Nalen flashback

2079 Kata
Langkah Jeje melebar. Dengan tangan yang membenarkan seragamnya terlihat memprihatikan. "Je!!" teriak Letta, yang berusaha mengejar sahabatnya yang sudah berlari kecil meninggalkannya dirinya. Namun sebelum itu. Letta menghampiri sesosok lelaki yang ada di pojok ruangan. Sesosok lelaki jangkung yang selalu jadi sorotan di sekolah ini, yaitu Nalen. Dan anak dari seorang CEO ternama di Indonesia. Lelaki itu tampak menghela nafas panjang, namun pandangannya jatuh kepada Letta. Letta yang sudah di penuhi dengan emosi pun berjalan kearah dirinya dan, Plak!!! "Anjing!" Lelaki itu mengumpat keras, lantas mendorongkan Letta hingga kepojok dinding ruangan, Degup jantung Letta tak karuan. Walapun sebenarnya Letta adalah atlet Silat di sekolahnya, namun tetap saja lawannya saat ini adalah lelaki, lelaki yang di mata Ratu berharga walaupun sebenarnya berengsek di mata Letta. "Maksud lo apa sih Let?" Tanya Nalen bingung. Letta menghela nafas, menahan air matanya yang dari tadi ingin menerobos keluar saat kedua matanya melihat pemandangan yang sangat menyakitkan. "Gue benci lo Len." dengan suara parau, namun mampu terdengar oleh Nalen. Dan Nalen hanya diam, pikirannya mulai kacau. Dia sadar, apa yang dia lakukan memang salah, terutama ini di sekolah. Bila ada siswa atau siswi tau apa yang terjadi. Nama mereka berdua akan terpandang jelek, terutama Nalen yang notabene nya adalah cucu dari pemilik sekolaj Ini. "Gue cuma minta satu hal sama lo, di mata Jeje lo berharga. Sangat! Tapi satu hal yang harus lo tau, Jeje adalah orang yang sangat berharga juga di mata gue dan bang Raja,” "Segimana dia punya masa lalu buruk yang lo tau, bukan berarti lo harus ngerusak hidupnya kan Len? Sampek lo ngerampas sesuatu yang berharga yang dia punya? Itu gak etis banget!" Letta melepaskan tangan Nalen yang ada di kedua pundaknya. Ia sadar, dan muak sebenarnya dengan Nalen. Namun diam di saat diri kita tau apa yang terjadi, itu tidak baik. Ini sudah ketiga kalinya, ah! Bisa di bilang lebih. Tapi Letta tidak mau menyalahkan Jeje, karena pada dasarnya. Di sisi lain Jeje juga masih terpuruk dengan masa lalunya. "Kalo memang lo sayang sama Jeje, kasih kepastian, jangan buat sahabat gue jadi bahan pemuas nafsu lo!" Tanpa pikir panjang, Letta meninggalkan Nalen yang diam mematung. Meresapi semua kata demi kata yang baru saja dia dengar. Nalen terduduk di lantai, apa yang di katakan Letta tentu saja salah. Dirinya sangat menyayangi Jeje, benar-benar menyayangi gadis itu. "Len," Jeje mendongak, Kevin dan Reon sudah ada di hadapannya sekarang, keduanya berjongkok di hadapan laki-laki itu sembari tersenyum tipis. "Sorry kalo kita nguping, sorry juga sama sikap sodara gue." ucap Kevin pelan, Vino tau betul mengapa Letta bisa beringas kepada Nalen. Alasannya tentu Jeje, sahabat kecil Letta dan orang satu-satunya yang saat ini Letta punya. Kecin dan Reon yang sedari tadi tidak sengaja mendengar percakapan mereka berdua terasa jelas. Bagaimana Letta mengumpulkan keberanian untuk berbicara seperti itu kepada Nalen. Itu terlihat jelas oleh KeCin dan Reon, bahwa gadis itu menahan emosi terhadap Syahnadz. "Sekarang gini, sebenarnya kita berdua gak mau ikut campur masalah hubungan lo sama Jeje. Begitu pula Letta. Tapi ngelihat Letta sebegitu emosinya tadi. Kita memang harus meluruskan Len," tutur Reon tegas. Membuat Nalen menggeleng pelan dan mengacak-ngacak rambutnya kasar. "Gue sayang Ratu" Jawab Nalen. "Ter-" "Tapi gue takut nyakitin Jeje tanpa sadar" sambung NLen, membuat Kevin yang mau menjawab kembali bungkam. Kevin dan Reon tau, tau betul apa yang di maksud Nalen. Tapi bukan berarti menggantungkan perasaan Jeje selama Tiga bulan lebih kan? . . Fachry, ayah dari Nalen menjatuhkan badannya ke dalam sofa di rumahnya, tangannya melonggarkan dasi yang terpasang. Ini hari ke emoat puluh, di mana Mela masih koma di rumah sakit. Dalam lubuk hatinya, ia berharap besar kepada tuhan agar istri nya segera sadar. Namun sampai sekarang belum ada jawaban tanda-tanda istrinya akan sadar. Lamunan Fachry pecah saat suara pintu terbuka. Di sana ada sesosok anak tunggalnya yang baru saja pulang. Nalen berjalan melewati sang ayah yang sedang duduk diruang tamu yang sudah duduk dengan tegap dan melihat kearahnya. Fachry melihat ke arah arlojinya, pukul setengah 10 malam, Fachry berdehem lantas berdiri, membuat langkah Syahnadz terhenti namun tidak membalikan tubuhnya menghadap Fachry. "Dari mana saja kamu! Kamu tau ini jam berapa?" Tanya Fachry dengan nada tinggi. Nalen diam, namun beberapa menit kemudian, lelaki itu menghela nafas lalu kembali melangkah meninggalkan Ayahnya. "Nalen!" "Nalen habis lihat Mama, nemenin Mama." Singkat, namun mampu membuat Fachry diam tanpa berkata-kata lagi. Fachry langsung mendudukan badannya. Memijat kedua pelipisnya ditambah pikiran yang membuat Fachry kembali pusing dua kali lipat. Seandainya, seandainya 3 bulan lalu Fachry tidak mengizikan Mela untuk datang ke acara reuni SMAnya sendiri menggunakan mobil. Mungkin Mela tidak akan mengalami kecelakaan hebat, sehingga membuat Mela mengalami pendarahan di otak, di tambah koma yang hampir genap Luma puluh hari. Segimana kehidupannya sekarang bergelimang harta, namun jika semua uang itu tidak bisa menyembuhkan Mela dan mengembalikan Nalen menjadi lelaki yang tidak brutal. Itu semua tidak ada apa-apanya. Karena bagi Fachry, keluarga adalah segalanya. Namun pekerjaan ini juga adalah permintaan terakhir papanya. Fachry tidak bisa meninggalkan atau mengorbankan salah satunya. Tidak, tidak akan pernah bisa. . . “Je? Jeje?” Ona, si gadis blasteran asal Canada duduk di hadapan Jeje dan Letta yang sedang sibuk membahas menu bekal yang di buat bang Raja, dan ternyata benar dugaan Jeje. Menu mereka lagi-lagi omlet mie indomie ala Raja Sanjaya. Gadis berambut murni kecoklatan itu menoleh terhadap Ona dan tersenyum tipis. "Iya na? Kenapa?" Ona membalas senyuman Jeje sekilas, yang membuat Ratu tidak sadar dengan senyuman tipis Ona. Dan itu adalah salah satu sifat Jejeyang selalu ramah dengan semua orang. "Lo pacaran sama adek kelas? Si Nalen?" tanya Ona to the point. Oh ayolah! Siapa di sekolah ini yang tidak mengenal Ona? Gadis populer yang ketus namun tergila-gila dengan Nalem dari awal laki-laki itu masuk ke sekolah ini. Jeje berdehem pelan, matanya melirik ke arah Letta yang sibuk memainkan ponselnya namun Jeje tau betul, kalau Letta juga mendengarkan obrolan dirinya dengan Ona. "Memangnya kenapa?" Tanya Jeje hati-hati. "Bukannya Nalen terkenal gay dari awal dia masuk ya? Karena dia gak pernah ada gosip sama cewek. Apa jangan-jangan dia sama lo sampek post foto kalian berdua itu cuma buat nutupin fakta kalo Nalen adalah gay?" Jeje menghela nafas sembari menahan tawanya. "Gay? Jeje deket sama gue aja konak mulu!" serunya dalam hati. Jeje menggeleng pelan dan lagi-lagi tersenyum manis dan penuh arti, Ratu sedikit mencodongkan tubuhnya kepada Ona berniat membisikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Ona berfikir dua kali. "Dia maennya jago Na, dan gue yakin di mana kita tau dia sewaktu Nalen lagi di masa orientasis sisw. Lo berharap bisa liat sesuatu yang gagah di bawahnya kan? Tapi sayang ternyata dia lebih milih gue di banding elo," Mendengar tuturan jeje, membuat Ona mendorong tubuh Jeje kesal, sehingga Jeje kembali terduduk. Sedangkan Jeje sudah tertawa keras, begitu pun Letta juga. "Lo boleh bangga, tapi sebentar lagi. Nalen bakal tergoda sama gue!" tekan Ona lantas berdiri meninggalkan kedua gadis yang lagi-lagi tertawa mendengar tuturan Ona. "You wish girl!!" teriak Letta terhadap Ona yang sudah duduk di bangku depan, sedangkan Rena dan Jani yang bisa dibilang adalah dayang-dayang Ona itu menoleh ke arah Jeje dan Letta dengan ekpresi penuh emosi. "Gue kira tuh kunyuk gak ngejar-ngejar lagi si Nalen gara-gara gosip si Nalen homo di kabarin homo tau!" Jeje menaikan kedua bahunya "Intinya kita liat aja Lett, Nalen bakalan bertekuk lutut sama siapa. Dia apa gue!" Letta yang mendengar ucapan Jeje hanya membalas dengan senyuman. Dan berharap untuk kedepannya. Agar Nalen tidak akan menyakiti perasaan Jeje untuk yang kesekian kalinya akibat orang lain. . . Setelah memakan dua jam lebih murid kelas 11-IPA 1 bergulat dengan pelajaran kimia, akhirnya jam yang di tunggu-tunggu semua murid pun datang. Bel istirahat terdengar, membuat semua penghuni kelas itu bersorak gembira, begitu pula dengan Jeje dan Letta. Dua minggu lagi, ulangan harian untuk persiapan Ujian Akhir" tutur pak Adnan sembari berjalan meninggalkan kelas. Jeje memutar kedua bola matanya mendengar ucapan tersebut. Persiapan ujian? Oh ayolah mereka baru saja selesai melaksanan Ujian Tengah Semester. "Makan di mana Je, di kelas apa di kantin?" Ujar Letta sambil mengeluarkan kotak Tupperware berwarna merah mudanya. "Kantin aja, biar ketemu sama Sya-" "Makan di sini aja!" teriak Kevin yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu kelas Ratu. Kevin dan Reon melangkah memasuki kelas, lalu duduk dihadapan Ratu dan Letta. "Dari Nalen, tadi dia nitipin ini ke gue," Reon menyodorkan s**u Strawberry kesukaan Jeje. Jejemenaikan sebelah alis matanya dan mengambil s**u kotak dari tangan Reon. Reon terkekeh pelan "Nalen izin pulang, dia dijemput bokapnya. Gak tau ada urusan apa," "Kalian mau ujian emang bisa izin-izin gitu?" tanya Letta keheranan. Karena pada dasarnya Nalen, Kevin dan Reon adalah Junior di sekolah ini. Dan ujian sudah hampir di depan mata. "Kita yang ujian kenapa lo yang repo?." Sahut Kevin, membuat Letta berdecak sebal kepadanya. "Btw , gue jadi penasaran sama bokapnya Nalen, yang katanya CEO itu kan?" ucap Ratu tiba-tiba "Bentar-bentar, lo belum di kenalin sama bokapnya?" Tanya Kevin yang berusaha menelan makanan milik Letta. "Gue aja belum," Balas Letta, membuat Ratu mengangguk. "Parah! Cari deh di google, kali aja ada muka bokapnya" Reon menoyor kepala Kevin membuat lelaki itu mendengus sebal. "Mana ada, bokap Nalen itu tertutup banget sama media, walaupun dia terkenal, dia gak mau muka dia terekspos di internet" jelas Reon, membuat Jeje dan Letta mengangguk mengerti "Gak kaya anaknya ya, tukang eksis di i********:" Seru Jeje, membuat ketiga manusia di hadapannya tertawa mengiyakan. "Gu-," Suara ponsel terdengar di indera pendengaran mereka, membuat mereka bertiga mengeluarkan ponselnya bersamaan. Namun ternyata, suara tersebut berasal dari milik Reon. Ya begitulah mereka, dengan ponsel yang bermerk sama, dan nada dering ponsel yang sama pula. "Nalen nih." Ucap Reon, Jeje Yang tadi berniat akan menyantap makanannya, tiba-tiba mengurungkan untuk memakannya saat Reon mengucapkan satu nama yang mampu membuat jantungnya berpacu dua kali lebih cepat sejak dirinya masih junior seperti mereka. "Loadspeaker Re," cetus Letta, lelaki itu mengangguk mengiyakan, lantas menaruh ponselnya diatas meja Terdengar isakan kecil di seberang sana, membuat mereka berempat saling memandang bingung. "Len, masih hidup lo?" Celetuk Kevin. "Lu sopan dikit kek sama Nalen." kesal Letta sambil berbisik, karena tingkah laku sodaranyanya itu sangat menyebalkan dan selalu tidak bisa mengerti situasi. Seperti sekarang ini, yang masih tidak tau situasi apa. Kevin yang mendapat sentakan kecil dari Letta, hanya tertawa kecil lalu mengacak-ngacak rambutnya pelan. "Gue gak bakalan ke sekolah lagi kayaknya, kalo balik tolong bawaiin tas gue," Jawab Nalen dengan suara seraknya. Reon mengangguk mengerti, namun dari suara yang terdengar dari telepon. Membuat Reon khawatir. Entah lah hanya suara parau, namun Reon bisa merasakan Nalen sedang tidak baik-baik saja. "Lo oke kan Len?" tanya Reon hati-hati. Lelaki di seberang telfon itu hanya terkekeh pelan, lantas terdengar isakan kecil lagi "s**u yang gue titipin buat Nalen gue udh dikasih kan?" "Ini di-" Dengan segera Jeje menutup mulut Reon, agar lelaki itu tidak mengucapkan bahwa Reon dan Kevin sedang bersama dengan Jeje. Reon yang mengerti maksud Ratu, mengangguk paham "Udah gue kasih kok, ada yang perlu gue sampaikan lagi gak?" Nalen berdehem, "Gue nitip dia aja, kayaknya gue ga bakalan masuk ke sekolah buat beberapa hari," "Lo sakit? Kenapa sih. Aneh banget!" "Mungkin lo bakal tau pas lo nganterin tas gue" Ucapan Nalen membuat mereka berempat berfikir keras, terutama Ratu. Ini bukan Nalen yang dia tau, ya walaupun dia baru dekat hanya beberapa bulan. Tapi setidaknya Jeje sudah banyak mengenal lelaki itu. Panggilan itu terputus dengan sepihak, mereka berempat bergulat dengan pikiran masing-masing. Namun beberapa menit kemudian Reon menatap ke arah Jeje. "Lo mau ikut gue apa ngga siang ini?" Jeje yang sedari tadi diam sambil memikirkan sikap Nalen tersentak mendengar ucapan Reon. Gadis itu berdehem pelan, dan membenarkan posisi duduknya "Kemana?" "Rumah Nalen, feeling gue gak bagus. Gue yakin ini pasti ada hubungannya sama Nyokapnya." Kevin mengangguk "Tante Mela, udah gue tebak Re, pasti itu alasannya sampek bokap Nalen bela-belaiin jemput dia kesekolah." "Nyokap Nalen kenapa?" Reon dan Kevin menatap kembali ke arah Jeje. "Lo serius gak tau?" tanya Reon, membuat gadis itu menggeleng tidak mengerti. Kevin menepuk jidatnya, tidak mengerti dengan Nalen yg terlalu tertutup kepada gadis yang notabenenya dekat dengan dirinya. "Nalen gak pernah gitu cerita ke elo tentang dia atau masalahnya?" Jeje menggeleng "Nalen lebih sering ngobrol yang bisa bikin gue seneng, ya mana gue tau kalo dia punya masalah, lagian dia kek fine-fine aja." Kevin menggeleng pelan, sedangkan Reon menghela nafas panjang. "Dari sini gue udah ngerti, kenapa Nalen bertahan sama lo, walaupun dia selalu gak mau ngasih lo kepastian yang jelas di hubungan kalian. " ucap Reon, yang membuat Jeje mengerutkan keningnya tidak mengerti
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN