Riyon berdiri bersandar mobilnya di mana pandangannya menatap lurus ke depan, pada Nina yang berjalan ke arahnya.
“Aku tidak menyuruhmu menungguku,” ucap Nina setelah berdiri di hadapan Riyon.
Orang yang sebelumnya menelepon Nina adalah Riyon, memintanya segera pulang.
“Wanita hamil dilarang lembur,” ucap Riyon kemudian membuka pintu mobilnya, mempersilakan Nina masuk.
Nina masih berdiri selama beberapa saat dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya. Ia ingin menolak, tak ingin pulang bersama Riyon.
“Jangan berpikir aku akan membiarkanmu pulang selain denganku,” ucap Riyon dengan suara terdengar dingin. Ada yang ingin ia bicarakan dengan Nina, jadi apapun yang terjadi Nina harus pulang bersamanya.
Tanpa Riyon ataupun Nina sadari, Ash memperhatikan mereka dari kejauhan. Harusnya ia menunggu Nina dan mengantarnya pulang. Namun, melihat kakaknya menunggu Nina, ia pun memilih mengalah. Selain itu, ia ingin menjaga hatinya, mencoba belajar ikhlas membiarkan Nina bersama kakaknya.
Beberapa saat kemudian, Nina dan Riyon telah berada dalam perjalanan. Belum mendapat setengah perjalanan, Riyon memulai pembicaraan.
“Jangan membahayakan anakku dengan tindakan bodoh.”
Nina tersentak dari lamunan membuatnya segera menoleh pada Riyon. Ia tidak mengerti apa maksud ucapannya. Namun, pada akhirnya ia mengerti setelah beberapa saat berpikir.
“Apa maksudmu karena aku menyerang Winda?”
Riyon tak menjawab, hanya melirik Nina sekilas.
Nina mengalihkan pandangan, setengah tertunduk sambil mengatur napas. Dadanya terasa sesak harus membicarakan Winda. Dengan berusaha menahan perasaan dan emosi yang bercampur aduk, ia memberitahu Riyon alasannya.
“Semua ini karena Winda, apa yang terjadi semua karena Winda.” Nina mengatakannya disertai gemeretak gigi, menunjukkan betapa geram dan bencinya dirinya pada wanita yang telah menghancurkan hidupnya. Jika saja Winda tidak melakukan hal licik seperti itu, bekerja sama dengan Aji pula, dirinya tidak akan berada dalam situasi seperti ini. “dia mengincarmu dan bekerjasama dengan Aji. Dia menumbalkan aku demi bisa menjebakmu. Tapi … justru kita yang terjebak dan melakukan kesalahan itu.”
Jantung Nina bergetar saat menjelaskannya. Apa yang disampaikan mengingatkannya kejadian di malam itu. Seandainya ia tahu semua itu akan terjadi, ia lebih memilih berdiam diri di rumah.
Riyon hanya diam. Entah apa yang ia pikirkan. Namun, tiba-tiba ia menepikan mobilnya.
“Hukuman apa yang pantas?”
Nina tak menjawab, ia masih tenggelam dalam pikiran. Tangannya pun saling meremas hingga memerah dan basah oleh keringat.
Riyon melirik Nina dan kembali mengatakan, “Kau bisa menghukum mereka tanpa perlu mengotori tanganmu dan membahayakan anakku.”
Mendengar itu membuat Nina kian menunduk. Rahangnya mengeras, gemeretak giginya kembali terdengar sampai akhirnya ia melupakan isi hatinya.
“Kalau begitu buat mereka menyesal! Buat mereka menanggung sama seperti yang aku rasakan! Buat mereka lebih memilih mengakhiri hidupnya, daripada hidup dalam penyesalan! Buat mereka … buat mereka ….”
Nina menutupi wajahnya dengan kedua tangan di akhir kalimatnya yang menggantung. Tangan yang telah basah oleh keringat, kini lebih basah karena air mata. Ia menangis hingga terisak. Ia benci, marah, dan menyesal, tapi ia sadar semua perasaan sesak di dadanya itu tak akan mampu mengubah keadaan. Tak akan mengembalikan waktu yang bisa membuatnya terhindar dari kejadian malam itu.
“Kenapa … kenapa harus aku? Apa salahku? Apa?” Suara Nina begitu lirih terdengar di sela isak tangisnya.
Riyon hanya diam. Meski wajahnya terlihat datar seperti tak terenyuh melihat dan mendengar tangisan Nina, sesungguhnya jantungnya bergetar. Ia seolah dapat merasakan perasaan sesak yang Nina rasakan, perasaan sakit dan benci yang tak dapat dilampiaskan.
Riyon meremas setir kuat-kuat, sorot matanya begitu tajam mengarah lurus ke depan. Ia bersumpah akan memberi pelajaran pada Winda karena sudah berani bermain-main dengannya. Bukan hanya Winda, tapi juga Aji yang sudah bekerjasama dengan wanita sialan itu hingga dirinya dan Nina berada di situasi sulit seperti ini. Membuatnya tanpa sengaja menyakiti Ash dan membuat Nina terjebak pada pilihan yang membuatnya memukul beban begitu berat.
Cukup lama kemudian, akhirnya mobil Riyon sampai di depan rumah Nina. Nina pun segera keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Namun, saat kakinya melangkah ke teras, tiba-tiba tubuhnya sedikit oleng.
Hap!
Sebelum Nina terhuyung ke samping dan jatuh, Riyon lebih dulu menahan tubuhnya. Melihat Nina berjalan sedikit sempoyongan membuatnya segera mengikuti di belakangnya.
“Apa kau tak bisa lebih berhati-hati?” geram Riyon tak mau terjadi sesuatu pada calon anaknya.
Nina hanya diam dan berusaha melepaskan diri dari Riyon. Namun, tak semudah itu. Tangan kokoh pria itu tak mau berpaling darinya.
Di detik berikutnya, suara jeritan Nina terdengar. Ia menjerit saat Riyon tiba-tiba mengangkat tubuhnya, menggendongnya ala bridal style dan memasuki rumah.
Apa yang kau lakukan?! Turunkan aku!” pinta Nina.
“Aku tak mau ambil resiko kau jatuh dan membahayakan anakku.”
Nina terdiam dan menatap Riyon dari posisinya. Ia sampai tak sadar Riyon telah berdiri di depan pintu rumahnya yang selalu ia kunci saat keluar.
“Mana kuncinya.”
Tak dapat menahan sakit di kepala, Nina memberitahu Riyon. Rasanya ia sudah merindukan kasurnya, ingin segera beristirahat.
“Di bawah keset.”
Riyon menurunkan Nina untuk mengambil kunci itu. Dan setelah membuka kunci pintu, Nina segera masuk ke dalam rumah.
“Maaf. Aku ingin segera istirahat. Silakan pergi dari sini,” ucap Nina sebelum akhirnya menutup pintu dengan segera, seakan tak mau Riyon ikut masuk ke dalam rumah.
Riyon berdiri menatap pintu yang telah tertutup rapat. Ia berdiri di sana selama beberapa saat hingga akhirnya berbalik dan menuju mobilnya. Setelah duduk di depan kemudi, Riyon segera menghubungi seseorang.
Nina mengintip lewat jendela. Dan melihat Riyon sudah memasuki mobilnya, ia sedikit bernapas lega. Menutup kembali gorden jendela, Nina berbalik dan menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Nina segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian kembali ke kamar untuk beristirahat.
Waktu terus berjalan hingga tak terasa hari telah malam saat Nina membuka mata. Nina ketiduran, dan bangun karena ketukan pintu dari luar.
“Siapa?” gumam Nina dengan suara parau. Ia berjalan berpegang dinding menuju pintu depan merasakan kepalanya berdenyut-denyut.
“Sssh, kepalaku pusing sekali,” gumam Nina saat dirinya akhirnya berdiri di depan pintu. Mendengar pintu kembali diketuk, ia pun segera membuka pintu melihat siapa tamu yang datang.
“Selamat malam. Silakan, pesanan anda.”
Seorang pria berjaket hijau mengulurkan kantong plastik berisi makanan.
Nina terkejut. Ia tak merasa memesan makanan.
“Maaf, tapi … aku tidak memesan apapun,” ucap Nina. Ia tak mau ambil resiko jika ada orang iseng ingin mengerjainya, atau memberi racun pada makanan yang diantar sekarang.
“Maaf, tapi ini adalah alamat yang tertera,” ucap pengantar makanan itu lalu menunjukkan layar ponselnya yang mana menunjukkan alamat Nina.
“Siapa yang memesan?” tanya Nina melihat alamat yang tertera benar alamat rumahnya.
“Atas nama ….” Belum sempat pengantar makanan menjawab, muncul seorang pria yang juga mengantar makanan untuk Nina.
“Selamat malam. Benar ini rumah Hanina Noura?” tanya pria yang baru saja datang dengan membawa kantong berisi makanan di tangannya.
“Ya, benar. Anda ….”
“Silakan pesanan anda.”
Kepala Nina semakin pening. Ia sama sekali tak merasa memesan makanan, tapi bagaimana ada dua orang pengantar makanan di depannya?
Beberapa saat kemudian, Nina duduk di ruang tamu sambil menatap makanan di atas meja di depannya. Pas akhirnya ia menerima keduanya.
Nina menatap ponsel di tangan yang mana layarnya menunjukkan nomor Riyon. Ia ingin bertanya, kenapa Riyon mengirim makanan untuknya.
“Setelah ini jangan lagi,” ucap Nina setelah Riyon mengangkat panggilan.
“Itu bukan untukmu, tapi untuk anakku.”
Rahang Nina mengeras. Rasanya, dirinya begitu tak ada artinya, Riyon hanya mementingkan bayi dalam perutnya.
“Kalau begitu, kenapa bukan kau saja yang mengandung?” balas Nina sarkas. “kau selalu menyebutnya anakmu, dan untuk anakmu, sementara aku yang mengandungnya.”
Setelah mengatakan itu Nina mengakhiri panggilan. Sepertinya ia salah menghubungi Riyon. Harusnya ia buang saja makanan kiriman dari pria itu. Namun, ia tak akan melakukannya. Ia tak mau menyiakan makanan mengingat, di luar sana masih banyak uang kelaparan.
Drt ….
Nina tersentak saat hendak menikmati makan malamnya yang terlambat. Sudah hampir pukul 8.30 malam dan ia baru akan mengisi perutnya.
Nina mengabaikan panggilan dari Riyon. Ia masih kesal dengan sikap dan ucapan pria itu. Namun, setelahnya sebuah pesan masuk terlihat, dan tentu saja pesan itu dari calon suaminya.
“Besok ambil cuti. Aku akan menjemputmu pagi.”
Nina membaca pesan itu dengan dahi sedikit berkerut. Riyon mau mengajaknya ke mana?