Buka-bukaan

1527 Kata
“Lia, kenapa pintunya kamu tutup?” Panji menatap Lia dengan mata tajam. Ia tahu, ada sesuatu hal nakal yang direncanakan oleh Lia terhadap Panji. Bagaimanapun, Panji bukan anak kemarin sore. Pada masa mudanya, Panji pernah nakal, sehingga membuatnya cukup hafal dengan modus yang digunakan oleh perempuan yang ingin bermain api dengannya. “Enggak apa-apa, Pak, saya cuma malu aja kalau ada yang lihat,” sahut Lia dengan suara manja. Lia bergerak perlahan, berlenggak-lenggok dari ujung pintu, mendekat ke arah Panji yang duduk di kursinya. Panji kembali menopang dagu, pandangannya tidak lepas dari mata Lia. "Lihat apa emangnya, Lia?" Lia yang menangkap bahwa Panji mulai memperhatikannya, semakin semangat berlenggak-lenggok di depan guru BK itu. “Saya tahu loh dari tadi Pak Panji memperhatikan saya. Iya kan?” Dengan tidak sopan, Lia duduk di atas meja. Panji hanya mengangkat sebelah alis, tidak memberikan reaksi apapun. Melihat Panji yang tampak memiliki iman yang kuat, membuat Lia semakin tertantang. Dengan berani, Lia membuka kancing baju paling atas. Lia kembali berlenggak-lenggok di atas meja, memamerkan tubuh indahnya kepada guru BK tercinta. Bukannya tergoda, Panji hanya menghela nafas sambil menepuk jidat, ia tidak menyangka ada murid yang secara frontal melakukan hal ini kepada dirinya. Dalam hati, Panji sebenarnya sangat terkejut dengan tingkah laku dari Lia. Tetapi jika ia menunjukkan perasaan yang sesungguhnya, bisa dipastikan saat itu juga Panji akan jatuh ke dalam buaian Lia dan ia justru yang akan dimakan oleh anak didiknya sendiri. Dengan tenang, Panji mengangka kepala, memandang Lia yang masih duduk di atas meja tepat di matanya. “Lia, di Kuta banyak banget cewek seumuran kamu yang nyaris gak pake baju, dan Bapak biasa aja. Terus dengan kamu bertingkah kayak gini, bisa bikin bapak kalap gitu?” Ucapan Panji sangat menyakiti perasaan Lia. Gadis berambut panjang itu berpikir jika semua lelaki akan tunduk jika ia menunjukkan tubuh kepadanya. Namun sayang, masa lalu Panji yang kelam membuatnya tidak mudah tergoda dengan tubuh wanita. Tidak terima dengan perkataan Panji yang menurutnya sangat merendahkan harga dirinya, membuat Lia geram. Dengan berani, murid Tumimbal tingkat akhir itu membuka seluruh kancing baju, memperlihatkan tubuh bagian depannya yang hanya berbalut pakaian dalam berwarna cerah. Secara spontan, Panji mengalihkan pandangan. Ia menoleh ke arah lain, karena tidak ingin merusak citranya sebagai seorang guru. Apalagi, ini adalah hari pertamanya mengajar. Panji tidak ingin hari pertamanya justru berakhir dengan malapetaka. Bukan berarti Panji tidak normal dengan menolak pemandangan indah bagai surga tersebut. Ia hanya ingin menjaga harga dirinya di hadapan anak didik nakal yang saat ini duduk di atas mejanya tersebut. Melihat Panji yang tidak memperhatikannya, membuat Lia semakin geram. Ia menilai guru BK yang ada di bawah kakinya saat ini adalah orang yang munafik. Menurut Lia, Panji hanya menampik jika ia sebenarnya menginginkan Lia untuk dirinya sendiri. “Pak ….” Lia menggoyang-goyangkan tubuh bagian atas, berusaha menggoda Panji lebih intens. Memang, semua siswa di sekolah mengakui jika Lia memiliki aset yang berukuran cukup besar dan sangat menggoda kaum adam. Hampir tidak mungkin ada orang yang tahan jika dihadapkan dengan pemandangan aset miliknya. Belum lagi bibirnya yang tebal juga terlihat sangat menggoda. Menolak gadis seperti Lia, seakan membuang lotre yang sudah dimenangkan. Meski begitu, Panji terlihat masih tetap memegang teguh pendiriannya. Ia sama sekali tidak bergeming melihat pemandangan indah di hadapannya. “Pak … ayo dong! Masa Bapak gak pengen pegang ini sih?” Lia bertindak semakin brutal. Ia bahkan secara frontal berani meremas tubuh bagian depannya tepat di depan guru yang baru masuk di hari pertamanya itu. Panji masih tetap mengalihkan pandangan. Bukannya tergoda, Panji justru kesal dengan apa yang dilakukan oleh Lia. Panji menahan diri agar tidak menghujat Lia, meski bibirnya sudah semakin gatal. “Pak … ini gratis loh …,” ucap Lia dengan menyeret nada bicara untuk membuatnya seolah-olah manja. Mendengar ucapan menggelikan dari Lia, Panji mengambil nafas panjang. Ia sudah kehilangan kesabaran menghadapi siswi nakal di depannya. Sebenarnya Panji juga sadar, jika ada sesuatu yang mengeras di bawah sana. Tetapi Panji tidak ingin kehilangan kehormatannya sebagai tenaga pendidik. Belum lagi, Panji mengemban tugas sebagai guru BK yang seharusnya sangat paham dengan budi pekerti. Untuk saat ini, akal sehat Panji masih mengambil alih, membuatnya tidak terjatuh ke dalam nafsu yang menyesatkan perjalanan karirnya. “Hei, Lia,” ucap Panji dengan suara yang rendah. “Hemm?” Lia menunduk, membuat tubuh bagian depannya semakin terlihat menonjol. Lia berdalih, ingin mendengar suara Panji secara lebih jelas, karena Panji berkata dengan suara yang cukup pelan. Dari ekor matanya, Panji bisa melihat dengan jelas belahan dan gundukan indah di sana. Tetapi Panji mencoba untuk mengabaikan pemandangan itu. Bahkan Panji tidak menelan ludah, ia berusaha menjaga pikirannya sebagai guru masih tetap waras. “Maaf ya, Lia, bukannya Bapak gak tertarik sama kamu. Kamu sangat cantik, tubuhmu juga bagus–” “Hehe … terima kasih. Bapak suka, kan?” sahut Lia memotong perkataan Panji. “Tapi maaf, mataku terlalu mahal untuk menatap tubuhmu yang murah itu.” Panji menoleh, mengangkat kepala, membuat Panji dan Lia bertemu mata. Mendengar ucapan menyedihkan dari gurunya, membuat Lia semakin naik pitam. Ia membalas tatapan Panji sambil mengerutkan dahi. Giginya bahkan gemeretak, ia menahan marah karena merasa dilecehkan oleh guru BK di depannya. Saat ini, Lia merasa dirinya adalah korban. Harga dirinya terasa diinjak-injak. Jauh di dalam pikirannya, Lia sangat ingin memukuli, menyiksa, dan meminta anak-anak gengnya untuk mengeroyok Panji yang dirasa bertindak semena-mena terhadapnya. Padahal jika dilihat lagi, Lia lah orang yang mulai bermain api. Lia yang merendahkan dirinya sendiri, tetapi ia merasa dihina oleh orang lain yang tidak tergoda olehnya. Di tengah drama saling tatap yang terjadi di antara guru dan murid itu, tiba-tiba suasana berubah menjadi pekat, suram, dan menyeramkan. Nafas Panji tercekat saat beradu tatap dengan Lia. Awalnya Panji berpikir bahwa hawa aneh yang ia rasakan berasal dari pikirannya sendiri yang tegang karena adrenalin yang naik. Belum lagi, jika Panji sedikit saja melirik ke bawah, maka ia akan berjumpa dengan gundukan indah milik Lia. Namun ternyata, hawa aneh itu berasal dari sesuatu yang lain. Semakin tegang adu pandang antara Panji dan Lia, Panji merasakan ada sesuatu yang menggelitik kakinya. Pelan, halus, namun berulang, ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh betisnya. Awalnya, Panji mengabaikan hal itu dan lebih terfokus kepada Lia. Panji tidak ingin kalah ego dengan anak didiknya. Namun semakin Panji merasakan, sentuhan-sentuhan kecil di kakinya itu semakin terasa nyata. Mulanya Panji berpikir, “ah mungkin itu cuma serangga.” Tetapi semakin diperhatikan, sentuhan itu terasa seperti tangan yang mengelus-elus betis Panji dengan lembut. Area yang disentuh pun semakin lebar dan semakin ke atas, membuat Panji tiba-tiba merasa merinding. Seiring drama tatap-menatap yang masih berlangsung, tanpa sadar bulu kuduk Panji berdiri. Angin dingin yang berasal dari pendingin udara di ruang BK, terasa semakin dingin akibat ada desiran aneh di belakang lehernya. Nafas Panji pun terasa semakin berat dan tiba-tiba udara di ruang BK terasa semakin panas, bertolak belakang dengan desiran dingin di belakang lehernya. Panji pun sampai berkeringat. Karena sentuhan di bawah kakinya semakin intens, membuat Panji menoleh ke bawah karena terganggu. “Ih, apa sih ini?” gerutu Panji karena merasa terganggu. Namun saat ia menunduk, Panji melihat … "Ah bangke, apaan lagi sih ini?!" Panji melompat ke atas meja, spontan memeluk Lia dari belakang. "Ups," Lia terkejut. Sebuah tangan berdarah tiba-tiba muncul dari bawah meja. Jari jemari yang muncul perlahan, bergerak seakan mengundang orang yang melihatnya untuk ikut bermain di bawah meja. Darah yang membusuk di sekujur tangan, membuat Panji yang tidak bisa mengalihkan pandangan dari penampakan itu semakin merinding. Namun Lia yang ada di depan Panji bukannya takut, justru mulai mengembangkan senyum karena merasa mengetahui salah satu rahasia dari guru BK yang sedang memeluknya. "Pergi b*****t! Pergi! Pergi! Ah citra guru BK idaman hancur sudah!" gerutu Panji sambil mengeratkan pelukannya kepada Lia, membuat gadis penggoda itu semakin kegirangan. Lia merasa telah berhasil membuat Panji jatuh ke dalam perangkap. "Bapak takut sama hal kayak gitu doang?" ucap Lia terkekeh sambil menunjuk penampakan tangan menyeramkan yang masih tetap mengayun-ayunkan jari jemarinya secara perlahan, membuat Panji semakin merinding. "Takut sama hal kayak gini tuh normal, Lia! Sekolah ini aja yang gak normal karena gak takut sama beginian!" seru Panji. Mendengar ucapan Panji, membuat Lia menghela nafas panjang. "Gimana kita bisa takut kalau tiap hari lihat beginian, Pak? Lagipula, kita gak bisa bebas keluar dari sekolah ini." Raut wajah nakal yang dari tadi menghiasi wajah Lia, perlahan berubah menjadi sendu, meratapi nasibnya yang masuk ke sekolah ini secara terpaksa. Sayangnya, Panji seakan tidak mendengar apa yang Lia katakan, karena matanya masih melihat dengan lekat tangan mengerikan yang semakin lama terlihat semakin jelas. Bahkan kursi yang menjadi tempat duduk Panji ketika kerja, bergeser sedikit demi sedikit. Mata Panji melihat lekat ke arah tangan yang tiba-tiba bergerak memegang meja. Lalu perlahan, ada kepala penuh darah yang muncul perlahan dari bawah meja. Bola mata merah yang mengalirkan darah hitam beraroma busuk, membuat bulu kuduk Panj semakin berdiri. "Argh! Sekolah apaan sih ini?!" Panji melompat turun dari meja kemudian tersandung kakinya sendiri yang membuatnya harus menyeret kaki untuk bergerak menjauh dari sosok menyeramkan yang muncul dari kolong mejanya. Panji awalnya berpikir bahwa dirinya akan aman berada di dalam ruangan miliknya sendiri. Tetapi Panji salah, tidak ada tempat yang aman selama masih berada di Tumimbal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN