Lia dan Siswa Culun

1218 Kata
“Ini semua gara-gara kamu! Kamu ngerusak nafsu makanku!” “Aku udah duduk di sana duluan, ya?!” “Kursi itu kan pengen kutempatin, tapi kamu udah di situ duluan!” “Cari tempat lain kan bisa!” Bukannya berdamai dan menyesali perbuatan mereka masing-masing, Lia dan siswa culun yang ia rundung justru saling adu mulut di ruang BK. Hal itu membuat Panji naik pitam. Meski ia memang seorang guru BK yang harus memiliki kesabaran tinggi terhadap siswa-siswi nakal, tetapi apa yang ia lihat di depan matanya benar-benar sudah kelewatan. Tidak tahan dengan suara berisik yang tepat berada di depan batang hidungnya, Panji mengerutkan dahi sambil mengepalkan tangan di atas meja. “DIAM!” bentak Panji yang seketika membuat Lia dan siswa culun itu terdiam. Suara Panji yang lantang dan tegas serta bulat layaknya lelaki dewasa, membuat Lia dan siswa culun itu tertunduk takut. Bahkan Lia yang sedari tadi bertingkah bossy kini takluk di hadapan Panji. “Heh kamu! Siapa namamu?” ucap Panji kepada Lia. Lia yang masih tertunduk, tidak tahu jika Panji menunjuk ke arahnya. Lia dan siswa culun itu mengangkat kepala bersamaan, saling menoleh, lalu memutar kepala melihat Panji yang ada di depan mereka. “Sa–saya, Pak?” sahut Lia sambil menunjuk dirinya sendiri. “Bukan, Ibu kantin! Ya kamu lah!” bentak Panji. Menjadi guru BK yang baik hati, ramah, dan dicintai seluruh murid rupanya bukan hal mudah di Tumimbal mengingat murid yang harus dihadapi Panji ternyata lebih ekstrim dari apa yang dibayangkan. Sebelum masuk ke Tumimbal, Panji membayangkan bahwa sekolah internasional secara umum pasti memiliki siswa-siswi yang beretika karena berasal dari keluarga berada. Tapi apa yang dialami setelah mengajar di Tumimbal, membuat niat Panji untuk menjadi guru BK idaman luntur seketika. “Saya Lia, Pak, siswi tingkat akhir,” jawab Lia dengan merendahkan nada bicara. “Lia …,” gumam Panji sambil menggulir tetikus di tangannya. Ia sedang mencari laporan kenakalan atas nama Lia. Di pahanya, buku catatan kenakalan juga sedang dibuka. Ia benar-benar ingin tahu bagaimana tingkah laku siswa-siswi yang ia hadapi sehari-hari selama mengajar di Tumimbal. Menurut data yang tertulis, Lia adalah siswi pembuat onar, sama seperti Komang. Bahkan Lia bisa dibilang sebagai versi perempuan dari Komang. Sambil menelusuri laporan kenakalan, Panji sesekali melirik ke arah Lia, memperhatikan bentuk tubuhnya dari atas ke bawah. “Sebenernya Lia ini cukup cantik, badannya juga bagus banget. Tapi sayang, tingkahnya terlalu absurd, bikin citranya jomplang,” batin Panji. Ketika Panji menemukan data pribadi Lia, ia tersenyum nakal melihat tanggal lahir dari siswi yang berbuat onar di depannya. “Delapan belas tahun, ya?” pikir Panji. Usia Lia memang bisa terbilang legal, meski saat ini ia masih duduk di bangku SMA. Melihat Lia yang bukan lagi siswi di bawah umur, membuat Pikiran nakal Panji mulai melayang ke mana-mana. Ah tidak, pikirannya tidak berlari senakal itu. Ia masih akan tetap menjaga citra sebagai seorang tenaga pendidik. Karena saat Panji disumpah menjadi guru, ia mengemban tanggung jawab besar untuk tidak merusak nama baik profesi yang ia jalani. Maksud pikiran nakal di sini adalah, memungkinkan untuk Panji menjalin cinta dengan siswinya sendiri, selagi ia sudah masuk usia dewasa sesuai dengan standar perundang-undangan seperti yang tertulis dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak di mana pasal 1 berbunyi, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Hal itu menegaskan apabila Panji menjalin cinta dengan Lia, maka ia tidak akan terkena hukum pidana yang berkaitan dengan perlindungan anak. Apalagi, dibanding dengan siswi-siswi yang ia temui sebelumnya, Lia termasuk salah satu siswi yang memiliki tubuh terindah. Tapi memang, baru sedikit siswi yang ditemui oleh Panji. Mungkin di luar sana masih banyak murid Tumimbal yang memiliki paras dan tubuh elok yang bahkan memiliki kepribadian yang lebih baik dibandingkan Lia. Tapi memang dasar Panji adalah pecinta wanita, sehingga ia tidak memiliki standar khusus dalam memilih lawan jenis. “Kalau kamu?” tanya Panji sambil menoleh ke siswa culun berkacamata. “Kuzu, Pak,” jawab siswa itu singkat. “Kuzu?” Panji kembali menggulir tetikus dan membolak-balik catatan kenakalan di atas pahanya. “Gak ada nama Kuzu di sini! Nama kamu siapa?!” Panji kembali naik pitam ketika mendengar jawaban tidak masuk akal dari muridnya. “Ba–Bagus Kusuma, Pak,” jawab siswa itu dengan lantang namun terbata. “Bagus … Bagus … Bagus …,” gumam Panji sambil menggulir tetikus hingga ia menemukan data dari murid di depannya. “Orang punya nama keren gini malah malah diganti jadi Kuzu. Nama apa itu? Nanti kalau kamu mau ngubah nama di Dispendukcapil malah ribet, tau gak?” gerutu Panji yang disambut dengan Kuzu yang kembali menunduk karena merasa dimarahi oleh gurunya. “Lagian nama kok Kuzu, kelihatan wibu banget,” gumam Panji pelan. “Apa, Pak?” Kuzu merasa sepertinya Panji membahas tentang dirinya. “Ah, enggak,” jawab Panji singkat. Ia tidak ingin anak muridnya mendengar jika ia menghina nama panggilannya. “Jadi sekarang siapa yang mau menjelaskan apa yang terjadi di kantin tadi?” Panji melipat tangan ke atas meja, lalu memandang dua siswa di depannya yang sedang menunduk. “Tadi tuh saya mau duduk, eh kursi yang saya pilih udah ada makhluk astral ini, Pak yaudah saya usir,” ucap Lia sambil tetap menunduk. “Tapi saya udah ada di sana duluan, Pak,” Kuzu mengangkat kepala, memandang Panji sambil menaikkan suara. Kuzu merasa bahwa dirinya ada di pihak yang benar. “Ya kan saya mau duduk di situ, Pak. Masa ga boleh, sih? Suka-suka saya dong mau duduk di mana,” Lia pun ikut meninggikan suara. “Hey, diam!” Panji menggebrak meja, ia tidak tahan melihat dua orang di depannya tidak ada yang mau mengalah. Tetapi dari dua keterangan yang ia dapat, Panji bisa mengambil benang merah atas apa yang terjadi. “Jadi, Lia, kamu mau duduk di kantin?” “Iya, Pak,” jawab Lia sambil merendahkan nada bicara. “Dan kamu, Bagus, kamu udah ada di sana?” “Iya, Pak.” Kuzu ikut merendahkan suara. “Hahhh … Bagus, kamu kembali aja ke kantin, ambil makan siang lagi. Punyamu tadi dijatuhin sama Lia, kan? Bilang aja sama Bu Kantin, disuruh Pak Panji BK.” “Ha? Yang bener, Pak?” Kuzu melotot sambil mengembangkan senyum, tidak percaya dengan ucapan dari guru BK-nya. “Iya … udah, Bapak mau urus Lia dulu.” Ucapan Panji disambut dengan senyum sumringah dari Kuzu. Ia segera berlari keluar ruang BK dengan gembira. “Lalu saya, Pak?” Lia tampak protes karena tidak terima Kuzu seakan mendapat perlakuan khusus. “Bapak udah lihat catatan kenakalan kamu, kamu itu problematik banget anaknya, ya? Enaknya dikasi hukuman apa nih?” Panji menyangga dagu dengan tangan yang ditumpu ke meja, sambil menatap Lia dengan tajam. “Ya ….” Lia menggoyang-goyangkan badannya manja. “Bapak maunya apa?” Lia melirik Panji dengan tatapan nakal. “Maksud kamu apa?” Panji mengernyitkan dahi, bingung dengan perkataan Lia. Tanpa menjawab perkataan Panji, Lia beranjak dari tempatnya duduk, lalu berjalan santai menuju ke pintu ruang BK. Panji mencoba membiarkan Lia bertindak sesuka hati, sambil mengawasi apa yang akan dilakukan oleh murid nakalnya tersebut. Lia celingak-celinguk, mengawasi jika ada murid lain yang sedang melintas di dekat sini. Setelah memastikan bahwa lingkungan aman, Lia kembali masuk dan segera mengunci pintu ruang BK dari dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN