Shock

2051 Kata
"Bang! Udah makan? Bi Eem udah beres masaknya tuh!" teriak Sisil di luar kamar Angga. Angga yang baru selesai mandi mengerutkan alis matanya mendengar teriakan Sisil lalu menggeleng sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Kelakuan adiknya tidak pernah berubah selalu toa dan parahnya petakilan. Bibir Angga mendengus pelan saat mendengar rengekan Adiknya di luar yang menyuruhnya untuk segera keluar untuk makan. Angga sadar, bahwa sikapnya satu tahun belakangan membuat adiknya merasa kehilangan. Tetapi rasa kehilangan kepada kedua orang tuanya benar-benar menyiksa perasaan laki-laki itu. Secuek-cueknya angga selama setahun ini, bkan berarti dia membiarkan sekolahnya Sisil atau semacamnya. Begitu juga Angga masih memerhatikan dan terkadang dengan diam-diam Angga ke sekolah Sisil hanya untuk menanyakan gimana Sisil kalau di sekolah. Dan Angga akui bahwa dirinya merindukan adik kecilnya yang sekarang sudah besar. Sebagaimana rasa gengsi laki-laki tersebut masih tinggi dan rasa kesalnya kepada Sisil masih besar, jadi untuk mengakrabkan diri saja Angga harus berfikir untuk yang kedua kalinya. Karena ia tidak ingin mengingat kenangan masa lalunya yang mampu membuat Angga benci dengan adik bungsunya itu. "Berisik!" teriak Angga dari kamar. Sisil diam tidak menggedor-gedor lagi pintu kamar Angga. Sisil mengerucutkan bibirnya lantas berucap dengan nada yang terkesan membentak, "BIASA AJA KALI! GUE KAN CUMA NGAJAK LO MAKAN DOANG!" Teriak Sisil sebari menendang pintu kamar laki-laki itu. Iya, Angga masih belum tahu dengan kestabilan mental Sisil selama ini, wajar saja bukan bahwa gadis itu terpancing emosi akibat sentakan Angga? Tanpa di duga Angga membuka pintu kamarnya, memasang raut wajah marah ke arah Sisil. “LO GAK PUNYA ADAB YA SIL! DI DIEMIN MAKIN JADI AJA LO,” bentak Angga tidak terima dengan sikap tidak sopannya Sisil barusan. Sisil menoleh, menbalas tatapan Angga dengan berkacak pinggang, “WOW! AKHIRNYA LO KELUAR JUGA YA BANG? MASA IYA KITA HARUS ADU BACOT DULU BARU LO NGERESPON GUE? UDAH KAYA BINATANG AJA KITA BERDUA,” “ANJING LO!” Bersiap untuk menampar pipi mulus Sisil, namun tertahankan dengan tangan David yang sudah memegang lengannya. David cepat tanggap? Sure! Karena laki-laki itu langsung berlari menghampiri mereka berdua saat Sisil sudah teriak-teriak sebari menendang pintu kamar Angga. Angga melirik ke arah David, “Gak usah ikut campur urusan gue sama dia,” Celetuk Angga sebari melepaskan lengannya dari genggaman David. David hanya diam, menatap Angga dengan raut wajah datar. “KENAPA GAK JADI NAMPAR GUE? TAMPAR NIH TAMPAR!” Teriak Sisil lagi sebari memukul pipinya sendiri dengan tangannya. Melihat Sisil yang sudah bersikap berlebihan seperti itu, David langsung memegang gadis itu erat agar tidak menyakiti dirinya. Angga yang melihat kelakuan adiknya tersebut hanya berdesis pelan, “Gila lo lama-lama,” Ucapnya singkat kemudian masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu kencang. “LEPASIN GUE! HEH BANG! SINI LO! SELESEIN URUSANNYA! NGATAIN GUE GILA! IYA EMANG GUE UDAH GILA GARA-GARA LO b*****t!” Teriak Sisil dengan perasaan yang tidak terima. “Sil! Lo apaan sih!” Gadis itu berusaha melepaskan diri dari David, “Gak usah ikut campur lo nyet!” Setelah berhasil lepas dari pegangan David, Sisil langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya langsung. Jelas, dengan kamar yang tadinya rapih tidak berantakan sekarang sudah tidak karuan dengan kamar yang sudah Sisil acak-acak. “AARGHHHH!!! ANJING LO NGGA!! b*****t!!!” Teriak Sisil yang melimpahkan emosinya seorang diri di dalam kamar. Gadis itu mencari silet kecil di tempat biasa ia taruh di laci, akan tetapi silet tersebut tidak ada dI tempat. Alhasil Sisil menendang-nendang kakinya ke arah tembok, tentunya melampiaskan semuanya di sana. Tidak peduli jika kaki mulusnya membiru dan mengeluarkan darah serta luka seperti di lengannnya. Hanya dengan cara ini Sisil akan lega dan emosinya tersalurkan. Sedangkan David yang sedari tadi berusaha untuk membuka pintu dan memastikan bahwa Sisil baik-baik saja, yang ada nihil. Tidak ada yang bisa ia lakukan, sampai pda akhirnya Bi Eem yang sudah datang terburu-buru menghampirinya dengan ekpresi panik. “Den, mending tolong di dobrak aja pintunya,” Ucap Bi Eem yang sudah gelisah. “Emang kenapa Bi?” Tanya David bingung. Terlihat Bi Eem seperti ragu untuk menjelaskan atau mengatakan yang sebenarnya kepada David, sampai mereka mendengar suara Sisil yang berteriak dan membanting barang-barang di kamarnya lagi. Akhirnya Bi Eem memutuskan untuk memberitahu kepada David. “Non Sisil kalau udah marah kaya gini, suka nyakitin diri sendiri Den. Bibi takut kalau gak ada yang nyadarin kaya Non Nabil malah parah,” Mendengar tuturan Bi Eem seperti itu, tanpa pikir panjang David pun langsung mendobrak pintu kamar Sisil. Hanya butuh waktu lima menit, akhirnya pintu tersebut terbuka. Dan yap! Pemandangan yang mengerikan itu masuk ke indera Pengelihatan David. Kamar yang sudah berantakan seperti kapal pecah, Sisil yang sudah tidak berupa keadaannya akibat emosi yang berlebihan. Di tambah lagi, kaki kirinya yang sudah terbalur darah merah segar di sana dan itu membuat David bergidik ngeri melihatnya. Untuk yang pertama kalinya, David melihat sisi gelap Sisil yang baru saja di perlihatkan oleh gadis itu. ••••••••••••••••••••• Keheningan menyelimuti makan malam saat ini, padahal di pikiran Sisil dari tadi bahwa makan bersama malam ini akan menyenangkan karena ada Angga di rumah. Tapi ternyata harapannya nol besar karena ia dan Angga sempat berantem seperti bisanya, di tambah lagi David yang melihat saat dirinya sedang kambuh. Double sial memang. Hanya ada dentingan sendok dan garpu yang beradu, David sibuk dengan makanannya begitu juga Angga. Sisil mendengus dan menaruh kasar sendok yang ia gunakan, menimbulkan suara yang berhasil membuat David dan Angga memberhenikan aktifitasnya dan menatap ke arah Sisil datar. David melirik sekilas ke arah Angga lalu melihat ke arah Sisil lagi, “Kenapa?” nada suara David yang pelan membuat Sisil diam terpaku dan sadar dengan apa yang ia lakukan tadi. Bodoh! Batinnya. Sisil melihat ke arah Angga yang sedang menatapnya datar. Ekpresi yang satu tahun ini selalu ia pakai. Kakanya sekarang bukan lagi kakaknya yang ramah ataupun yang mudah senyum lagi. Angga berubah seratus delapan pulu derajat. Angga yang ia kenal dulu sekarang menjadi Angga yang dingin dan beku. Sisil tersenyum kikuk lalu menggeleng, david mengangguk mengerti. Sedangkan Angga hanya menggeleng lalu beranjak dari bangku. Memilih tidak menyelesaikan makan malam bersama. Sisil melihat ke arah Angga yang Sudah berjalan menaiki tangga dengan senyuman samar di wajahnya. “Makan aja,” Suruh David tanpa melihat ke arah Sisil sedikit pun, Sisil menoleh gadis itu hanya diam tidak menjawab ucapan laki-laki yang ada di sebelahnya. Sisil menuruti perkataan Angga, mencoba untuk menikmati makan malam berdua dengannya. Sebenarnya rasa malu di dalam diri Sisil itu masih ia rasakan sampai detik ini, bagaimana tidak? Setelah kejadian mengerikan tadi David lah tang menyadarkannya bahkan ia juga membersihkan semua luka yang ada di kakinya, begitupun Bi Eem yang juga membantu David. Sampai sekarang David masih belum bertanya apapun tentang dirinya dan kejadian tadi, munkin pikir Sisil. David masih memberinya waktu agar mencerna semua emosi dan kstabilan emosi yang ada di dalam diri gadis itu. “Sorry,” Ucap Sisil tiba-tiba sesudah ia baru saja selesai minum air mineralnya yang ada di atas meja. David menoleh, “Sorry untuk apa?” Gadis itu membalas tatapan David dan sedikit membenarkan posisi duduknya, “Sorry karena udah ngerepotin lo untuk hari ini,” David diam beberapa detik, lalu meminum air mineralnya sekilas dan kembali menatap ke arah Sisil. “Gue gak merasa di repotin lo kok,” Laki-laki itu menghela nafas kasar, “Cuma ada satu hal yang mau gue tanyakan ke lo,” “Kenapa sih? Gue perhatiin lo seneng banget nyakitin diri lo sendiri? Dari gigitin kuku yang lo lakuin hampir tiap detik bahkan tiap hari. Dan juga tadi?“ David melirik ke arah kaki Sisil yang sudah di perban olehnya tadi. “Malah kaki yang lo rusakin, kalau sampai tulangnya keluar gimana? Cari penyakit aja tahu gak,” Omel David yang jauh dari lubuk hatinya sekarang ia sedang khawatir. Sisil diam, pikirannya berkecamuk sekarang. Haruskah ini waktunya ia memberi tahu ketidak beresnnya mental gadis itu? Apa memang sudah semestinya David tahu tentang dirinya? Entahlah, mungkin iya. Tuhan memang sudah mentakdirkan hal itu. “Ada yang mau gue kasih tahu ke elo Dav,” Ucap Sisil serius dan itu cukup membuat David menatapnya dengan tatapan heran. Kenapa lagi sih? Batin David. Akhirnya Sisil pun membuka perlahan lengan kaos panjang yang ia gunakan. Menunjukan beberapa luka basah di sana. Dan David yang melihat itu hanya melongo dengan tatapan terkejut sekaligus tidak percaya. Bahkan David aja gak notice dan gak peka sama sekali dengan cara berpakaian Sisil selama mereka berdua kenal. Dengan dirinya yang tiap hari di sekolah sering memakai hoddie tanpa Sisil lepas sama sekali, di rumah juga sama terkesan lebih memakai baju lengan panjang, kadang memakai jaket ataupun hoddie juga. Kenapa David tidak sesadar itu sih? “Gue di diagnosis bipolar dan depresi Dav selama hampir satu tahun ini, gue gak tahu penyebabnya apa. Tapi ya ini lah gue, terlalu banyak trauma yang gue rasakan sekarang.” Jelas Sisil to the point. •••••••••••••••••••••• Selesai Sisil menceritakan semuanya kepada David, laki-laki itu memilih untuk pergi ke apotek untuk membeli beberapa obat luka dan plester kasa untuk luka Sisil. Banyak sekali sebenarnya pertanyaan yang ingin David tanyakan kepada gadis itu, namun sayang ia masih sesikit terkejut dengan fakta yang badu saja ia ketahui. Karena jujur, David merasa Sisil itu baik-baik saja dan sehat-sehat saja pikirnya. Di tambah lagi saat mereka berdua awal bertemu, Sisil tampak fine-fine aja kok. Namun faktanya? Itu bukanlah fakta yang benar. Bahkan dugaannya salah besar. Sisil terlalu banyak terpuruk dengan masalah masa lalunya sendiri sehingga membuat dirinya terperangkap dengan mental yang tidak beraturan seperti itu. Dan pegangan hidup Sisil adalah Nabil semenjak ia kehilangan kedua orang tuanya sampai pada akhirnya pegangan Sisil pun meninggalkan gadis itu. “Dav?” Panggil seseorang sambil menepuk pelan bahu sebelah kirinnya. David menoleh, pandangannya bertemu dengan Reon yang juga kebetulan berada di apotek yang sama. Senyum laki-laki itu merekah, dengan bingkisan yang ia bawa Reon merangkul David dengan akrab. Sehumble itu Reon di matanya. “Kok lo di sini? Habis beli apaan?” Tanya Reon. David sedikit tersenyum simpul membalas senyuman laki-laki yang ada di sebelahnya, “Beli obat luka sama kasa plester Re, buat Sisil,” Mendengar nama Sisil Reon sedikit mengerutkan keningnya, sebagaimana detak jantungnya itu selalu tidak pernah berdetak lebih santai dari biasanya. Bucin banget memang. David membuang nafasnya pelan, “Sisil habis ngelukain kakinya sendiri gara-gara berantem sama bang Angga,” Jelas David jujur. Iya, ia tidak ingin menutup-nutupi yang ada. Karena percuma, penyakit mental terutama bipolar tuh gak bisa di tutupin. “Sisil kambuh lagi?” Tanya Reon dengan raut wajah serius. Tunggu? Apa katanya kambuh? Jangan-jangan? “Kok lo kesannya kaya tahu sih?” Tanya David balik dengan perasaan yang sudah kebingungan. Reon berdecak pelan melihat respon David yang seperri itu, iya, Reon baru ingat bahwa David belum mengetahui hal yang terjadi pada Sisil. “Ck! Lo belum di kasih tahu sama Sisil?” “Lah? Kok lo malah lempar pertanyaan ke gue?“ Cetus David. “Udah barusan, gue shock dia kena bipolar,“ Lanjutnya lemas. Reon diam tidak menjawab, laki-laki itu memandang David dengan tatapan datarnya. Dirinya juga pun tidak tahu harus bersikap seperti apa, karena ya memang seperti itu Sisil. Mau bagaimana pun juga penyakit mental gak gampang di sembuhin kan? Terlalu jangka panjang, apalagi harus banyak-banyak bisa memberi semangat orang-orang di sekitarnya agar Sisil cepat sembuh. “Terus, dengan lo yang baru tahu ini. Rencana lo sekarang apa? Ninggalin dia or tetep stay?” Tanya Reon tiba-tiba. David terkekeh pelan, “Ninggalin?“ Laki-laki itu tertawa kecil lagi. “Gak semudah seperti yang lo bilang,” “Sisil butuh orang buat bikin dia bangkit dari penyakitnya, bukan malah di tinggalin. Yang ada makin parah tuh anak,” Jawab David jujur. Ya iyalah gila! Orang-orang yang mengidap bipolar tuh sensitif semua. Kalau gak ada yang jagaiin atau yang nyadarin bisa bahaya banget! Reon mengangguk sambil tersenyum simpul, “So? You never leave her right?” David menoleh, menatap kedua manik mata coklat milik Reon. “Gak! Gak akan gue ninggalin dia dengan keadaan mental yang gak karuan. Dia pantes bahagia Re,” Lagi-lagi Reon tertawa kecil, “Lo bener Dav, lo bener kalau Sisil itu pantes bahagia.“ Ucapnya mantap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN