RENUNGAN NALEN

1755 Kata
“Kenapa bisa masuk rumah sakit gini sih?” Tanya David saat dirinya dan Nalen baru saja nyampai di rumah dakit dan sekarang mereka berada di koridor dan di depan kamar rawat Sisil. Melihat kedatangan kedua temannya itu Kevin mendongak, membiarkan David dan Nalen duduk bersebelahan dengannya. “Kata Reon kumat, Sisil lupa minum obatnya,” Nalen sedikit mengerenyitkan dahinya, sedikit kurang mengerti dan paham dengan apa yanh Kevin ucapkan barusan. Pandangan dirinya dan David saling beradu kembali namun hal tersebut hany beberapa detik saja karena mereka berdua kembali terfokus untuk menatap Kevin. “Kumat apaan? Dia sakit?” Tanya David langsung. “Apa sih? Dia minum obat apa selama ini sampai di bilang kumat begitu?” Nalen pun melempar pertanyaan kepada Kevin dan itu cukup membuat Kevin memdengarnya saja menarik nafas panjang, kemudian bangkit dari duduknya lalu berdiri sambil mengusap wajahnya kasar. “Ck! Gue gak tahu persis kaya apa. Tapi yang jelas sedikit gue tahu Sisil ada penyakit mental di mana ia mengharuskan tiap harus meminum obat tanpa adanya telat sedikit pun,” Jelas Kevin sebenarnya. Karena memang sebenarnya faktanya seperti itu, ia tidak tahu persis seperti apa penyakit Sisil. Karena semuanya ia tahu berasal dari Reon secara keseluruhan dan dirinya paham mengapa Reon bisa sampai tau karena bagaimana pun ibunya yang bernama Ranti adalah dokter psikologis di rumah sakit ini. Jadi wajar saja jika Reon pun sedikit paham dengan halnya gangguan mental seperti yang sedang terjadi pada Sisil bukan? “Lo tahu dari mana?” “Gue,” Potong Reon langsung dengan kelopak mata yang terlihat seperti halnya habis menangis, ketiga laki-laki itu tidak bodoh untuk menebak hal mudah seperti yang mereka lihat saat kni. Terlebih lagi bagi Nalen dan juga Kevin di mana mereka berdua yang tahu dan kenal persis seperti apa laki-laki yang sedang di hadapan mereka. “Kevin tau dari gue, itu pun baru tahu tadi,” Lanjutnya lagi sebari menjatuhkan tubuhnya di bangku khusus penunggu pasien yang letaknya di sebrang posisi mereka bertiga. Tidak jauh, hanya beberapa sentimeter saja dari posisi Nalen, Kevin dan juga David sekarang ini. “Lo tahu sejak kapan Sisil mengidap penyakit mental?” Tanya David yang sudah menyemburkan satu pertanyaan tanpa jeda kepada Reon yang sebenarnya tanpa di ketahui mereka bertiga kalau laki-laki itu juga sedang sama hancurnya, bahkan amat sangat hancur. Dan mereka tidak akan pernah mengetahui hal itu sampai kapan pun, terkecuali jika memang Reon yang sengaja memberitahu kepada mereka apa yang sedang Reon rasakan dan ia alami saat ini. “Sebagaimana memang gue sudah kagum sama Sisil sejak awal gue lihat dia masuk ke sekolah, secara pribadi gue memang belum tahu tentang penyakit itu karena seperti yang kita lihat dulu Sisil fine-fine aja, lo bisa memastikan itu pada Nalen dan juga Kevin,” Jelas Reon yang kepalanya mendongak menatap David. Samar-samar Nalen menydari di bawah kelopak mata laki-laki tersebut sedikit mencengkung ke dalam seperti halnya mata panda, dan ya dirinya memang berfikir bahwa Reon benar-benar kecapekan. Karena bagaimana pun selama beberapa minggu ini laki-laki tersebut tengah mengurus Sisil bukan? Seorang diri malah dan itu wajar jika Reon merasa kelelahan. “Tapi setelah gue memilih confess saat Nabil meninggal hari seminggu setelah kematian dia, dan gue nganterin dia ke pemakaman. Di situ gue sadar kalau ada yang gak beres sama Sisil,” Lanjutnya lagi, pandangannya ia alihkan ke arah lain lebih tepatnya menatap ke arah lantai bawah dengan tatapan yang kosong. “Emosi dia gak stabil, dari situ gue curiga dia ada masalah emosi yang gak bisa Sisil kontrol sendiri. Dan akhirnya gue memutuskan untuk bawa dia ke nyokap buat pemeriksaan lebih lanjut dan memastikan apa yang dia alamin sebenarnya,” “Setelah itu, beberapa jam Sisil di periksa sama nyokap. Di situlah ketahuan kalau dia mengidap penyakit bipolar soldier akut, belum lagi depresi yang berlebihan. Maka dari itu dia selalu wajib minum obat tanpa boleh telat atau apapun itu, karena kalau engga tubuh bahkan sendi-sendinya yang akan di serang sampai Sisil tidak bisa berkutik bahkan lemas,” Jelas Reon, setelah menjelaskan tersebut Reon hanya menghela nafas panjang mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangannya karena jujur ia tidak tahu harus seperti apa untuk melakukan yang terbaik untuk kehidupuna Sisil. Mungkin kalian menganggap bahwa Effort Reon dan sikap yang ia berikan sampai ke khawatiran berelebih dari laki-laki itu sangat terlalu berlebihan bukan? Ya memang sangat berlebihan, namun itulah sikap murni Reon yang jika sudah menyayangi bahkan mencintai seseorang dia memang akan mengerahkan seluruh hidupnya untuk orang tersebut. Urusan dirinya sendiri urusan belakangan, yang terpenting adalah kebahagiaan orang yang ia sayangi itu adalah hal yang utama. Dan kalau kalian berfikir, Sisil adalah gadis yang beruntung memang faktanya sejak awal juga ia adalah gadis bisa yang beruntung. Di mana dirinya selalu di kelilingi oleh laki-laki tampan yang begiu peduli dengan kehidupannya. Bahkan hampir tiga orang menyukai Sisil tanpa terkecuali dan apa adanya. “Jadi Sisil selama ini butuh recovery?” Tanya Nalen memastikan. Reon mendongak, menatap ke arah Nalen dengan tatapan yang terlihat sangat lelah. Kepalanya mengangguk mengiyakan. “Iya, dia butuh recovery jangka panjang dengan obat-obatannya. Maka dari itu gue minta tolong banget sama lo Len,” Baiklah, mungkin memang sudah waktunya Reon harus mengalah. Karena bagaimana pun yang di inginkan Sisil selama ini bukanlah dirinya melainkan Nalen, dan itu cukup membuat Reon bersikap di balik bayangan saja sekarang seperti sedia kala. Karena memang sejak awal harusnya seperti itu bukan? Iya seperti itu. “Just give her happines, buat dia sembuh. Cukup sudah lo bersikap kayanya cowok b******k karena gimana pun kebahagiaan Sisil, kebahagiaan gue juga. Dan kalau lo nyakitin dia sama aja lo nyakitin gue sekaligus ngerusak pertemanan kita yang sudah berjalan selama bertahun-tahun,” Reon terlihat seperti tersenyum tipis di wajah tampannya, “Lagi pula selama ini gue tahu kok, kalau lo juga diem-diem suka sama Sisil tanpa sepengetahuan gue sebagaimana lo selalu nemplok sana sini ke cewek, gue bisa baca gerak gerik lo,” “Jadi selama gue ngasih kesempatan lo secara terbula kek gini di depan Kevin dan David, please! Just loving her sepenuh hati lo. Gak perlu sungkan terutama ke gue karena gue juga tahu diri yang selama ini Sisil mau itu lo, anggep aja gue cuma angin lewat,” Ucap Reon dengan kekehannya, sedangkan Nalen menatap sedih ke arah Reon karena bagaimana pun mengikhlaskan orang yang ia cintai untuk orang lain itu bukanlah hal yang bagus bukan? . . . Nalen diam, seorang diri tanpa di temani Kevin, Reon maupun David sekarang. Setelah percakapan yang di lakukan oleh Reon dan yang lainnya membuat Nalen sedikit berfikir, berfikir bagaimana ke depannya nanti. Cara dia memperlakukan Sisil, membahagiakan gadis itu. Bahkan membantu Sisil hingga masa recoverynya sembuh, karena bagaimana pun hal yang akan dia lakukan ke depannya bukan lah sesuatu yang mudah untuk di jalani Nalen saat beberapa waktu ke depan nanti. Terlebih lagi, jika ia menjalanji bubungan dengan Sisil nanti. Apa hal tersebut tidak membuat hubungan dirinya dengan Reon berjarak. Maksudnya begini, kalian kan sudah tau pasti bahwa Reon sangat mencintai gadis tersebut tanpa terkecuali, dan apa yang laki-laki itu lakukan sekaligus effort yang selama ini di berikan kepada Sisil itu lebih besar dari perasaan yang Nalen rasakan selama inj secara diam-diam. Nalen menghela nafas panjang, rasanya kepalanya terasa pening saat ini seperti ingin pecah sekarang juga. Lebay? ya itu hal yang wajar jika kalian berfikir seperti itu karena Nalen sedang bersikap berlebihan sekarang. Tapi coba pikir ulang dan di kaji ulang karena bagaimana pun tidak akan ada yang bisa memahami situasi yang sedang terjadi saat ini pada diri Nalen sendiri bukan? Dan hanya dirinya lah yang mampu untuk memahaminya, ujungnya semua sama saja. Terlalu sulit untuk bisa di mengerti secara keberasamaan. Alhasil laki-laki tersebut mengambil sebatang rokok pada bungkus rokok yang ia pegamg sedari tadi di tangannya. Menyalakan rokok yang sudah ia taruh di bibirnya. Menyedotnya pelan kemudian membuang asap-asap rokok tersebut kesembarang arah, ayolah hal seperti ini belum tentu membuat dirinya tenang sama sekali. Hanya saja sedikit berkurang dengan apa yang dirinya rasakan sekarang. “Stress ya lo?” Celetuk Kevin saat dirinya sejak tadi memperhatikan Nalen yang terus menerus melamun sendirian di kantin rumah sakit yang sudah lumayan sepi karena saat ini jam menunjukan pukul hampir sekitar setengah sebelas malam di mana pergantian hari akan terjadi beberapa jam ke depan. Langkah Kevin mendekat, kemudian tubuhnya ia jatuhkan ke arah kursi yang tengah kosong di sebelah tubuh Nalen. Nalen menoleh, dengan hembusan asap rokok yang baru ia sedot tadi. Kekehan laki-laki itu terlihat di wajah tampannya. “Yaelah stress apaan dah lo?” Jawabnya dengan tawaan kecil. Melihat Nalen yang berusaha menutupi apa yang sedang ia rasakan dan fikirkan membuat Kevin menggelengkan kepalanya pelan, “Mana ngeles lagi si bego,” Timpalnya dengan nada yang terkesan meremehkan ke arahnya. “Udah deh Len, lo percuma bohong ke gue. Gak akan bisa,” Tembak Kevin langsung to the point, tanpa ada basa-basi bahkan tanpa adanya bertele-tele. Yap! Itulah Kevin. laki-laki tersebut tidak suka membuat sesuatu atau permasalahan menjadi ribet. Jangankan ribet di buat drama aja membuat laki-laki berkacamatan itu muak melihatnya. Lantas, dengan hal tersebut yang sedang terjadi di kedua sahabatnya sebenarnya Kevin benar-benar malas mengurus hal seperti ini. Tetapi bagaimana? Segala sesuatu memang ada yang seperti itu bukan di kehidupan manusia? Dan mau tidak mau mereka tidak bisa menghindar atau menjauh dari drama yang sudah ada skenarionya dari tuhan mereka sendiri. Semua sudah di atur, dan semua memang tamdir yang sudah di tentukan sejak awal. Begitu pun juga semua yang tengah terjadi sekarang ini. Mereka semua, termasuk Reon dan Nalen. Mau tidak mau harus menjalani ini sebagaimana semestinya, salah satunya memang harus ada yang berkorban untuk kebaikan dan kebahagiaan yang sudah di tentukan keutamaannya untuk siapa. Nalen tertawa pelan, masih dengan menikmati rokoknya. “Gue gak tahu harus kaya apa ke depannya nanti Kev, kek nya sulit gak sih? Gimana pun tanggung jawabnya tuh gede banget,” “Gede gimana?” Nalen menghela nafas panjang, “Ya gede, keutamaannya kebahagiaan Sisil agar recovery mental dia tuh berhasil. Karena kalau misal gue gagal keadaan mental dia bakal lebih parah bukan?” Kevin diam, ia tidak menjawab namun jauh dari lubuk hatinya Kevin pun setuju dengan pemikiran laki-laki tersebut. Membuat seseorang untuk bahagia itu tidak gampang melainkan itu tantangan yang besar dan Kevin tahu rasanya bahwa hal yang akan di jalani oleh Nalen akan lebih berat rasanya. “Tapi Len,” Gantung Kevin, ia sedikit ragu dengan apa yang inginia sampai kan. Dan itu cukup membuat Nalen menoleh menatap laki-laki tersebut. “Apa lo bener suka sama Sisil selama ini kaya yang Reon bilang beberapa waktu lalu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN