“Kamu seharusnya menghubungiku lebih dulu.” Mahesa berusaha mengalihkan penyesalan dan rasa bersalahnya dengan kalimat bernada tegas. “Maaf.” Ziya menunduk kembali. Denyut sakit hati dan sakit di dahi berlomba memengaruhi diri untuk membuat keputusan apakah ia harus tetap tinggal atau melangkah pergi. “Jika sesuatu terjadi pada kalian—“ “Itu akan jadi tanggung jawabku,” potong Ziya, “aku tahu itu, Mas.” “Kamu tahu tapi masih pergi tanpa izin.” Ziya mengangkat kembali pandangannya. Kekesalannya telah memuncak. “Aku sudah minta maaf. Kenyataannya, tidak terjadi apa pun pada Essa. Mas seorang pengacara. Mas tahu harus melakukan apa jika putri Mas terluka karena aku.” “Kamu pun tahu kamu harus melakukan apa kalau kamu terluka karena aku?” tantang Mahesa menyadari sindiran Ziya lantaran