11. Kebetulan, Mengungkap Fakta

1716 Kata
“Halo, Nin. Kau di mana?” Nina terdiam sejenak tak segera menjawab, “Ada apa, Ash?” “Aku hanya mengkhawatirkanmu. Di mana kau sekarang?” “Aku … di tangga,” jawab Nina dengan sedikit ragu. “Apa? Apa yang kau lakukan di sana? Aku akan menyusulmu.” Belum sempat Nina memberi jawaban, Ash lebih dulu mengakhiri panggilan. Dan Nina yakin, sebentar lagi Ash pasti akan datang. Benar saja, tak lama kemudian Ash telah berada di belakang Nina, menatap punggung Nina dengan jantung bergetar. “Kenapa makan siang di sini?” tanya Ash setelah ia duduk di sebelah Nina. “Aku ingin makan dengan tenang. Di sini sepi, jarang ada yang lewat sini,” ujar Nina tanpa menoleh Ash yang duduk di sebelahnya. Ash menatap Nina dari posisinya kemudian menyelipkan anak rambut Nina ke belakang telinga yang menghalangi pandangan. Nina pun terkejut dan seketika menatap Ash. Selama beberapa detik pandangan Nina terkunci pada dua netra Ash yang mirip dengan netra Riyon. Namun, sorot mata Ash lebih lembut nan teduh, berbeda dengan sorot mata Riyon. “Syukur lah, kukira kau menangis,” ucap Ash dengan mengusap ujung mata Nina dengan ibu jari. “Sejujurnya … aku ingin menangis, tapi … menangis pun tidak akan menyelesaikan masalah, bukan?” ucap Nina seraya mengalihkan pandangan dari Ash. Ia menunduk menatap anak tangga dan mulai tenggelam dalam pikiran. Tiba-tiba perasaan Nina mulai tidak enak, tengkuknya terasa meremang saat mendengar suara langkah kaki menaiki setiap anak tangga. Di detik berikutnya matanya melebar saat pandangannya bersibobok dengan jelaga setajam elang milik Riyon. Nina terkejut, bagaimana bisa Riyon tahu ia di sana? Tak mungkin Riyon tidak sengaja sampai di tempat itu, bukan? “Ka- Kakak ….” gumam Ash melihat Riyon berdiri di ujung tangga bawah. Riyon kembali melangkah, menaiki setiap anak tangga dengan satu tangan tersembunyi saku celana dan satu tangan berpegang railing tangga. Pandangannya lurus menatap Nina hingga akhirnya ia berhenti 4 anak tangga dari lantai yang Nina duduki. Selama beberapa saat, tak ada yang membuka suara. Ketiganya tenggelam dalam keheningan sampai akhirnya suara Ash terdengar. “Kakak sengaja?” Riyon melirik Ash, menunggunya melanjutkan ucapan meski ia sudah bisa menebak apa maksud adiknya itu. “Ingin semua orang tahu kalau Nina hamil anak kakak?” Nina terkejut mendengar ucapan Ash. Terdengar rasa tak terima sekaligus kecewa yang tersirat. “Bukankah harusnya kau berterima kasih?” balas Riyon kemudian kembali menatap Nina. “jika tidak, mereka akan mengira kau ayah dari anakku.” Kedua tangan Ash di sisi tubuhnya yang bertumpu lantai mengepal kuat. Namun, ia hanya bisa tertunduk setelah kakaknya kembali bicara. “Jangan sampai setelah ini wanita itu membuat berita buruk lagi tentangmu.” Nina tak mengerti apa yang Riyon bicarakan, tapi kata-kata Riyon seolah menunjukkan ia ingin melindungi Ash. Mungkinkah wanita yang Riyon maksud adalah Icha? batin Nina. “Dan kau.” Nina sedikit tersentak saat suara berat Riyon ditujukan padanya. “Apa kau sengaja ingin membunuh anakku dengan makan di tempat seperti ini? Terpeleset sedikit saja kau mungkin jatuh dan mati bersama anakku.” “Kakak!” Ash seketika berdiri dari duduknya. Menurutnya ucapan kakaknya terlalu kasar. “meski aku merelakan Nina menikah dengan kakak, kakak tak berhak bicara kasar padanya.” Riyon hanya diam, menatap Ash seakan mereka berperang dengan tatapan mata. Tiba-tiba Nina berdiri membuat perhatian dua pria itu teralihkan padanya. “Aku kembali sekarang.” Setelah mengatakan itu Nina segera berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Riyon dan Ash. Ia sengaja, tak ingin mendengarkan pertengkaran dua saudara itu demi kewarasannya. Ash dan Riyon hanya bisa diam menyaksikan Nina meninggalkan mereka. Dan setelah Nina menghilang dari pandangan, tatapan kakak beradik itu kembali beradu. Nina keluar dari pintu tangga darurat lalu melangkah menuju toilet menyadari jam kerja masih sekitar 30 menit lagi. Jika ia kembali ke tempat kerjanya sekarang, mungkin ia akan kembali dikerumuni. Sesampainya di toilet yang sepi, Nina meletakkan kotak makannya di dekat wastafel kemudian memasuki salah satu bilik toilet yang terbuka. Belum lama setelah itu, seseorang memasuki bilik toilet di sebelah bilik yang Nina gunakan. Nina pun sampai terjingkat saat orang itu menutup pintu dengan keras lalu berteriak hingga suaranya terdengar serak. “Agh! Sial! Sialan!” teriak pemilik suara di sebelah bilik toilet Nina. “kurang ajar! Harusnya aku yang di posisi Nina sekarang! Agh! Sial!” Jantung Nina berdebar. Ia segera menoleh seakan melihat siapa yang berada di bilik di sebelahnya. Namun, tentu saja tidak. Nina menelan ludah susah payah. Meski ia telah selesai buang air kecil, ia tetap duduk. Mendengar namanya disebut sebelumnya membuatnya penasaran siapa orang di sebelahnya. “Halo. Apa. Aku di toilet sekarang.” Nina menajamkan pendengaran dan berpikir orang di sebelahnya sedang bicara dengan seseorang di telepon. “Kedengarannya kau sedang kesal. Ada apa?” Wanita itu yang tak lain adalah Winda, mendengus mendengar pertanyaan sahabatnya. Bagaimana ia tak kesal? Kabar mengenai Riyon yang mendatangi Nina telah sampai di telinganya. Tentu saja ia tak akan melupakan Riyon, pria tampan yang menjadi incarannya malam itu. “Bagaimana aku tak kesal? Orang yang menjadi incaranku justru dekat dengan orang lain.” “Sungguh? Coba jelaskan padaku ” Winda mulai menjelaskan, memberitahu sahabatnya mengenai rencananya malam itu dan kejadian yang terjadi hari ini.” “Tunggu-tunggu, jadi orang yang dekat dengan pria incaranmu itu, wanita yang jadi incaran temanmu? Oh, s**t, jangan bilang mereka bertemu malam itu dan menghabiskan waktu bersama. Kau bilang sendiri temanmu si Aji itu kehilangan jejaknya, kan?” Winda tersentak. Bagaimana bisa ia baru menyadari itu? “Sialan, kau benar,” ucap Winda setelah menepuk jidat. Tanpa Winda ketahui, Nina mendengar semuanya dan membuatnya sangat terpukul. Nina sampai tak sanggup berkata-kata, hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tubuhnya pun gemetar karena sekarang pertanyaan yang selama ini ada akhirnya terjawab. Bagaimana dirinya gila malam itu hingga akhirnya berakhir dengan masalah yang rumit seperti ini. Tiba-tiba kebencian Nina memuncak. Ia menyalahkan Winda. Jika saja Winda tak punya niat jahat nan licik, bahkan bekerjasama dengan Aji, ia tidak akan berurusan dengan keluarga Ash. Seperti tanpa sadar, Nina bangun dari kloset duduk, membuka pintu kemudian mengetuk pintu bilik di mana Winda berada. “Ada orang!” seru Winda saat Nina mengetuk pintu. Nina hanya diam dan kembali mengetuk pintu membuat Winda kesal. Winda segera merapikan pakaiannya karena ia sudah selesai melaksanakan hajat yang membuatnya di sana. Ia kemudian membuka pintu dan terkejut melihat Nina. “Kau tuli atau buta?!” sentak Winda yang mana suaranya seketika terhenti melihat Nina berdiri di depannya. “kau rupanya,” ucapnya kemudian melirik sekitar dan tak ada orang lain selain mereka. Secara tiba-tiba Nina menjambak rambut Winda membuat Winda berteriak kesakitan. “Apa yang kau lakukan?!” teriak Winda sambil berusaha melepas cengkraman tangan Nina. Namun, Nina justru semakin menarik rambutnya seakan seluruh rambutnya hampir lepas dari kepala. Nina seperti orang kesetanan. Setelah menjambak rambut Winda, ia mendorongnya hingga tersungkur ke lantai lalu duduk di atas perut Winda dan menampar wajahnya berkali-kali. Winda melakukan perlawanan dengan menjambak rambut Nina. Sambil meracau ia memakai Nina. “Dasar b******k! Kau kira siapa dirimu?!” teriak Winda. Duagh! “Arkh!” Winda mengerang saat Nina membenturkan jidatnya ke jidatnya. “Apa yang sudah kulakukan padamu, hah?!” teriak Nina dan kembali membenturkan jidatnya pada jidat Winda tak peduli kepalanya sudah pusing dengan mata berkunang-kunang. “gara-gara kau, aku berada di situasi seperti ini!” teriak Nina kembali yang mana tangisannya mulai mengiringi. Di luar, beberapa orang yang hendak ke toilet menghentikan langkah dan menajamkan pendengaran. “Apa kalian mendengar sesuatu?” “Iya, benar. Ada keributan di dalam. Ayo.” Ketiga karyawati itu pun bergegas memasuki toilet dan begitu terkejut melihat pemandangan di depan mata. *** Nina membiarkan dokter mengobati wajahnya yang terdapat bekas cakaran. Bukan hanya di wajah, tapi juga leher dan tangannya. Ia telah berada di klinik sekarang setelah kejadian di toilet sebelumnya. “Sudah selesai,” ucap dokter itu kemudian membereskan peralatan dan meninggalkan Nina melihat sudah ada seseorang yang menunggu. Bukan hanya seseorang, tapi dua orang yakni Riyon dan Ash. Mendengar apa yang terjadi, keduanya tentu tak tinggal diam. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nin?” Ash bertanya sambil menatap nanar jejak-jejak luka di wajah Nina. Meski luka yang Winda dapatkan lebih dari itu, ia lebih mementingkan Nina. Nina mengusap air matanya yang jatuh membasahi luka yang baru diolesi salep. Sebenarnya ia ingin bicara, menjelaskan semua yang telah ia dengar. Tapi, ia bingung harus memulai dari mana dan merasa masih terpukul dengan fakta yang terungkap. Sang Pencipta seperti dengan sengaja memberinya petunjuk atas pertanyaannya selama ini. Seakan dengan ajaib memberitahunya bahwa semua terjadi karena kesalahan orang lain. Melihat Nina hanya diam, Riyon tiba-tiba membalikkan badan dan melangkah melihat keadaan Winda yang juga baru selesai diobati. Winda yang sebelumnya meracau, menceritakan kronologi yang terjadi beberapa waktu lalu pada temannya yang menunggu seketika terdiam saat melihat Riyon mendekat ke arahnya. Ingin memanfaatkan kesempatan, ia pun mulai berakting. “Aku tidak tahu hubungan anda dengannya, tapi anda lihat sendiri apa yang dia lakukan,” ucap Winda sambil meringis berpura-pura kesakitan. Kedua pipinya sedikit bengkak dengan beberapa luka cakaran. Jidatnya pun tampak memar. “Meski anda punya hubungan khusus dengannya, saya tidak akan takut menegakkan keadilan. Saya akan membawa masalah ini ke jalur hukum,” ujar Winda kembali. Ia hanya ingin menggertak serta mengancam, berharap dengan cara itu bisa menyambung benang tak kasat mata dengan Riyon. “Hish, Win, kau tak tahu siapa dia?” bisik teman Winda di telinga. “Tinggalkan kami berdua.” Bariton berat Riyon terdengar. Ia menyuruh teman Winda pergi dari sana. Winda pun merasa senang. Ia pikir rencananya berhasil. Ia pun berekspektasi bahwa Riyon akan memberikan imbalan lain sebagai ganti agar dirinya tak melaporkan masalah ini ke polisi. Riyon melirik teman Winda yang telah pergi kemudian menarik tirai pembatas. Melihat itu, Winda semakin berekspektasi tinggi. Namun, ia tentu pura-pura menjadi wanita baik yang polos. “Apa yang anda lakukan?” tanya Winda seraya mengedarkan pandangan menatap tirai telah memblokir sepenuhnya penglihatan orang luar dari mereka berdua. Riyon yang berdiri membelakangi Winda saat menutup tirai, membalikkan badan kemudian mengambil langkah dan berdiri di sisi ranjang menghadap Winda. Winda mulai merasa gugup. Ditatap pria setampan dan semenarik Riyon membuat gejolaknya timbul. Rasa sakit yang dideritanya pun seakan lenyap. “Apa anda ingin melakukan penawaran denganku? Aku bisa mempertimbangkan–” Tiba-tiba suara Winda terhenti saat Riyon mendorongnya, membuatnya terbaring di ranjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN