12. Riyon yang Kejam

1264 Kata
Mata Winda melotot. Bukan hanya karena terkejut, tapi karena cekikan di lehernya. Secara tiba-tiba tangan Riyon mencengkram lehernya lalu mendorongnya hingga ia terbaring. Tak main-main, Riyon mencengkram kuat leher Winda seakan berniat membunuhnya. “Le- lepas- lepaskan. To- tolong. Tolong.” Suara Winda terputus-putus karena kuatnya cengkraman Riyon pada lehernya. Kakinya pun menendang memukul ranjang berharap seseorang yang mendengar datang menolongnya. Tak ada raut wajah berarti yang terpancar di wajah Riyon. Bahkan saat ia melepas cengkramannya, raut wajahnya tetap saja datar meski ia bicara. “Laporkan juga apa yang baru saja aku lakukan.” Winda seolah tak mendengar ucapan Riyon. Ia masih sibuk mengatur napasnya yang tersengal. Riyon mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Winda saat Winda mulai bisa mengatur napas. “Dan kau, akan tahu akibatnya.” Tubuh Winda menegang, tengkuknya seolah tertimpa beban ratusan kilo. Meski Riyon tak mengatakan apa yang bisa Riyon lakukan, hanya mendengar ancaman itu sudah membuat seluruh bulu kuduknya berdiri. Riyon mengambil jarak kemudian membalikkan badan. Dan sebelum ia pergi ia mengatakan, “Berhati-hati lah. Aku akan terus mengawasimu. Dan jika memang harus, siap-siap saja kehilangan nyawamu.” Mata Winda melebar sempurna, wajahnya yang pucat kian bertambah pucat. Ia sempat melihat lirikan tajam Riyon sebelum pria itu pergi dan meninggalkan rasa sesak di d**a. Ia tak mengira Riyon begitu mengerikan. Dirinya pun mulai merasa cemas dan ketakutan, berpikir bagaimana jika Riyon mengetahui perbuatannya malam itu. Riyon kembali ke tempat Nina dan sudah tak menemukannya juga Ash. Ia kemudian mengambil langkah dengan tenang meninggalkan klinik perusahaan seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. Dokter yang bertugas menjaga klinik hanya diam saat melihat Riyon pergi dari sana. Ia kemudian segera menyusul Winda, memastikan wanita itu baik-baik saja. Sebenarnya ia sempat mendengar suara Winda saat kakinya memukul ranjang meminta bantuan. Akan tetapi, ia memilih tetap diam di tempat duduknya sambil berdoa semoga Winda baik-baik saja. “Win, kau baik-baik saja? Apa yang sudah orang tadi lakukan?” tanya dokter umum itu setelah berdiri di sisi ranjang. Winda menatap dokter wanita itu dengan lelehan air mata. Namun, teringat ancaman Riyon membuatnya tak bisa bicara. Ia benar-benar takut. Dokter itu segera memeluk Winda untuk menenangkannya. “Sudah, tidak apa-apa. Tapi, dia tidak melakukan apapun padamu, kan?” “Di- dia … dia mau membunuhku,” ucap Winda dengan suara bergetar. Tubuhnya pun juga masih gemetaran. Tubuh dokter itu sedikit menegang. Ia seolah tahu sebesar apa rasa takut Winda. Dirinya saja juga tak berani menatap Riyon melihat sorot matanya yang begitu dingin dan suram. Di lain sisi, Nina telah berdiri di hadapan kepala HRD. Ia dipanggil setelah keributan yang terjadi sebelumnya. Sementara, Ash yang tadi mengantar Nina, telah kembali ke tempat kerjanya. Ia juga punya tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan. “Jadi, bisa jelaskan padaku apa yang terjadi, Nina?” tanya Pras, kepala HRD tanpa rambut yang kepalanya tampak berkilau saat terkena cahaya lampu. “Maaf, Pak. Saya siap menerima konsekuensi dari yanh sudah saya lakukan,” jawab Nina tanpa berniat memberitahu alasannya sampai berkelahi dengan Winda. Pak Pras terdengar menghela napas berat kemudian mengatakan, “Aku sangat terkejut saat mendengar berita tadi. Maksudku, selama ini kau tidak pernah melakukan kesalahan, kau bekerja dengan baik dan tekun bahkan aku tak jarang mendengar Pak Dany memujimu. Tapi apa yang terjadi, Nina? Apa ini mengenai masalah pekerjaan? Atau … masalah pribadi? Ah, baik lah. Itu semua bukan urusanku. Tapi dengan berat hati aku harus memberimu SP satu. Kau tenang saja, Winda juga mendapatkannya agar adil. Atau, bagaimana menurutmu?” Nina hanya diam, ia tak peduli sanksi apa yang akan ia dapatkan. Bahkan jika harus dipecat, ia siap, daripada harus melihat Winda dan memupuk kebencian terus menerus. “Hah … harusnya Winda juga ada di sini. Tapi sepertinya dia masih butuh istirahat.” “Kalau begitu … saya izin kembali, Pak Pras,” ucap Nina. “Ya, baik lah. Kuharap kau tidak akan mengulangi kejadian tadi, Nina,” ucap Pak Pras membiarkan Nina kembali ke tempat kerjanya meski ia belum mendapat informasi valid mengenai penyebab perkelahian Nina dan Winda sebelumnya. Ia masih percaya pada Nina, dia tidak akan memulai jika tidak ada alasan di baliknya. Sudah cukup lama Nina bekerja, ia tahu sifat dan kepribadian Nina yang membuatnya tak bisa bersikap keras padanya. Nina berjalan ke tempat kerjanya sambil memijit pelipis. Ia merasa pusing, tapi ia tetap harus kembali bekerja. Perhatian semua orang tertuju pada Nina saat ia sampai di tempat kerjanya. Namun, hanya sesaat. Mereka tak mau mendapat teguran jika lebih mementingkan menginterogasi Nina. “Ya Tuhan, Nin.” Sari menutup mulut dengan kedua tangan menyatu setelah Nina duduk di meja kerjanya. Perhatiannya tertuju pada jejak luka di wajah Nina. “apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sari dengan berbisik. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Ia sangat penasaran. “Aku tak bisa menceritakannya sekarang, Sar,” balas Nina kemudian mulai bersiap bekerja. Namun, sebelum itu terjadi, Pak Dany menghampirinya dan menanyakan masalah yang dialaminya. “Sepertinya, hari ini kau menjadi pusat perhatian, ya, Nin?” Nina menghela napas pelan dan hanya mengangguk samar tanpa mengangkat kepala menatap Dany. “Maaf, Pak. Saya … tidak akan mengulanginya lagi.” “Hah … yah, baik lah. Aku hanya berharap, apa yang terjadi tidak mengganggu kinerjamu dalam bekerja. Semangat.” Pak Dany menepuk pelan bahu Nina saat mengatakan mata terakhir. Ia kemudian berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Nina menatap punggung Dany dengan mata berkaca-kaca saat pria itu kembali ke mejanya. Tindakan kecil yang kepala divisinya itu lakukan, cukup mampu membuat Nina merasa pria itu ada di pihaknya. Nina mengusap air matanya. Meski merasa takdir sedikit kejam padanya, ada sedikit rasa syukur karena ia masih memiliki orang-orang baik di sekitarnya. Sore harinya, Nina sengaja pulang terlambat. Selain untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat terganggu tadi siang, juga menghindari tatapan orang-orang. Ia bahkan menulikan telinga saat rekan-rekan satu divisinya menghampiri dan berpura-pura prihatin atas apa yang terjadi hari ini. Bagaimana bisa Nina menyebutnya berpura-pura? Sebab ia yakin, di belakangnya, mereka juga membicarakannya. Bukan berniat berburuk sangka, tapi ia sudah lama mengenal rekan-rekannya itu, sudah tahu seperti apa sifat mereka. Hanya ada beberapa orang saja yang tulus tanpa bermuka dua. “Padahal aku sangat ingin menemanimu, Nin. Tapi aku ada janji dengan pacarku, dia sudah menunggu di bawah,” ucap Sari sebelum meninggalkan Nina. Padahal ia sangat ingin mendengar dari mulut Nina sendiri mengenai apa yang terjadi siang tadi. “Tidak apa, Sar. Sebentar lagi aku selesai,” balas Nina dengan memberi senyuman tipis seakan ingin menegaskan bahwa ia baik-baik saja. Sari menatap Nina dengan pandangan iba, menatap jejak luka di wajahnya. Meski hanya luka cakar, tetap saja ia penasaran apa yang membuat Nina dan Winda bertengkar. Padahal, setahunya Nina dan Winda tidak memiliki masalah apapun. “Baik lah. Nanti malam aku akan menelepon, okey. Jangan sampai kau mengabaikannya,” kata Sari sebelum akhirnya pergi. Nina hanya menyunggingkan sedikit senyuman. Ia tak berani berjanji akan mengangkat panggilan dari Sari karena ia yakin, Sari pasti akan mewawancarainya. Hampir setengah jam kemudian, Dany yang masih berada di sana bangkit dari duduknya dan menghampiri Nina. “Sudah saatnya pulang, Nin,” tegur Dany. “Ah, iya, Pak. Sebentar lagi,” kata Nina tanpa melepas perhatian dari layar PC di depannya. Selama beberapa saat, Dany masih berdiri di tempat, di depan meja kerja Nina. Pada akhirnya, ia pun mendapatkan perhatian dari Nina. “Bapak … tidak pulang?” tanya Nina. Pak Dany terdengar menghela napas lalu mengatakan, “Harusnya, tapi seseorang memintaku tetap di sini, setidaknya sampai kau selesai dan pulang.” Dahi Nina sedikit berkerut menatap atasannya itu. Ia tidak mengerti maksud ucapan Pak Dany. Sampai akhirnya ponselnya berdering, ia baru menyadari sesuatu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN