Perdebatan Angga dan Sisil

1440 Kata
Sisil keluar dari kamarnya setelah seharian ia tidur setelah pulang joging di pagi hari, Tenggorokannya merasa kering jadi ia memutuskan mengambil air putih di dapur. Dan tentunya untuk pergi ke dapur, Sisil harus melewati kamar kakaknya itu, saat melewati kamar Angga yang pintunya sedikit terbuka. Entah kenapa Langkahnya berhenti dan sedikit mengintip dari luar, sebagaimana beberapa tempo lalu dirinya sempat kambuh dan bersih tegang dengan Angga, tetap saja rasa penasaran nan kepo terhadap laki-laki itu masih tetap ada. Biasanya malam begini Angga akan sibuk dengan komputernya, mengerjakan tugas atau semacamnya yang tidak Sisil mengerti. Dan tahun ini, adalah tahun Angga meluluskan kuliahnya, dan akhir-akhir ini pun Angga sibuk dengan skripsinya. Tapi sekarang? Tidak tahu kenapa, dan tumben bangetnya, yang ada kamar Angga tidak ada siapa-siapa bahkan komputernya pun tidak menyala sama sekali. Sisil menghebuskan nafasnya kasar sebari sedikit mengerucutkan bibirnya. "Tumben banget?" Ujar Sisil ke diri sendiri. Akhirnya Tanpa pikir panjang Sisil berbalik arah, kembali berniat untuk pergi menuju ke dapur, namun sesudah menuruni anak tangga yang ia lewati, pandangan gadis itu menangkap sosok Angga yang sedang menonton tv di ruang tengah seorang diri. Kali ini kebingungannya bertambah, tidak biasanya juga ia mmenonton tv di ruang tengah sesudah meninggalnya bunda dan ayah, apalagi di kamar laki-laki itu ada tv. Satu tahun belakangan ini Angga lebih suka diam menyendiri di kamar di banding menonton di ruang tengah seperti yang sering Sisil lakukan setiap harinya. Sisil menggeleng menandakan tidak peduli dengan perubahan kakaknya, percayala ia tidak ingin kembali kumat seperti kemarin kalau dia hanya seorang diri saja untuk saat ini. Ayolah! Sisil tidak ingin melakukan di luar akalnya dan di luar sadarnya. Lantas ia segera pergi ke dapur dan mengambil segelas air putih, melanjutkan langkahnya tanpa memperdulikan Angga yang tengah asik seorang diri di sana. Keluar dari dapur dan berniat kembali ke kamar, rasa penasaram gadis itu kembali meruak sehingga mendapatkan Sisil sekali lagi menoleh ke arah Angga yang sekarang tertawa karena asik melihat kartun upin ipin. Sisil tertawa pelan lalu melangkah menghampiri Angga. Memang ini kedalahan dan penyakit yang Sisil cari sendiri kok. Tetapi tepat di belakang sofa, langkahnya berhenti. Ia sedikit ragu sekaligus Tidak yakin dengan rencananya yang berniat untuk mengajak Angga berbincang seperti sedia kala. Ia tahu Angganya yang dulu bukan Angga yang ia kenal saat ini. Dan sewaktu Sisil membalikan badannya, tidak tahu kenapa seperti ada gravitasi untuk duduk di sebelah Angga, dan dengan sikap nekadnya Sisil, Sisil kembali berjalan dan duduk di sebelah tubuh laki-laki tersebut. Angga yang tadi tertawa diam saat menyadari ada seseorang yang duduk disebelahnya. Lantas Angga menoleh saat matanya merekam bahwa Sisil ada di sampingnya sekaranb. Angga menghela nafas. Ada rasa kecanggungan di antara Angga sekarang jika berdekatn dengan gadi itu, memang Sisil kadang-kadang berusaha mengajaknya bicara hanya untuk mencairkan suasana dan itu cukup membuat laki-laki tersebut merasa risih akan kehadirannya. Angga tahu kenapa Sisil bersikap seperti itu, Sisil hanya ingin seperti dulu. Seperti sedia kala saat mereka masih lengkap. Saat bunda dan ayahnya masih hidup. Angga memejamkan matanya sebentar lantas bangkit dari duduknya berniat kembali ke kamarnya dan mengerjakan skripsi untuk 1 bulan ke depan. Sisil yang menyadari Angga yang menghindar seperti itu, muak dan tentunya kesal. Sisil tidak bisa terus seperti ini. Maksudnya ia membutuhkan kehangatan keluarga lagi. Sekarang hanya Angga yang ia punya bukan? Bahkan kedua orang tuanya dan Nabil pun sudah tidak ada. Dengan keberanian yang ia punya, Sisil menatap ke arah Angga. "kenapa sih!" Ujar Sisil dengan sedikit teriakan. “Kenapa sih lo selalu menghindar kalau gue deketin lo?!” Langkah Angga terhenti. Sisil menghela nafas. Baik lah ini waktu yang tepat untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia pendam. "Kenapa Bang? kenapa harus nghindar dari gue?“ Sisil masih duduk di sofa tapi menatap nanar ke arah Angga yang membelakanginya. Angga masih belum bersuara, dan itu cukup membuat Sisil menjadi geram dengannya. "Lo risih sama gue? Bilang dong ke gue! Bilang! Salah gue tuh apa sampek-sampek Bang Angga bersikap layaknya gak kenal sama Sisil......" Air matanya tidak bisa ia bendung, Sisil menangis tapi masih tetap berusaha mengutarakan itu semua "... Gue salah apa? Kecelakaan yang udah terjadi bukan berarti salah gue kan? Hanya karena gue yang selamat di hari itu,“ Suaranya parau, membuat Angga membalikan badan dan menatap Sisil. Hatinya tertohok melihat Sisil menangis, sorot mata yang menunjukan kehampaan dan kerinduan. Dengan gerakan reflek Angga berjalan mendekat ke arah Sisil. Tapi setelah itu langkahnya berhenti dan membuang muka, tidak mau menatap Sisil yang sedang menatapnya nanar di sertai air mata di pipinya. "Apasih yang ngebuat Bang Angga jadi gini hm?" Tanya Sisil dengan suara serak dan pelan “Dendam sama gue? Iya?” David mendongak "Sil?” Panggilnya. Kedua matanya menatap gadis itu datar, “Enough, semuanya udah gak kaya dulu lagi," jawabnya dingin. "Alasannya? Alasannya karena bunda sama ayah udah meninggal? di tambah lagi Nabil yang udah ninggalin ki-" " Sisil! " bentak Angga membuat Sisil diam dan tidak melanjutkan kata-katanya. "Jangan pernah lo berarap lagi tentang kehangatan keluarga yang kita punya dulu bakalan balik seperti semula, karena itu semuanya hilang dan selamanya gak akan pernah kembali," Sisil diam, menatap Angga dengan air mata yang terus mengalir, tidak menyangka bahwa Angga mempunyai pikiran yang sependek itu. Dia tidak sadar bahwa sebenarnya ia masih mempunyai satu keluarga yang masih mengharapkan kasih sayang dari dirinya. Sisil menghapus air matanya kasar lalu bangkit. "Pikiran lo emang pendek banget ya bang! Lo tuh sebenernya nganggep gue apa? Liat gue dong sekali-kali! Liat! biar sadar kalau gue jadi gila gara-gara kelakuan lo!” Teriak Sisil, Angga masih tetap menatap adiknya dengan tatapan datar tetapi perasaannya saat ini sebenarnya sama hancurnya seperti Sisil. " Gue! Sisiliya Ananta yang masih satu darah dengan Angga Raynanda. Di sini... " Sisil menunjukan lengannya kepada laki-laki itu. ".... Disini masih ada darah Bunda, Ayah dan lo, begiutu pun darah di tubuh lo! Dan gue masih keluarga lo lebih tepatnya adik kandung lo!... " Sisil menekankan ucapannya lalu diam, mengatur nafasnya. Dan setelahnya Sisil memaksakan senyuman untuk Angga. "Apa gue salah kalau gue pengin ngerasaiin kasih sayang lo lagi bang? Apa gue salah kalau gue berharap banget lo ngusik gue kayak dulu? dan apa gue salah kalau gue kangen sama lo?" suara parau dan air mata yang terus mengalir membuat Angga bungkam, matanya memerah dan membendung air yang berlomba-lomba ingin keluar. Sesudah itu Sisil meninggalkan Angga di ruang tv dan berencana keluar dari rumah. Tapi saat dirinya membuka pintu. Reon sudah berdiri di hadapan Sisil dengan tatapan sendu. Sisil terkejut dengan apa yang ada di hadapannya sekarang apalagi dengan tatapan Reon yang seakan-akan prihatin dengan Sisil, di dalam hati berharap Reon tidak mendengar semua percakapannya dengan Angga. Sisil mengahapus air matanya lalu tersenyum tipis. "Sejak kapan?" Suara serak keluar dari mulut Sisil, Sisil merutuki dirinya sendiri. Karena suaranya tidak bisa di ajak kompromi. Reon menghembuskan nafasnya kasar. "Lumayan lama, buat mendengar semua percakapan kalian berdua tadi," Jawab Reon jujur. Sisil diam, tidak bertanya lagi, tapi di situ sebenarnya ia merasa malu dengan Reon, malu dengan kejadian barusan. Sisil tertawa kecil. Tawa yang di buat-buat. Yang terlihat menjadi menyakitkan bagi Reon. "Gue mohon jangan ketawa... " Sisil menatap Reon lalu diam "... semakin lo ketawa dan nutupin rasa sakit lo, gue juga yang sakit," Kata laki-laki itu pelan. Sisil masih diam dan masih menatap kedua bola mata Reon. Bendungan-bendungan air mata itu masih ada di mata Sisil. Tanpa permisi Reon menyentuh pipi Sisil dan mengahapus air mata yang menetes. Setelah itu Reon menarik Sisil ke dalam pelukannya, memeluk Sisil kencang dan membiarkan Sisil menangis di pelukannya. Sisil yang menadapat respon seperti itu air matanya kembali tumpah, erangan tangis Sisil yang membuat Reon semakin sakit melihat sekaligus mendengarnya. Kedua pundak yang naik turun menandakan bahwa ia benar-benar menangis kencang di dalam dekapan Reon. “Nangis yang puas,“ Bisik Reon. Reon mencium puncak kepala Sisil, merasa sakit melihat gadis yang ia cintai sehancur ini. Namun ia merasa bangga di satu sisi karena Sisil bisa mengatur emosinya yang selalu tidak bisa ia kontrol. Tanpa diduga air mata Reon ikut menetes, dan pelukannya pun ia eratkan kembali, seakan-akan tidak mau melepaskan Sisil di dalam pelukannya. “Gak apa-apa nangis Sil, yang terpenting hari ini lo hebat. Karena lo baerhasil ngontrol emosi lo sendiri,“ Ucapnya bangga dengan senyuman tipis di bibirnya. Reon tahu bahwa beberapa bulan k edepan dan entah kapan akan meninggalkan Sisil. Dan Reon pun tidak bisa membayangkan bagaimana Sisil nantinya. Mereka memang baru beberapa hari dekat. Tapi Sisil yang selalu menganggap special kepada orang yang dekat dengannya . akan selalu Sisil pentingkan. Selalu. ••••••••••••••••••••••••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN