Chapter 4

1395 Kata
Callista tidak bisa berhenti merasa panik sejak semalam. Bagaimana tidak. Ia mendapatkan telepon langsung dari pemiliki restoran ini, Tuan Dave Addison. Entah kesalahan apa yang telah membuatnya dihubungi langsung oleh sang owner. Biasanya bila berkaitan dengan para pelayan atau para koki di dapur, maka manajernya yaitu Nona Lucy yang akan mengurus. Sepertinya ini pertama kalinya ada pelayan yang langsung dihubungi oleh Tuan David. "Ada apa, Call?" Callista menoleh terkejut ketika mendengar suara lelaki. "Ah, kau mengejutkan saja!" Sean pun terkekeh. Lelaki itu kemudian menghampiri Callista. "Kau seperti akan sidang saja." "Memang akan sidang!" Callista kemudian mengacak rambutnya merasa frustrasi. Sean yang baru saja tiba langsung meletakkan tasnya di loker. "Kau sidang apa?" "Tuan Dave meneleponku dan bilang ingin bertemu sekarang." Sean mengernyitkan keningnya. Ia juga baru menyadari sesuatu. "Pantas saja kau ada disini padahal sekarang hari liburmu." Callista langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat. Apa yang dikatakan Sean itu memanglah benar. Saat ini Callista seharusnya menikmati waktunya dengan menonton film dan merebahkan diri di atas kasur. "Apa kau berbuat sesuatu hingga dia yang langsung menelepon?" "Nah, itu!" Callista menyilangkan tangannya di depan da*da. Ia kemudian menghela napas kasar. "Kau yang tahu apa saja aku lakukan selama bekerja, kan? Aku tidak pernah berbuat kesalahan. Aku tidak menjatuhkan gelas atau piring, menyapa pela*nggan dengan sangat ramah. Aku juga sangat sopan, rapi, dan rajin. Tidak pernah terlambat." Sean menganggukkan kepalanya. "Apa mungkin aku akan dipecat sekarang?" Callista mulai berubah menjadi panik. "Aku tidak tahu. Mungkin kau akan naik pangkat?" Callista kemudian membulatkan matanya. "Naik pangkat apa? Memangnya aku bisa menjadi apalagi disini selain waitress? Bekerja seperti Audi? Ayolah, Sean. Aku memang bisa memasak tapi tidak sehebat Audi." Sean mengangkat satu alisnya. "Ya sudah cepat temui dia. Kalau kau benar naik jabatan, traktir aku dan Audi!" "Kalau aku dipecat?" Sean pun terdiam. "Aku dan Audi akan menghiburmu." ----------- Callista membeku seketika ketika menatap pintu ruangan Dave. Ini pertama kalinya ia bisa masuk ke ruangan itu. Biasanya bila ada sesuatu maka ia akan masuk ke ruangan manajer. Callista beberapa kali bertemu dengan Dave. Lelaki itu sangat tampan dan auranya begitu berkelas. Bila dulu Callista mengira restoran bintang lima ini dimiliki oleh seorang lelaki tua, maka ia salah besar. Nyatanya Dave adalah lelaki muda tampan yang masih lajang. Masih lajang dalam artian belum menikah. Callista sendiri tidak tahu apa lelaki itu sudah memiliki kekasih atau belum. Akan tetapi Callista yakin lelaki seperti Dave pasti sudah memiliki kekasih. Callista menarik napasnya sejenak sebelum akhirnya mengetuk pintu. "Baiklah kalau aku dipecat, aku masih bisa mencari pekerjaan lain. Mungkin restoran depan." Tok tok.. "Silahkan masuk." Debaran jantung Callista terasa langsung meningkat saat ia memutar knop pintu. Rasanya tidak ingin menjalani ini, namun ia tidak bisa melarikan diri. "Permisi, Tuan." Callista sebenarnya terkejut saat ia melihat Dave. Lelaki itu seolah bagaikan malaikat dengan aura kebaikan yang bersinar begitu terang. "Silahkan duduk." Callista reflek tersenyum ketika melihat Dave tersenyum padanya. Dirinya pun melangkah menuju kursi di depan meja kerja Dave. "Terima kasih sudah datang. Aku pasti sangat mengagetkanmu." 'Benar-benar sangat mengagetkan, Tuan!' Callista hanya mengatakannay dalam hati. Nyatanya ia tersenyum sepenuh hati di depan sang bos. "Tidak masalah, Tuan. Sebuah kehormatan karena bisa bicara langsung dengan Tuan." Callista tidak tahu yang ia ucapkan itu sopan atau tidak, baik atau tidak. Hanya itu yang bisa ia pikirkan sekarang. "Baiklah. Aku dengar kinerjamu dari Lucy dan beberapa orang." Callista langsung membulatkan matanya. Ia terdiam karena tidak tahu harus merespon bagaimana. Dave kemudian nampak mengeluarkan sebuah berkas. "Kinerjamu cukup bagus dan aku butuh seorang asisten. Ini berkas perjanjian kontraknya. Bila kau berkenan berganti pekerjaan, silahkan baca dulu sebelum kau menyetujuinya." Mata Callista membulat karena terkejut. "Asisten?" tanyanya. "Ya. Asisten pribadiku. Silahkan dibaca kontraknya." Callista membuka mulutnya. Ia benar-benar merasa sangat terkejut akan hal ini. Sangat=sangat terkejut. Akan tetapi Callista menuruti apa yang diucapkan oleh Dave. Ia menarik berkas itu dan mulai membacanya. "Kau pasti terkejut." Dave kemudian tersenyum. "Sebenarnya aku sudah lama memantau beberapa pegawai untuk mencari yang cakap di antara mereka. Kinerjamu yang paling bagus." Pertanyaan yang tidak berani Callista lontarkan kini terjawab sudah. Ia membaca semua poin mengenai pekerjaan apa saja yang harus dirinya lakukan. Pekerjaan yang dilakukannya sebenarnya tidak terlalu berat. Lebih ke seperti menjadi asisten rumah tangga untuk Dave. Ia hanya perlu membersihkan penthouse David dan mempersiapkan makanan serta pakaian lelaki itu. "Mengapa tidak memanggil koki, Tuan?" Callista ingin mengutuk mulutnya yang terbiasa langsung bertanya karena penasaran. "Maaf." David pun hanya tersenyum. "Asistenku sebelumnya adalah wanita tua. Beliau sudah terlalu tua. Aku lebih suka satu orang bisa mengurus semuanya. Lagi pula aku jarang makan di rumah. Hanya beberapa kali bila ingin." "Tapi rasa masakanku tidak terlalu enak." "Benarkah?" "Iya, Tuan." Sebenarnya rasa masakan Callista sangat enak. Ia sudah mendapatkan testimoni positif dari orang-orang yang pernah mencoba masakannya. Hanya saja ia tidak ingin terlalu besar kepala dan dengan percaya diri mengatakan itu kepada Dave. Ia hanya khawatir ternyata ekspetasi Dave terpatahkan ketika ia mencicipi makanan Callista. Masalah rasa masakan itu tergantung pada selera setiap orang. Jadi Callista tidak tahu selera Dave bagaimana. Akan lebih baik ia merendah saja. "Tidak masalah, Kau bisa belajar memasak atau beberapa kali memesan masakan. Tapi, aku sebenarnya butuh masakan rumahan. Kau bisa memanggil koki untuk mengajarimu bila mau." Callista sungguh tidak habis pikir dengan ide Dave tersebut. Mengapa ia tidak mencari orang lain yang lebih kompeten dibanding Callista. "Bagaimana?" Callista pun menjadi terkejut. "Saya belum selesai membacanya, Tuan." "Baiklah. Silahkan lanjutkan." "Terima kasih, Tuan." Callista melanjutkan kegiatan membaca kontrak itu. Dirinya merasa terkejut ketika melihat besaran gaji yang akan ia dapatkan. Demi apapun itu bahkan berkali lipat dari gaji bulanan dan tipsnya selama menjadi waitress.  Bila begitu maka ia pasti bisa segera melunasi hutang Paman dan Bibinya yang menyebalkan itu. "Aku akan memberimu waktu untuk memikirkan itu dulu. Tapi ku harap kau tidak menolaknya. Aku sudah terlalu pusing untuk mencari asisten." Callista tidak tahu apa alasan untuk menolak pekerjaan ini. Lagi pula pekerjaan ini cukup mudah dan gajinya sangat besar. Akan tetapi Callista menjadi curiga. Dirinya selalu memegang prinsip, bila segala sesuatu berjalan dengan mudah maka harus ada yang ia waspadai.  Melihat wajah ragu yang ditunjukkan Callista pun, Dave mengangkat satu alisnya. "Bila ada yang membuatmu merasa ragu atau ada yang ingin kau tanyakan, silahkan tanyakan saja. Aku terbuka untuk pertanyaan apapun," Callista sangat ingin bertanya ini namun ia takut dipecat. "Maaf sebelumnya, Tuan. Bila saya menolak ini apa saya tetap dapat bekerja sebagai waitress?" Dave terlihat terkejut. "Kau mau menolaknya?" tanyanya. "Saya belum memutuskan." Dave pun terlihat terdiam sejenak. "Kau masih bisa tetap bekerja disini." Callista menganggukkan kepalanya merasa lega. "Saya ingin bertanya satu hal lagi, Tuan." "Silahkan." Callista sungguh bingung harus mengatakan apa. Ia sangat penasaran akan ini. "Gaji ini terlalu besar untuk pekerjaan ini. Apakah pekerjaannya benar-benar hanya mengurus penthouse?" Callista kemudian menggigit bibirnya karena merasa berdebar. Ia takut salah bicara dan bosnya itu justru merasa tersinggung. Keheningan pun meliputi ruangan. Callista menundukkan kepalanya. "Maaf bila saya salah bicara, Tuan." Callista menautkan kedua tangannya dengan erat dan berdoa dalam hati agar lelaki di hadapannya ini tidak mengusirnya secara tiba-tiba. Detik kemudian Dave pun tertawa. Callista mendongakkan kepalanya merasa bingung. "Tenang saja, Callista. Pekerjaanmu hanya mengurus penthouse, menyiapkan makanan, dan memastikan pakaianku bersih dan rapi. Hanya itu saja. Kau tenang saja. Aku tidak b******k bila itu yang kau pikirkan. Kau bisa pulang bila pekerjaanmu telah selesai. Atau bila ingin tidur disana juga tidak masalah. Asalkan kau sudah berada di penthous di jam dimana seharusnya kau bekerja." Sebenarnya Callista tidak bermaksud mengatakan Dave sebagai lelaki yang b******k.  Hanya saja ia takut ternyata Dave memang benar-benar akan memintanya melakukan hal lain. "Semuanya sudah tertuang dalam kontrak. Kalau aku melakukan sesuatu di luar kontrak, kau bisa menuntutku." Callista meringis mendengar ucapan bosnya itu. Ia jadi merasa sangat tidak enak karena telah salah berpikir. Lagi pula selama ini ia tahu bagaimana baiknya Dave. Jadi seharusnya Callista tidak berpikir sejauh itu. "Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud." "Tidak apa-apa. Aku senang bila kau berpikiran se-defensif itu. Itu bagus. Bila ada poin kontrak yang ingin kau rubah, kita bisa mendiskusikannya." Callista menganggukkan kepalanya. Semua poin yang tertuang dalam kontrak itu sudah sangat bagus. Tidak merugikan Callista maupun Dave sendiri. Terutama gaji besar yang sangat menggiurkan. Apalagi yang bisa menghentikan Callista? Ia bahkan masih bisa datang kemari untuk bertemu rekan kerjanya saat pekerjaannya sudah selesai. Pekerjaannya tidak akan sepadat ketika bekerja di restoran namun penghasilannya sangat besar. Callista kemudian tersenyum. "Saya bersedia, Tuan." Dave pun tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN