Chapter 5

1714 Kata
“Untuk Callista yang akan pindah!” “Cheers.” Ting.. Callista, Sean, dan Audi kemudian meminum minuman mereka. Malam ini setelah restoran ditutup, ketiganya merayakan kepergian Callista. Ia sudah bicara dengan Sean dan Audi bahwa dirinya tidak akan bekerja disini lagi. Memang masih terasa sangat mengejutkan bagi mereka. Hanya saja tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah hal tersebut. Lagi pula Callista masih bisa datang kemari. “Aku tidak percaya tidak akan ada yang memintaku memanfaatkan bahan makanan lagi.” Callista pun terkekeh. “Ayolah, Audi. Sean bisa memintamu melakukan itu nanti.” Sean pun menoleh. “Selama ini aku melakukannya karena kau yang meminta.” Callista pun hanya bisa tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku masih bisa pergi kemari setiap kalian selesai bekerja.” Audi hanya menghela napasnya. Callista pun menatap koki itu. “Kau harus mengajarkanku memasak saat liburan.” “Enak saja. Aku lebih baik tidur seharian saat berlibur.” Callista pun memajukan bibirnya. “Kau yakin akan baik-baik saja selama bekerja disana?” tanya Sean. Callista menganggukkan kepalanya. “Semoga saja.” Sean menganggukkan kepalanya. “Ah, s****n. Aku pasti akan merindukanmu. Jangan menjadi sulit untuk dihubungi. Aku masih akan tetap menceritakan segalanya padamu.” Callista pun terkekeh. Ia menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Tenang saja!” ------- “Kita sampai!” Callista turun dari sepeda motor Sean dan kemudian melepaskan helmnya. “Sean! Tersangkut seperti biasa.” Sean yang masih duduk di atas sepeda motor pun kemudian menoleh ke arah Callista dan mulai melepaskan pengait helm gadis itu. “Terima kasih.” Sean langsung melepaskan helm yang dipakai Callista dengan tangannya. “Terima kasih sudah mengantar. Hei! Kau jangan murung begitu karena aku pindah.” Sean pun kemudian tersenyum. “Sebenarnya aku senang karena tidak perlu menjemput secara mendadak.” “Ou, jadi selama ini kau kesal ya? Pasti kau yang sering mengumpati aku secara diam-diam.” Sean pun tersenyum sekejap kemudian tertunduk. “Ya sudah. Ini sudah malam. Pulanglah. Kau masih harus datang besok pagi.” Sean kemudian menoleh ke arah Callista. “Kau akan mulai bekerja disana besok?” Callista menganggukkan kepalanya. Sean pun terdiam dan menatap Callista. Tatapan mata lelaki itu sangat dalam sehingga Callista merasa terkejut. Ia pun terdiam dan menanti hingga Sean bicara padanya. Lelaki itu seperti ingin mengatakan sesuatu. “Ada apa?” tanya Callista. Sean masih tetap terdiam dan menatap matanya dengan lekat. “Tidurlah. Aku tunggu kau mentraktir dengan gaji di tempat kerja baru,” ucap Sean seraya mengelus rambut Callista. “Tentu saja. Tunggu aku, ya?” Sean tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Sudah sana pergi. Ini sudah terlalu malam.” Sean terlihat menganggukkan kepalanya dengan enggan. Ia lantas menyalakan sepeda motor dan menatap Callista sekali lagi. “Bye..” Sean menganggukkan kepalanya kemudian melaju pergi. Callista memasuki apartemennya. Ketika ia membuka pintu, ponselnya pun berbunyi. Ia mengernyitkan kening ketika Audi menelpon. “Halo.” “Apa kau melihatnya?” “Apa?” tanya Callista mengernyitkan kening seraya membuka pintu dan masuk ke apartemen. “Sean.” “Tentu saja. Dia sudah pulang.” “Apa kau mengerti maksud ucapanku?” “Apa?” Callista meletakkan tasnya di atas meja begitu tiba di kamar dan kemudian merebahkan diri di atas kasur. Audi terdengar berdecak sebal. “Dia menyukaimu! Apa kau tidak menyadarinya?” Callista pun terdiam. Ia sebenarnya menyadari hal itu namun sengaja pura-pura tidak menyadarinya. Baginya hanya menjadi teman dengan Sean adalah yang terbaik. “Kau gila ya?” “Callista! Dia itu suka padamu. Kau tidak lihat tadi dia sangat murung karena kau pindah kerja?” “Itu dia hanya merasa murung karena tidak ada lagi satu pun teman yang se-frekuensi dengannya.” Audi kini menghela napas. “Baiklah. Terserah kau saja. Kalau kalian berpcaran, jangan lupa traktir aku.” Callista pun hanya bisa tersenyum seraya menggelengkan kepalanya perlahan. ------- Callista sebenarnya masih merasa penasaran kenapa ia yang diperkerjakan disini oleh Tuan Dave. Rasanya aneh saja. Akan tetapi Callista tidak bisa menemukan alasan yang pas dibalik semua ini. Ia patut merasa curiga karena ini terlalu mendadak. Terlebih lagi seolah tidak ada orang lain selain dirinya. “Aku akan pergi bekerja. Kau boleh pulang atau menikmati hari disini setelah pekerjaan selesai. Ah, ya. Besok aku harus pergi ke Texas untuk lima hari. Tolong siapkan koper berisi pakainku.” Callista pun menganggukkan kepalanya atas perintah Dave. “Baik, Tuan. “No. Aku sudah mengingatkan untuk memanggil Dave saja.” Callista tidak merasa nyaman dengan panggilan itu. “Jadi jangan memanggilku dengan sebutan Tuan.” “Tapi, Tuan.” “Ayolah. Kita seumuran Callista.” Meski seumuran sekali pun, bagi Callista mereka berada di kelas yang berbeda. “Jangan mendebatku, ya?” Dave kemudian tersenyum. ”Baik, Dave.” Sebenarnya lelaki itu sangat ramah dan baik. Sejauh ini selama ia bekerja satu minggu disini, Dave sangat baik dan belum ada tanda-tanda mencurigakan. Lelaki itu sangat sibuk bekerja. Akan tetapi tetap saja Callista harus bersikap waspada. Ia sebenarnya sangat sulit mempercayai orang. Bahkan untuk ukuran Dave yang merupakan bosnya sendiri. Lelaki itu memintanya secara mendadak menjadi asisten saja sudah cukup membuat Callista merasa sangat terkejut dan penasaran. “Aku pergi dulu.” Callista menganggukkan kepalanya. Dave kemudian melangkah keluar dari penthouse. Begitu pintu terutup, ponsel di genggamannya bergetar. Dave mengangkat telepon itu seraya tersenyum. “Selamat pagi, Bibi.” Dave pun tersenyum mendengar suara wanita tua itu. “Aku sudah lakukan seperti yang Bibi minta.” Dave lantas terkekeh. “Firasat Bibi memang tidak salah.” Dave kemudian tersenyum. “Dia memang perempuan yang cocok untuk Lucas.” -------- “Lucia akan pulang hari ini. Kau jemputlah dia ke bandara.” Lucas sebenarnya sangat menyayangi ibunya dan tidak akan pernah menolak permintaan wanita itu. “Mom..” Ia memiliki agenda rapat yang cukup penting dan berniat meminta Ben untuk menjemput adiknya itu. Besok Lucas harus pergi ke Texas. “Dia pasti senang bertemu denganmu setelah sekian lama.” Amanda pun menyentuh tangan putranya itu. “Baiklah, Mom.” Adiknya itu kuliah di Eropa selama tiga tahun dan belum pernah pulang sama sekali. Jadi ibunya itu sangat merindukan Lucia. Komunikasi mereka tetap terjalin dengan baik namun tetap saja Dave yakin ibunya itu sangat merindukan putri bungsunya. “Mommy istirahatlah terlebih dahulu.” “Baiklah, Lucas.” Lucas melangah keluar dari kamar ibunya dan kemudian menuju taman. Dirinya menyalakan cerutu dan kemudian menatap air mancur yang berada di tengah taman. “Lucia besok datang..” Bila gadis itu telah selesai dengan kuliahnya, maka sebenarnya Lucas bisa pindah untuk tidak tinggal di mansion ibunya. Ia kan menjadi sedikit lebih bebas. Selama ini ia tinggal bersama sang ibu karena adiknya itu pergi kuliah terlalu jauh dan tidak kunjung kembali. Lucas pun berpikir untuk menelpon Dave. Ia mengeluarkan ponselnya dan kemudian menelpon lelaki itu. “Halo..” “Kau dimana?” “Di penthouseku. Ada apa, Lucas?” “Aku ingin mampir.” ------- Callista sungguh tidak percaya majikan barunya itu meminta ia datang ke penthouse saat malam hari untuk menyiapkan masakan. Sebenarnya alasannya cukup masuk akal karena rekannya akan datang untuk bertamu. Masalahnya Callista cukup terkejut. Tamu itu sedang berbincang di ruang makan bersama Dave sekarang. Callista tidak tahu siapa tamu Dave namun ia memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dave mengatakan setelah dirinya selesai maka Callista boleh langsung pulang dan kembali esok pagi untuk membereskan semuanya. Ia membawa baki berisi makanan dan menuju ruang makan. “Aku akan terlambat karena menjemput Lucia.” “Jadi kita tidak satu pesawat?” tanya Dave. Callista membulatkan matanya ketika ia melihat siapa tamu yang datang secara mendadak ini. Lelaki itu.. “Ah, rupanya sudah jadi. Silahkan Callista.” Callista yang terdiam dan mematung pun terkejut karena Dave menyadari keberadaannya. Berkat ucapan Dave itu, Lucas mengalihkan pandangannya dan kemudian menatap Callista. Saat itu juga Callista seolah kehilangan kemampuan bernapasnya karena ditatap oleh pria paling diinginkan oleh sebagian besar perempuan di kota New York ini. Lucas Dixie, lelaki itu sangat tampan dari jarak sedekat dan senyata ini. Callista tidak pernah menduga ia bisa bertemu langsung dengan Lucas. Ini terasa seperti mimpi. “Callista?” Panggilan dari Dave membuat Callista tersadar. Dirinya kemudian melangkah menuju meja makan dan mulai memindahkan piring dari atas baki ke atas meja. Rasanya ia ingin berada lebih lama disini karena keberadaan Lucas Dixie. Bahkan aroma harum tubuh lelaki itu tercium dan terasa begitu lekat. Aroma yang membuat Callista diam-diam merasa nyaman. Ia sungguh menjadi semakin mengidamkan lelaki itu. Wajahnya bahkan lebih tampan dari yang selama ini ia lihat di televisi atau majalah. “Terima kasih, Call. Kau boleh pulang sekarang.” “Baik, Dave. Aku akan tinggal sebentar lagi untuk membereskan dapur.” “Apa tidak masalah? Aku khawatir kalau kau pulang terlalu malam.” Callista pun tersenyum. “Tidak masalah. Hanya sebentar. Aku permisi.” Callista melangkah menuju dapur dengan langkah setenang mungkin. Dirinya dapat tahu bahwa Lucas terus saja memperhatikannya selama ia berbicara dengan Dave. Begitu tiba di dapur, Callista menggepal tangannya dengan kuat. “Arghhhh! Astaga!” Callista kemudian menghela napasnya. “Kenapa Dave tidak beritahu kalau yang datang adalah Lucas Dixie! Itu Lucas Dixie! Astaga. Bila aku tahu itu Lucas Dixie, pasti aku akan berhias supaya terlihat lebih cantik.” Callista sungguh menyesali penampilannya kini yang terlihat sangat buruk. Pasti ia terlihat sangat lusuh dan berantakan di depan Lucas. Lelaki itu bahkan sangat rapi dan wangi. “Tapi itu tadi Lucas Dixie! Astaga.” Callista pasti tidak akan melupakan tatapan mata lekat yang lelaki itu berikan padanya. “Dia sangat tampan.” Callista benar-benar jadi semakin mengaguminya. “Dia adalah suami idamanku. Astaga. Sepertinya aku akan gila.” Callista lalu seketika teringat saat ia menyelamatkan nyonya Amanda. “Dia menyebalkan,” gumam Callista. Callista menyilangkan kedua tangannya di depan da*da. “Tapi dia sangat tampan!” ------ “Kekasih baru?” tanya Lucas. Dave mengernyitkan keningnya atas pertanyaan Lucas. “Apa?” “Kekasih barumu?” Lucas masih ingat wajah perempuan yang menyelamatkan ibunya. Ia juga sadar bahwa gadis itu adalah pelayan di restoran Dave. Hanya saja, bagaimana bisa gadis itu berada disini. Dave pun terkekeh. “Bagaimana? Dia cantik tidak?” Lucas hanya diam saja. “Ayolah. Biasanya seleramu untuk perempuan cukup tinggi.” “Dia kekasihmu, mengapa bertanya padaku.” “Aku hanya bertanya pendapatmu.” Lucas pun terdiam. “Cantik. Sangat cantik,” ucap Lucas. Dave pun tersenyum penuh kemenangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN