu dia pergi meninggalkan meja bar untuk kembali pulang. Saat Dania hendak keluar bar, dia berpapasan dengan seorang pria bernama Vano, aku mendengar bahwa pria itu adalah mantan kekasihnya dan mereka putus karena pria itu ternyata punya hubungan dengan sahabat Dania sendiri, kalau tidak salah namanya Dian."
Nathan yang mendengar dengan seksama, kini mulai teringat akan pertemuan pertamanya dengan Dania yang kala itu terlihat sangat menyedihkan karena baru diputusin Vano.
"Sesuai dugaanku, terus apa yang pria sialan itu lakukan sampai Dania seperti itu?" tanya Nathan dengan kedua tangan yang mengepal erat.
"Mereka berdebat keras dan di luar dugaanku, Dania memukul kepala Vano pakai botol wine sampai pria itu pingsan dan lukanya cukup serius karena pria itu kehilangan banyak darah atau mungkin pria itu sudah mati."
"Apa mungkin Vano meninggal? Terus bagaimana bisa kau mengantar Dania pulang? Lalu apa yang membuat Dania sampai pingsan seperti itu?" Sederet pertanyaan terlontar dari mulut Nathan dengan kedua mata yang sudah memerah karena begitu kesal pada Vano.
Bima mengedikkan bahunya, tanda ia tak mengetahui atas pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Nathan, lalu Bima kembali menjelaskan segala sesuatunya agar pria itu tak kembali bertanya padanya.
"Aku kan baik, Than. Aku berniat menolongnya dan mengantarkan Dania pulang karena dia panik dan mabuk saat di parkiran, tapi sorry, aku bawa mobilnya terlalu cepat sampai dia muntah-muntah dan pingsan."
"Sialan kau, Bim! Ternyata karena ulahmu Dania jadi seperti itu!" geram Nathan sambil melempar sebuah majalah yang telah diambilnya dari atas meja kepada Bima dengan cukup keras.
Bima pun dengan cepat menghindar sambil terkekeh kecil. "Sabar, Than! Kan yang penting dia selama sampai ke apartemen. Oh ya, ada satu hal penting yang harus kau tahu ...." Raut wajah Bima tiba-tiba kembali serius.
Nathan mengangkat kedua alisnya secara bersamaan. "Apa lagi?"
Sorot mata Bima menajam dengan kedua tangan yang saling bertaut, tanda ia cukup cemas atas masalah yang sedang menimpa Dania. "Wanita yang ada di bar itu menghubungi polisi. Saat kami keluar dari parkiran, tak lama kemudian mobil polisi datang. Menurutku, kemungkinan besar, polisi akan mendatangi apartemen ini untuk mencari Dania karena saat kejadian itu ada banyak saksi mata dan juga terekam CCTV. Aku juga lupa jika plat mobil Dania pasti akan sangat mudah dilacak polisi."
Kedua alis Nathan saling bertaut dengan kening yang mengerut dalam. Senyum tipis pun perlahan terbentuk dari sebelah sudut bibirnya. "Itu hal sepele, Bim. Kalau begitu hari ini aku nggak pergi ke kantor dulu karena aku akan menemui polisi yang datang ke sini. Kau uruslah semua pekerjaanku di kantor dengan baik selama aku nggak ada!"
Bima mengangguk. "Itu hal mudah, Than. Aku titip Dania ya, jaga dia baik-baik!" ucapnya mengikuti perkataan Nathan.
Nathan kembali melempar sebuah majalah lainnya ke arah Bima. Namun, kali ini tidak sampai mengenai dadanya karena pria itu dengan cekatan mampu menangkapnya.
"Sudah kuperingatkan, jangan macam-macam pada wanitaku!" ucap Nathan kembali mengingkatkan.
"Ya, aku akan mengingatnya. Oh ya, nanti kalau Oma Gina datang ke kantor, aku akan bilang kamu lagi ngurusin Dania, ya?"
Nathan menampilkan raut wajah penuh ancaman dengan rahang yang mengeras.
"Jangan macam-macam kau, Bim! Jangan beri tahu masalah Dania sama Oma! Aku nggak mau Oma sampai tahu tindak kriminal yang Dania udah lakuin di bar tadi."
"Kau harus ingat, Nath. Oma Gina itu punya banyak anak buah buat memata-matai, cepat atau lambat dia pasti akan tahu semua hal tentang Dania, apalagi kau bukan hanya menghabiskan waktu satu malam bersama Dania, 'kan? Ya, sudah pasti Oma mengira jika kau dan wanita itu punya hubungan lebih!"
Nathan menetralkan raut wajahnya dengan kembali menatap Bima dengan raut datar. "Kau tenang saja, urusan Oma biar aku yang urus, kau cukup bilang nggak tahu apa-apa soal Dania, oke!"
"Oke, Than. Sekarang tunjukkan di mana kamarku? Aku lelah, ingin tidur sebelum ke kantor."
Nathan membulatkan kedua matanya. "Di sini nggak ada kamar lagi, apalagi buat kau tiduri, carilah hotel atau kembali ke apartemenmu sendiri!"
Bima terkekeh semakin puas karena lagi dan lagi, ia berhasil meledek sahabatnya itu.
"Nathan, Nathan, kau itu sensi sekali malam ini. Apa kau kesal karena aku sudah tahu apa yang kau sembunyikan soal wanita yang jadi teman tidurmu atau kau cemburu saat Dania aku peluk tadi?"
Nathan berdecih kesal.
"Omong kosong! Cepat pergi, Bim! Aku butuh istirahat."
Bima seakan tak lelah, ia kembali meledek Nathan yang terlihat semakin geram dengan perkataan Bima, terlebih saat ini ia ingin segera kembali ke dalam kamar untuk melihat keadaan Dania.
"Sejak kapan robot butuh istirahat?" Bima kembali tertawa puas.
Nathan yang mulai jengah dengan sikap Bima akhirnya menarik lengan asistennya, untuk membangunkan dari posisi duduknya, kemudian Nathan mendorong tubuh Bima hingga keluar dari apartemen. "Sekarang tertawalah sepuas-puasnya di depan pintu!" Nathan langsung menutup pintu apartemen dengan cepat hingga membuat Bima geleng-geleng kepala dibuatnya.
"Dasar, Nathan! Dari dulu sikapnya nggak pernah berubah," geram Bima atas pengusiran yang dilakukan oleh Nathan. Namun, pria itu malah tersenyum atas apa yang ia lihat karena pada akhirnya sahabatnya sudah menemukan seorang wanita yang dicintai. "Tapi nggak apa-apalah, yang penting Nathan kelihatan bahagia. Aku rasa dia udah bisa melupakan Reina dan ngebuka hatinya lagi buat yang namanya cinta."
Bima pun melangkah menyusuri lorong apartemen untuk menuju sebuah lift yang berada di ujung sana.
Bersambung✍️