Atap (2)

2086 Kata
“Kamu suka menyendiri di sini, ya? Emang enak, sih, pemandangannya bagus, udaranya juga sejuk,” ucap Panji kepada murid perempuan yang sedang berdiri menghadap ke arah Gunung Agung sambil menikmati angin. Mendengar ada seseorang mengajak berbicara, membuat perempuan itu hanya menoleh dengan wajah datar, lalu kembali mengalihkan pandangan untuk melihat Gunung Agung lagi. “Cantiknya …,” batin Panji ketika tanpa sengaja menatap wajah murid perempuan di sampingnya saat menoleh ke arahnya. Mata Panji berbinar saat tahu ada bidadari di sekolah ini. Mata sipit khas asia timur dengan sorot mata tajam yang cantik, rambut ikal sebahu yang terlihat sangat cocok dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, serta kulit putih mulus yang terlihat seperti iklan sabun. Bahkan ketika terkena sinar matahari, kulit perempuan itu tampak seperti cermin, memantulkan cahaya matahari yang membuatnya terlihat semakin cerah. Panji sampai menelan ludah karena tidak percaya jika perempuan secantik ini ada di hadapannya sekarang. “Di Banyuwangi gak ada deh yang kayak gini, “ batin Panji mengagumi bidadari yang diciptakan Tuhan di bumi ini. Sayangnya, bidadari ini terasa dingin, sedingin udara di puncak Gunung Agung yang sedang ia pandangi. Melihat guru yang tiba-tiba hadir di sampingnya, tidak membuat murid yang sedang membolos itu kabur. Ia tetap saja memandangi Gunung Agung yang berdiri megah di ujung matanya. Panji pun bingung dengan cara menghadapi murid yang terlihat tidak memiliki rasa takut terhadap guru ini. Apa yang harus ia lakukan untuk bisa berbicara dengannya? Tipe orang pendiam adalah salah satu yang paling sulit ditaklukkan oleh seorang guru BK, karena guru BK tidak bisa mengerti tentang jalan pikirannya. Panji berpikir, apakah ia harus bertanya langsung tentang alasannya membolos? Atau ia harus menggunakan pendekatan cara lain? Melihat aktivitas murid perempuan yang senang memandangi Gunung, membuat Panji berasumsi jika ia sangat menyukai ketenangan dan kesendirian, hal itulah yang mendasarinya berada di atap seorang diri. Setelah Panji dan murid perempuan itu terdiam cukup lama, Panji pun mencoba membuka obrolan dengan menggunakan kewenangannya sebagai guru BK. “Kenapa kamu ada di sini pas jam pelajaran? Kenapa kamu ga masuk kelas?” tanya Panji dengan sedikit meninggikan nada bicara. Ia tidak ingin membentak dan memberikan kesan seram kepada murid-murid di sekolah barunya, ia hanya ingin menjadi sedikit tegas, agar ada rasa segan di mata para murid, termasuk perempuan di sampingnya ini. Mendengar ucapan Panji, tidak membuat perempuan itu bergeming. Ia bahkan tidak menoleh ke arah guru BK di sampingnya, tidak juga beranjak ke kelas. Panji pun kembali terdiam, ia menunggu apa yang akan diucapkan oleh murid nakal di sebelahnya. “Sepertinya dia bukan orang jahat, kau tidak perlu bersembunyi,” ucap perempuan itu tiba-tiba dengan tatapan mata yang masih lurus memandang Gunung Agung dan raut wajah yang tetap sangat datar. Panji pun bingung dengan apa yang ia katakan, karena ucapan perempuan itu terdengar tidak nyambung dengan pertanyaan yang diajukan. Tiba-tiba, Panji merasakan sesuatu yang tidak nyaman di belakang leher. Ada udara dingin yang berhembus. Rasanya sangat berbeda jika dibandingkan dengan hawa dingin pegunungan yang ada di sekitar. Rasa dingin ini, lebih mirip seperti ketika membuka lemari es di hari yang dingin. Panji menarik nafas panjang, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. “Pasti ada sesuatu yang gak beres nih,” batin Panji. Ia tidak berani menatap ke belakang, karena yakin jika ada sesuatu yang salah tepat di belakang punggungnya. Sesaat kemudian, Panji kembali merasakan hembusan angin. Tapi bukan angin dingin yang berhembus, melainkan angin hangat yang terasa kontras dengan hawa dingin yang ada di sekitar. Sejenak kemudian, hembusan angin dingin kembali terasa. Dingin, panas, dingin, panas, saling bertiup bergantian. Membuat Panji semakin yakin jika ada sesuatu yang tidak beres di belakangnya. “Kamu ngomong sama sesuatu di belakang saya, ya?” Panji berbicara kepada perempuan di sampingnya, tanpa menengok ke arahnya. Panji tidak ingin melihat sesuatu yang tidak wajar di ekor mata. Meskipun ia sudah diberitahu agar tidak takut dengan penampakan-penampakan aneh di sekolah, tetapi tetap saja ia masih merasa belum bisa beradaptasi dengan semua setan dan hantu yang suka muncul secara tiba-tiba. Tanpa Panji sadari, di belakangnya telah berdiri sosok burung hantu berukuran besar yang menatap Panji dengan tajam. Di sela-sela paruh, terdapat darah yang menetes perlahan, setetes demi setetes. Hembusan angin panas-dingin yang dirasakan Panji merupakan angin yang tercipta dari keberadaan burung tersebut. Sedikit saja burung itu bergerak, maka udara di sekitarnya akan ikut bergerak. Jangankan menggerakkan badan, sedikit menoleh saja, membuat udara di sekitar seketika berhembus. Saat kepala burung itu bergerak mendekati Panji, udara panas akan berhembus. Sedangkan ketika ia bergerak menjauhi Panji, udara dingin lah yang berhembus. “Tenanglah, Pak, dia juga tidak jahat,” sahut perempuan itu datar. “Lebih baik Bapak juga jangan ikut campur dengan urusan siswa-siswi di sini, kalau Bapak tidak ingin celaka,” lanjut perempuan itu sambil berbalik, kemudian melangkah santai meninggalkan Panji sendirian. Satu langkah, dua langkah, Panji masih bisa merasakan hembusan angin panas dan dingin ketika perempuan itu meninggalkannya. Tiga, empat langkah, tiba-tiba Panji merasa bahunya berubah ringan dan hembusan angin aneh di belakang lehernya tidak terasa lagi. Panji yakin, makhluk aneh yang semula ada di sana telah pergi. Panji menghirup nafas panjang, lalu ia berbalik. Perempuan yang baru saja ada di sampingnya, sudah sampai di ujung pintu. Dengan lantang, Panji berteriak, “nama kamu siapa?!” Perempuan yang membuka pintu atap itu, menjawab pertanyaan Panji sambil melanjutkan langkah tanpa menoleh. Tatapan matanya melihat lurus ke bawah, ke arah tangga gelap di bawah kakinya dengan tatapan dingin seakan tidak ada nafas kehangatan di matanya. “Rika, Harada Rika!” Suara lembut dan hangat yang keluar dari mulut perempuan itu, berbanding terbalik dengan sikapnya yang dingin dan misterius. Panji terdiam di tempat, membiarkan Rika menghilang dari pandangan matanya. Panji masih terheran-heran dengan tingkah dari murid-murid di sekolah ini. Yuni yang bisa muncul sesuka hati dengan membawa barang-barang Panji yang hilang, Komang yang sudah berusia setengah abad namun masih berada di tingkat awal, lalu Rika yang dingin dan misterius, serta terlihat mampu berkomunikasi dengan makhluk halus di sekolah. Entah apa lagi yang akan ditemui Panji setelah ini. Saat Panji tenggelam di dalam lamunan, tiba-tiba terdengar bel dari bawah. “Waktunya istirahat, ya?” ucap Panji pelan sambil melangkah, meninggalkan atap yang indah dengan pemandangan Gunung Agung yang tidak kalah cantik. Namun saat Panji membuka pintu atap, ia kembali harus menghadapi tangga gelap yang menyeramkan. Panji menghela nafas panjang, lalu ia melihat dengan lekat ke bawah, memastikan tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Sedetik kemudian, Panji segera berlari dengan cepat ke bawah. Langkah kaki yang beradu dengan tangga besi, menimbulkan suara nyaring yang terdengar sangat berisik. Bahkan Panji membuka pintu bawah dengan kencang, agar ia segera keluar dari ruang menyeramkan itu. Entah apa yang Panji temui selama beberapa detik di tangga, ia tidak tahu apa saja yang sudah menemuinya di sana. Hari pertama Panji di sekolah, ia sudah menemui banyak kejadian. Entah apa lagi yang akan ia temui setelah ini. Panji berjalan santai setelah keluar dari ruang tangga, menuju ke kantin di mana banyak siswa-siswi berkumpul untuk makan siang. Keadaan sekolah tidak sesepi dan semenyeramkan biasanya, karena banyak murid berlalu-lalang. Meski begitu, hawa gelap yang pekat masih tetap menyelimuti. Pemandangan di kantin, sama seperti sekolah pada umumnya. Setidaknya, itulah yang terlihat ketika pertama kali menginjakkan kaki di kantin pada jam istirahat makan siang. Hingga tiba saatnya, tiba-tiba terdengar suara nampan logam yang terjatuh di salah satu sudut. Semua orang menoleh ke arah suara itu berasal. Rupanya, segerombolan murid perempuan tampak sedang merundung siswa laki-laki. “Kamu tuh minggir, deh, tempat kita tuh di sini,” seru seorang perempuan yang terlihat cukup tinggi, dengan tubuh bagian depan yang tampak sangat menonjol. SIswa yang dirundung hanya bisa diam, lalu perlahan berdiri dan meninggalkan mejanya yang berantakan dengan makanan yang berserakan di atasnya. “Apa sih kamu lihat-lihat, ha?” bentak gadis itu melihat siswa yang dirundung masih menatap ke arahnya. Sementara siswa-siswi lain hanya melihat tanpa melakukan apapun. Bahkan ibu-ibu yang menjaga kantin pun membiarkan kejadian itu tanpa melapor kepada guru atau petugas keamanan, seakan hal seperti ini sudah biasa terjadi di sekolah. “Lia, yakin kamu mau duduk di sini? Berantakan gitu …,” bisik seorang siswi yang berdiri tepat di samping si perundung yang dipanggil dengan nama Lia. “Ya yakin lah, makanya kalian bersihin!” Gadis bernama lia itu kembali berucap dengan nada tinggi, lalu teman-temannya yang lain hanya menurut, membungkuk, dan segera mengerjakan perintah Lia tanpa protes sedikitpun. Lia pun hanya berkacak pinggang melihat tingkah dari teman-temannya. Ia merasa senang melihat orang lain mau menuruti perkataannya. Siswa yang dirundung, tidak serta merta menuruti perkataan dari Lia. Ia merasa dendam, marah, tidak terima jika selama ini ia hanya menjadi murid kelas bawah dan bulan-bulanan para siswa yang dianggap berkuasa. Padahal, alasan murid itu berada di Tumimbal pun tidak kalah mengesankan dibanding para siswa yang lain. Hanya saja, penampilannya yang culun dengan kacamata tebal serta badan yang kurus dan rambut klimis, membuatnya selalu diremehkan oleh siswa lain. Selama ini pun, ia tidak pernah berusaha melawan dan hanya diam menerima perlakuan dari orang-orang di sekolahnya. Tapi hari ini, sepertinya siswa culun itu sudah kehabisan kesabaran. Tidak ada orang yang memperhatikan keberadaan siswa yang dirundung, karena penampilan culun dan tubuh kecil membuatnya menjadi tidak terlihat. Siswa itu dengan santai mengambil nampan besi yang tergeletak sembarangan di lantai, lalu ia berjalan ke arah belakang Lia yang sedang tertawa terbahak-bahak dengan berisik, menikmati kekuasaannya. Benar-benar tidak ada orang yang memperhatikan murid lelaki culun tersebut. Bahkan karena terlalu tidak terlihat, ia tidak perlu mengendap-endap untuk berdiri di belakang Lia. Hingga tiba-tiba, siswa itu mengayunkan nampan logam di tangannya, menghantam bagian belakang kepala Lia dengan keras, hingga nampan itu penyok. “Argh!” Lia mengaduh sambil tertunduk, semua teman satu gengnya segera berlari, memegangi kedua tangan siswa culun tersebut dan menariknya ke belakang, agar ia tidak bisa memberikan perlawanan lagi. Siswa culun itu hanya diam, sementara matanya terus menatap Lia dengan tatapan marah. Tidak terima dengan perlakuan siswa tersebut, Lia segera menghampirinya sambil memegangi bagian belakang kepalanya yang sakit, lalu mencengkam rahang siswa tersebut dengan keras. “Kamu gak terima di-bully, hah? Gak terima? Berani ngelawan aku? Kelas berapa sih kamu?” Lia menarik lengan kanan siswa tersebut, melihat bet yang terpasang di lengan bajunya. “Ya ampun! Baru kelas satu udah berani sama senior, ya? Kurang ajar banget junior-junior sekarang!” bentak Lia sambil kembali mencengkram rahang siswa culun tersebut. suaranya yang lantang terdengar berisik memenuhi seluruh kantin. Tapi anehnya, siswa-siswi lain yang ada di kantin seakan tidak melihat adanya perkelahian tersebut. Mereka dengan santai melahap makanan di depan mereka dan bercengkrama dengan teman-temannya. Tidak terkecuali dengan seorang perempuan mungil dengan rambut bob pendek yang tidak bisa menemukan sambal di mejanya. Dengan santai, gadis mungil itu berjalan ke arah penjaga kantin. “Bu, di meja aku gak ada sambel. Aku gak bisa makan bakso kalau gak pakai sambel …,” ucap gadis itu dengan menyeret suara. Setelah mendapatkan sambal, gadis itu segera kembali ke mejanya. Di tengah jalan, ia tanpa sengaja melirik ke arah Lia dan gerombolannya yang sedang merundung siswa lain. Gadis pendek itu tidak memberikan respon apapun, ia hanya berjalan lurus ke mejanya. Tapi saat duduk, gadis pendek itu justru bergumam, “Lia lagi … Lia lagi.” Duduk seorang diri, membuatnya merasa bebas untuk berghibah di belakang orang lain. Sementara di tempat Lia merundung, siswa culun berkacamata itu tampak tidak takut menghadapi Lia. Tatapan matanya yang tegas dan tajam, membuat Lia semakin marah terhadapnya. “Kamu berani, ya?” bentak Lia sambil melotot dan mendekatkan wajah ke arah siswa culun itu. “Cuh!” Tanpa aba-aba, siswa culun itu tiba-tiba meludah tepat ke arah hidung Lia, membuat siswi senior yang terlihat seperti bos geng tersebut semakin marah. Lia mengangkat tangan, hendak menampar siswa culun di depannya. Namun saat ia akan mengayunkan tangan, tiba-tiba gerakannya terhenti. “Siapa sih ini?!” Lia tidak terima ada orang yang menghentikan aksi heroiknya. Selama ini, tidak ada orang yang berani terhadapnya. Dengan kesal, Lia menengok ke belakang, di mana Panji menatapnya dengan tatapan merendahkan sambil memegang tangan Lia. Umumnya, dalam keadaan seperti itu, siswa yang berbuat onar akan takut terhadap gurunya. Tapi sayang, hal itu tidak berlaku untuk Lia. “Siapa sih ini?! Kamu guru baru ya? Gak kenal siapa aku? Berani sama aku?” seru Lia sambil menarik-narik tangannya agar dilepaskan, tetapi Panji tetap menggenggam tangan Lia dengan erat. “Ikut Bapak ke ruang BK sekarang!” seru Panji sambil menarik tangan siswa culun yang dirundung, beserta tangan Lia dengan kasar. “Woi, lepasin! Lepasin gak? Lepasin!” Lia terus saja berontak, namun sepertinya tindakannya sia-sia karena Panji terus saja menarik mereka berdua menuju ke ruang BK.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN