Sisil masuk rumah sakit

2650 Kata
Setelah perdebatan mereka berdua yang dilakukan selama di lobby apartemen, akhirnya Kevin dan Reon berada di depan pintu kamar apartemen milik Reon. Laki-laki tersebut menghela nafas kasar, sudut matanya melirik ke arah Kevin sekilas yang terlihat sudah menungggu dan tidak sabar untuk bertemu dengan Sisil. “Gue gak yakin,” Celetuk Reon tiba-tiba dengan nafas yang berat. Mendengar hal tersebut Kevin menoleh ke arah Reon dengan tatapan yang sama seperti lagi, yap! Ia terheran-heran dengan sahabatnya itu. “Apanya yang gak yakin bule?” Kata Kevin gemas. Ni anak satu kenapa mendadak jadi hobi bikin emosi begini sih? Tumben banget perasaann. Kevin mengerang pelan, “Re, sumpah ya lo? Kebanyakan nyabu ya?” Ucap laki-laki itu asal. Lantaran Kevin berucap seperti itu, Reon langsung membelalakan kedua matanya. “b*****t lo ya! Makin di diemin makin jadi lo,” Reon memencet bel pintu apartemen itu kasar, sedikit kesal dengan Kevin yang sedikit-sedikit bilang kalau Reon mengonsumsi barang haram seperti itu. Astaga! Gila kali ya? “Kalem aja kali, nanti juga di buka sama Sisil,” Kata Kevin saat melihat Reon yang sedari tadi memencet bel pintu apartemennya. Baru saja Kevin berucap seperti itu, tidak lama pintu tersebut terbuka. Dan pandangan dari seseorang yang selama ini mereka cari akhirnya terlihat. Dengan halnya Kevin dan Reon menarik senyum mereka seperti bulan sabit kepada Sisil, sayangnya hal tersebut tidak bisa mereka dua indahkan. Karena tiba-tiba saja Sisil saat melihat kehadiran mereka berdua langsung terjatuh pingsan dengan ponsel milik Reon yang ia pegang. Perasaan panik yang sudah menjalar ke tubuh Reon, membuat laki-laki itu langsung menjatuhkan bingkisan yang ia niat belikan untuk Sisil. Tanpa pikir panjang Reon langsung menangkan tubuh mungil gadis tersebut, sedangkan Kevin yang sedikit loading pikirannya karena ia juga sama terkejutnya dengan apa yang ia barusan lihat. Langsung mengerjapkan kedua matanya cepat. “Kev, bantu gue angkat Sisil,” Pinta Reon panik. Tanpa menjawab, Kevin pun langsung segera membantu sahabatnya itu untuk membopong tubuh Sisil yang entah kenapa tiba-tiba mendadak pingsan. Reon agak sedikit berpikir, berpikir kenapa Sisil tiba-tiba jadi seperti ini? Ia tahu, ia sedikit sangat tahu dengan orang-orang yang mengidap penyakit mental terutama tentang mental bipolar disorder. Yang kambuh atau kumatnya bisa berbeda-beda dan tidak bisa di tentukan dengan satu macam, lalu dengan cepat. Setelah Reon berhasil menggendong atau membopong tubuh Sisil. Laki-laki tersebut membawa Sisil keluar dari apartemen situ. Kevin yang melihat tindakan yang di ambil Reon, membuat dirinya kebingungan. “Mau lo bawa ke mana bego!” Teriak Kevin sebari berusaha menjajarkan langkah laki-laki itu dengan Reon. “Mau gue bawa ke rumah sakit,“ Jawab Reon singkat. “Ambil kunci mobil gue di kantong, buruan!” “Ya tuhan! Sabar gek,” Kata Kevin kalem sebari merogo kantung celana seraham Reon dan mengambil kunci mobil miliknya. “Lo bawa mobil dan setirin kita ke rumah sakit tempat nyokap gue praktek ya Kev,” Ucap Reon yang terdengar seperti memohon. Kevin mengangguk, “Di rumah sakit dokter soetomo kan?” Tanya Kevin untuk memastikan. “Iya,” Akhirnya, tanpa pikir panjang Kevin pun mengerti. Langkahnya ia lebarkan untuk menyusul Reon agar ia cepat membuka mobil terlebih dahulu. Karena ia tahu bahwa laki-laki tersebut sudah berusaha dan kesusahan membopong tubuh Sisil yang lumayan berat sebagaimana tubuh gadis itu terlihat kecil. “Kenapa bisa mendadak dia pingsan gini sih Re?” Tanya Kevin lagi yang buta akan kesehatan apalagi yang berhubungan dengan mental seperti ini. “Gak tahu,” Jawabnya tersengal-sengal. “Tapi yang jelas, gue ngerasa Sisil lagi kambuh dan dia gak minum obat penenanngnya, alhasil semua organ tubuhnya ke serang dan nimbulin rasa sakit yang gak bisa dia tahan. “ Jelas Reon singkat. . . Setelah di perjalanan menghabiskan waktu sekitar lima belas menit untuk ke rumah sakit dokter soetomo, dan berhenti tepat di depan ruangan UNIT GAWAT DARURAT membuat Reon masih belum tenang sebagaimana Sisil sudah di pegang oleh beberapa tenaga medis. Iya, Reon masuk ke dalam rumah sakit untuk mencari ibunya yang kebetulan sore ini masih jam prakteknya di rumah sakit. Rasa khawatir yang sedari tadi Reon tahan agar tidak down di depan Kevin membuat laki-laki tersebut langsung mencari ibunya. Ia takut, Reon takut kalau Sisil tidak bisa selamat malam ini. Maka dari itu ia mencari Ranti sebagaimana kalau sudah di rawat atau semacamnya sudah bukan urusan wanita tersebut. “Ma! Mama!” Panggil Reon sesak saat ia baru saja masuk ke dalam ruang periksa Ranti. Ranti yang sedang melihat beberapa berkas pemeriksaan pasiennya tadi yang baru saja keluar dari ruangannya, langsung mendongakkan kepalanya dan terkejut melihat kehadiran Reon yang sudah terlihat berantakan. Bingung? Jelas! Itu sudah pasti. Karena jujur, Ranti sebenarnya beberapa hari ini sedikit marah kepada Reon yang selalu pulang malam bahkan tidak ada di rumahnya. Dan itu cukup membuat wanita itu menimbulkan banyak pertanyaan di kepalanya sebagaimana sekarang pun Ranti pun heran dengan kedatangan Reon yang sudah menanngis tidak jelas begini di hadapannya. Terlebih lagi posisinya di rumah sakit tempat Ranti bekerja, untung saja setelah ini tidak ada pasien lagi untuk sekedar konsul atau semacamnnya kepada Ranti. Namun hal tersebut tetap saja membuat Ranti was-was dan khawatir. “Kamu kenapa Re?” Tanya Ranti berusaha untuk tenanng di hadapan anak laki-lakinya. “Kamu sama siapa ke sini?” Tangannya menyentuh ke kepala Reon, lalu turun untuk mengelus pelan punggung lebar laki-laki itu. Iya, posisi saat ini Reon sudah memeluk tubuh Ranti dengan erat, belum lagi menangis dalam pelukan hangat sang ibunda. “Sshhh, hei sayang,” Panggil Ranti lgi. “Kenapa sih? Kok tiba-tiba nangis kaya anak kecil begini? Kenapa? Ada masalah?” “Atau ada yang sakit lagi?” Ucapnya seraya mengurangi pelukan di antara mereka berdua, lantas Ranti mencangkup wajah tampan Reon yang sudah memerah karena nangis dengan kedua tangannya. “Ada yang sakit? Hm?” Reon diam, berusaha menetrakan tangisannya dan berhenti. Akan tetapi tetap saja ia tidak bisa, rasa tkut berlebih itu sudah menjalar ke tubuh Reon. Kepala laki-laki itu menggeleng, “Terus kamu kenapa bisa nangis begini? Ada apa?” Tanya Ranti sabar. “Coba ceritaiin ke Mama,” Reon mengusap wajahnya kasar, dan segera menghapus cepat air matanya yang sudah berjatuhan di pipinya. Kalau Kevin ngikutin Reon terus lihat dirinya nangis kan gak lucu juga. “Sisil Ma,” Entah kenapa mendengar nama itu membuat Ranti bernafas lega, “Sisil kenapa sayang? Kumat lagi?” Reon membenarkan, “Iya, dan sekarang dia lagi ada di UGD. Dia kambuh tapi lupa minum obat penenang.“ Mendengar tuturan anaknya tersebut, detik itu juga kedua bahu Ranti terasa melemas. . . Sekitar lima belas menit mereka berdua berdiam diri di parkiran dengan rokok yang menemani mereka. Membuat Nalen dan Kevin memutuskan untuk pulang. “Balik sekarang?” Tanya Nalen langsung dengan membuang putung rokok ke sembarang arah. David mengangguk, “Iya balik aja, gue juga lagi gak enak badan,” Jawabnya, jujur akibat kejadian tadi pagi di mana dirinya dengan Angga sedang bangku hantam membuat tubuhnya merasakan kembali nyeri yang menyerang ke sekujur tubuhnya. Baru saja mereka berdua berniat untuk masuk ke dalam mobil, suara kegaduhan yang di buat orang-orang yang Nalen kenal suaranya itu langsung menoleh ke sumber suara. Dengan kedua kelopat mata yang sudah menangkap pemandangan orang tersebut, akhirnya dengan sigap Nalen langsung menarik lengan David untuk bersembunyi. David terkejut dengan sikap reflek Nalen yang terkesan tiba-tiba, “Kenapa sih lo? Kaya di kejar-kejar setan!” Celetuk David kesal. Ya gimana gak kesal, baru juga mau membuka pintu mobil, Nalen langsung menarik lengannya dengan cengkraman yang kencang. Sialan! Bikin badan makin sakit aja. “Ada Kevin sama Reon,” Ujarnya dengan nada yang sangat amat pelan. Mendengar hal tersebut, David langsung merubah mimik wajahnya yang tadi terlihat kesal menjadi datar, lalu mengalihkan pandangannya dari Nalen untuk melihat ke arah Kevin dan Reon. Melihat mereka berdua yang seperti sedang kesulitan dan terburu-buru di sertai raut wajah mereka yang telrihat khawatir membuat David sedikit curiga sebari memicungkan kedua matanya. “Len,” Panggil David tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari mereka. “Yang di gendong Reon itu siapa?” Nalen langsung kembali melihat ke arah sana dengan pandangan lamat-lamat dan seksama, “Masa Sisil sih?” Celetuk laki-laki itu asal tebak. Entah kenapa David memilih diam, di dalam hati ia membenarkan hal tersebur. Karena bagaimana pun di apartemen sini hanyalah Sisil yang gendernya wanita di sini. “Kayaknya kita perlu nyamperin mereka deh,” Kata Nalen yang sudah bersiap untuk bangkit dari tempat persembunyiannya sekaligus berniat untuk menghampiri mereka berdua. Kemudian, dengan cepat David meraih lengan Nalen, menahan laki-laki tersebut agar tidak gegabah untuk bersikap di saat situasi sedang sulit seperti ini. “Jangan dulu,“Kata David dengan nada dingin. Melihat wajah David yang serius seperti itu membuat Nalen menuruti perkataan David, lantaran bisa ia tebak dan ia lihat bahwa laki-laki tersebut sedang merasakan khawatiran sekaligus emosi yang sudah David tahan sejak dari tadi. “Lo nunggu apa?” Tanya Nalen, lagi-lagi Nalen kembali gemas dengan laki-laki yang berada di sebelah tubuhnya ini. Bahkan, jujur aja nih! Nalen tuh gak paham dan sulit mengerti dengan struktur otak atau arah pikiran David yang menurut Nalen aneh dan tidak bisa ia tebak sama sekali. David menghela nafas panjang, kemudian menatap ke arah Nalen sekilas lalu kembali menatap ke arah mobil milik Reon. “Nunggu mereka berdua nelpon kita,” Nalen menatap ke arah David tidak percaya, apa? Gimana? Gimana? Di suruh nunggu? Astaga! Tangan rasanya gatel banget pengen mulul wajah ganteng David yang nyebelin begini. Lalu Nalen kembali menarik nafas panjang, berusaha bersikap tenanang sebagaimana aslinya tidak sama sekali karena tangan dan mulut udah gatel pengen mukul dan maki-maki secara puas kepada laki-laki tersebut. “Lo gak lihat mereka berdua lagi kesusahan dan lagi panik gitu?” Kata Nalen sebari menunjuk ke arah Reon dan Kevin. “Gue tahu kok,” Jawab David lebih singkat. “Nah! Terus kenapa kita haRus nunggu mereka berdua ngehubungin kita David?” Ucapnya gemas yang sudah menahan emosinya. “Sumpah ya! Gue masih gak paham sama isi kepala lo Dav,“ Baru saja berniat untuk meninggalkan David di tempat. Entah kenapa langkahnya Berhenti saat David berucap sesuatu yang mampu membuat laki-laki tersebut berpikir untuk yang kedua kalinya. “Kalau memang mereka beranggapan ke kita berdua adalah teman mereka, pasti ngehubungin kok.” “Di tambah lagi,” David menoleh ke arah Nalen saat mobil Reon sudah melaju dengan kencang untuk keluar dari parkiran apartemen tersebut. “Bagi Sisil, lo tuh segalanya.” Lanjutnya dengan nada pelan sebari menatap dalam ke arah Nalen. Di sana Nalen bisa melihat, tatapan David yang ada rasa ke kecewaan yang mendalam saat melihat ke arah laki-laki tersebut. . . “Ke mana sih ni anak!” Celoteh Kevin sendiri sebari sibuk mencari Reon ke sana ke mari dengan tangan yang sudah memegang ponsel. Bingung? Jelas! Iya tidak tahu di mana Reon dan siapa yang harus Kevin hubungi sekarang. Karena jujur, laki-laki tersebut tidak tahu nomer keluarga gadis itu. f**k! Menyebalkan, kalau semua pada ngilang begini mau tidak Kevin menghubungi dua di antara manusia-manusia yang juga sedang mencari Sisil. Yap! Kevin dan Nalen lebih tepatnya. Tapi tunggu sebentar, kalau dirinya memberi tahu bahwa Sisil masuk rumah sakit lalu mereka melempar banyak pertanyaan kepada Kevin seperti halnya di introgasi. Apa hal itu tidak membuat kepalanya semakin pening? Astaga! sedikit ribet juga ternyata. Alhasil tidak peduli dengan halnya nanti juka mereka berdua datang, Kevin tetap menelpon Nalen dan David secara bersamaan. Urusan nanti, gumana nanti deh. Kevin tidak ingin melakukan kesalahaan kalau tidak ada Reon di sampingnya seperti ini. Masih dengan posisi yang sama, yaitu kondisi di mana Kevin yang masih berjalan bolak balik di lobby apartemen sebari menunggu panggilan David untuk menjawabnya. Namun, tidak terlalu lama menunggu. Hanya sekitar sepuluh detik panggilan berdering laki-laki tersebut mengangkat panggilan tersebut. Membuat Kevin bernafas lega dengan senyuman bibir yang tidak semua orang bisa melihat itu. “Hallo Dav?” Panggil Kevin di seberang telfon dengan nada yang ia usahakan agar tetap tenang. “Oi Kev! Kenapa? Tumben banget?” Kata David. Kevin diam, hanya beberapa detik. Karena rasa ragunya gang sangat besar saat ini. “Lo di mana ini?” Tanya laki-laki itu dengan perasaan was-was. “Gue?” Jawab David, laki-laki tersebut diam sejenak. Namun deruan nafas itu terdengar, “Biasa, lagi nongkrong nih! Kenapa?” “Sama siapa? Gue gak ganggu kan?” “Enggak, lo santai aja,” Celetuk David. “Kebetulan gue sama Nalen nih, kenapa? Gue nanya dari tadi gak di jawab,” Dengan rasa ragunya yang luar biasa, namun di sisi lain Kevin pun merasakan ketakutan. Akhirnya mau tidak mau laki-laki itu jujur dan memberi tahu kepada David, apa yang sebenarnya terjadi. Kevin menceritakan semuanya, tanpa ada yang terlewat sedikit pun, dan David mendengarkan hal tersebut secara seksama. Begitu pula Nalen yang juga mendengarkan hal itu dari telepon yang di sengaja loudspeker oleh David sedari tadi. Alhasim setelah Kevin selesau bercerita, deruan nafas laki-laki itu terdengar. Hanya ada keheningan di panggilan tersebut karena jujur David pun tidak tahu harus menjawab sepertii apa dan bagaimana. Akhirnya tidak lama kemudian, David langsung berdehem pelan, “Gue on the way deh ke rumah sakit. Kasih alamat lengkapnya aja ke gue, kali aja posisi gue sama Malen deket dari rumah sakit yang lagi lo tempatin sekarang,” Sebagaimana Kevin tahu bahwa David tidak akan bisa melihat dirinya jika ia menganggukan kepalanya untuk menyetujui ucapan laki-laki tersebut. “Kalau bisa, lo hubungin Angga ya. Gimana pun dia wali sisil satu-satunya,” Sambung Kevin dengan perasaannya yang sudah lega. “Kalau Angga, biar gue yang urus. Yang penting gue sama Nalen sekarang di sana buat liat keadaan Sisil.” . . Letta dan Ratu berjalan dikoridor, untuk pagi ini mereka tidak telat karena usaha bang Raja yang membangunkan mereka dengan panci melayang kearah mereka. "Jadi lo balik tengah malem cuma di bawa ke hutan doang sama Sya?" Ratu mengangguk, lantas tersenyum lebar kearah Letta yang sibuk membalas pesan Vino "Dia nurutin gue liat kunang-kunang Lett, parah! Lucu banget!! Dan gue seneng!" "Tapi kalian gak ngelakuiin hal konyol di sono kan?" "Semewew maksud lo? Gila kali! Lu kok otaknya ngeres sih?" "Yey! Lo juga kali" Mereka berdua tertawa, namun saat akan menginjak anak tangga, pandangan Ratu jatuh ke arah kantin yang menampakan sosok Sya yang sedang duduk berdua bersama Ona. Ratu memberhentikan langkahnya, sedangkan Letta yang sudah ada di beberapa anak tangga berhenti melihat Ratu yang diam tiba-tiba. "Rat?" Ratu tidak menggubris, membuat Letta menaikan sebelah alis matanya dan kembali turun untuk melihat apa yang terjadi. Dan ternyata, Syahnadz lagi. Yang sedang terlihat asik dengan obrolan bersama Ona, dan sesekali Sya terlihat kearah bagian d**a Ona yang kancingnya ia sengaja terbuka seperti biasanya. "Rat, kekelas yuk" Ratu menoleh, lantas tersenyum lebar "Sebagaimana pun gue cewek terdekatnya selama 6 bulan ini, Dan gue belum menjadi siapa-siapanya dia Lett. Dan bahkan gue gak tau gimana perasaan dia ke gue" tutur Ratu lantas berjalan menaiki anak tangga. Sedangkan Letta menghela nafas pasrah saat Ratu lagi-lagi merasa dirinya seperti di buang oleh Syahnadz. Ratu membantingkan tasnya ke meja membuat beberapa murid di kelas terkejut termasuk Glenn dan Rangga yang duduk di belakang Ratu. Glenn dan Rangga saling menatap satu sama lain, adu permainan yang mereka lakukan tadi terhenti oleh sikap Ratu yang membuat satu kelas diam. Ratu menidurkan kepalanya d iatas meja dengan tangan sebagai ganjelnya. Pandangan Glenn masih belum terlepas Dari Ratu, sehingga membuat Rangga berdehem pelan. "Kata gue juga apa, lo tuh demen sama Ratu" Glenn melotot, lantas menoyor kepala Rangga yang sudah tertawa kecil. "Deketin, tikungan itu tajam. Kali aja lo yang menang dapetin dia." "Lu kata Motor GP." Lagi-lagi Rangga tertawa, namun setelah itu Letta masuk ke dalam kelas dengan wajah datar dan dingin. Membuat Rangga dan Glenn juga memperhatikan wajah Letta diam-diam. Namun saat sudah duduk tepat di sebelah Ratu, Letta juga ikut menidurkan kepalanya di meja, membuat Glenn dan Rangga lagi-lagi saling tatap. "Mereka berantem?" tanya Rangga heran. "Kaya orang pacaran aja ya." Ucap Glenn, membuat Rangga menoleh ke arah Glenn dengan ekpresi anehnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN