2. Setuju Menikah

1562 Kata
Nina tak bisa tidur. Ia masih memikirkan ucapan Ash tadi siang, yang mana pria itu mengajaknya menikah. Bagaimana mungkin? Karena saat ini telah tumbuh janin di rahim dan merupakan anak dari pria asing. Nina mengubah posisi menjadi berbaring miring. Sambil mengusap perut ratanya, ia tak bisa berhenti berpikir. Memikirkan nasib jabang bayi dalam perutnya. Meski ia sama sekali tak menginginkan calon bayi dalam rahimnya sekarang, tapi ia tak akan melenyapkannya. Calon bayi itu tidak bersalah, tak pantas menanggung kesalahan yang ia perbuat. Nina memejamkan mata dan perlahan tetes demi tetes air mata lolos dari ujung mata dan membasahi bantal. Ia tak mau menggugurkan calon bayinya, tapi tak sanggup membayangkan kehidupannya di masa depan. Selain itu, ia tak bisa berhenti memikirkan Ash. Andai saja Ash menyatakan perasaannya sejak dulu, andai ia tak hamil, ia akan dengan senang hati menerima tawaran pernikahan darinya. Namun, untuk saat ini, sepertinya itu tidak mungkin. Tak mungkin ia mengorbankan Ash, menumbalkan pria baik-baik itu demi nama baiknya juga masa depan calon buah hatinya. Nina meremas bantal dan kian meringkuk meratapi nasibnya. Tangisnya yang selalu berusaha ia tahan, pada akhirnya pecah. Ia menangis sejadi-jadinya, menangisi penyesalannya yang tiada guna. Keesokan harinya, Ash mendatangi rumah Nina di waktu yang masih sangat pagi. Pria itu juga membawa beberapa kantong plastik berisi makanan juga buah. Hari ini hari libur membuatnya punya banyak waktu. “Untuk apa makanan sebanyak ini, Ash?” Nina bertanya sambil menatap banyaknya makanan di atas meja ruang tamunya. Bukan hanya makanan, tapi juga ada beberapa kotak s**u untuk ibu hamil. “Tentu saja untukmu, Nina. Kau tidak lupa pesan dokter kemarin, bukan? Kau harus banyak mengonsumsi makanan sehat. Selain itu, aku mencari banyak hal tentang ibu hamil di internet dan menemukan, s**u hamil dapat mengurangi mual dan muntah,” papar Ash seraya mengambil sekotak s**u untuk ibu hamil. “tapi aku tidak tahu mana s**u yang cocok jadi aku membeli beberapa jenis merek susu.” Rasanya Nina ingin menangis. Ash begitu antusias seakan-akan ia adalah ayah dari calon bayi dalam rahimnya. Nina duduk di kursi dengan lemas dan mengusap setitik air mata membuat Ash menatapnya dengan wajah sendu. “Terima kasih, Ash, tapi … kau tidak perlu melakukan semua ini. Apa yang kau lakukan justru membuatku merasa bersalah.” Ash meletakkan kotak s**u di tangan ke atas meja kemudian duduk di sofa berhadapan dengan Nina. “Apa maksudmu, Nin. Sudah kukatakan aku siap bertanggung jawab–” “Tapi ini bukan anakmu,” potong Nina sebelum Ash selesai bicara. “anak ini ada karena kesalahanku, kau tidak pantas menanggungnya!” “Bukankah sudah kukatakan? Aku mencintaimu, apapun yang terjadi. Aku menerimamu seperti apapun kondisi dan keadaanmu, Nin.” Nina menatap Ash dengan mata berkaca-kaca. Ia dapat merasakan ketulusan yang terpancar dari cara Ash memandangnya. Tapi tetap saja, rasanya tak tega jika harus menerima Ash mengingat keadaannya. Tangan Ash saling meremas saat ia ingin menanyakan sesuatu pada Nina. Nina belum memberinya jawaban mengenai siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Nina juga belum memberinya jawaban mengenai lamarannya. Namun, ia tak akan menyerah membuat Nina menerimanya. “Nin, mengenai pertanyaanku kemarin, apakah kau bisa memberitahuku siapa ayah anak itu? Tapi … jika kau tak ingin membicarakannya, aku–” “Aku tidak tahu.” Sekali lagi, Nina kembali memotong ucapan Ash. Ia pun melanjutkan dengan memberitahu Ash tentang kejadian di malam itu, saat ia berakhir di ranjang dengan pria tak dikenalnya. Ash tampak terkejut. Dugaannya benar, kehamilan Nina pasti tidak disengaja olehnya. Ia masih sangat yakin Nina adalah wanita baik-baik. “Jadi … kau sama sekali tidak mengenal pria itu?” tanya Ash dengan bibir bergetar. Ada sedikit kelegaan di dadanya mengetahui Nina tak memiliki hubungan bahkan mengenal pria asing itu. Dengan begitu, ia tak perlu khawatir jika pria asing itu merebut Nina jika ia dan Nina bersama. Nina menggeleng pelan. Namun, ia masih ingat wajah pria itu cukup jelas. Pria itu tinggi, mungkin beberapa centi lebih tinggi dari Ash. Dia tampan dan memiliki sorot mata cukup tajam dengan rahang tegas. Dengan potongan rambut model slanted sweep, pria tampan itu tampak gagah dan sempurna. “Kalau begitu, bagaimana dengan tawaranku kemarin? Menikahlah denganku, Nin. Aku tahu kau tak akan melakukan sesuatu pada kandunganmu, kau wanita yang baik. Jadi, izinkan aku membantumu, kita bisa membesarkannya bersama-sama.” “Tapi Ash ….” “Tidak ada tapi, Nin. Bukankah sudah kukatakan? Aku menerimamu apa adanya karena aku mencintaimu. Aku tidak ingin menyesal lagi di kemudian hari. Sudah cukup aku menyesal karena memendam perasaanku selama ini.” “Ta- tapi … bagaimana dengan orang tuamu? Keluargamu? Bagaimana jika mereka tahu kalau–” “Bilang saja itu adalah anakku. Aku akan katakan bahwa bayi dalam perutmu adalah darah dagingku,” potong Ash tanpa ragu. Ia tak masalah mengakui jabang bayi dalam perut Nina adalah anaknya asal ia dan Nina bisa menikah. Ia tak ingin melihat Nina menderita, bahkan tak ingin melihat Nina hidup bersama pria lain selain dirinya. Tak peduli Nina mengandung anak orang tak dikenal, ia akan menerimanya dengan lapang. Nina terdiam, hingga akhirnya mengatakan, “Tolong, beri aku waktu, Ash. Aku akan memikirkannya.” *** Waktu terus berjalan, hingga tak terasa kandungan Nina hampir menginjak usia 1 bulan. Selama itu Ash tak pernah mengingkari janjinya, ia selalu memperhatikan Nina layaknya seorang suami membuat Nina tak tega jika harus menolak Ash. Hingga pada akhirnya, ia pun memutuskan menerima Ash. “Ash, aku sudah berpikir dan aku … aku bersedia menikah denganmu.” Mata Ash melebar, ia begitu terkejut dengan apa yang ia dengar. Namun, ia sangat senang. Akhirnya penantiannya terjawab. Ia sudah resah, sebab khawatir kandungan Nina semakin besar, tapi akhirnya Nina mau menikah dengannya. Tak dapat menutupi kebahagiaan, Ash segera memeluk Nina. Mengungkapkan betapa ia begitu senang dengan jawaban yang Nina berikan. “Ah, ma- maaf, Nin. Aku … aku sangat senang sampai lancang memelukmu. Maafkan aku,” ucap Ash setelah melepas pelukan, setelah ia sadar sudah memeluk Nina tanpa persetujuan. Nina tersenyum kecil. Ia tak mengira jawabannya dapat membuat Ash sebahagia itu. “Kalau begitu, kita harus segera menemui orang tuaku. Aku akan memperkenalkanmu pada mereka,” ucap Ash antusias. Ia bahkan berniat segera menghubungi kedua orang tuanya sat itu juga. “Ta- tapi … bagaimana jika orang tuamu tidak setuju, Ash? Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku?” Ini lah yang sebenarnya Nina khawatirkan. Apalagi jika kedua orang tua Ash tahu yang dikandungnya bukan anak Ash. Ash segera menggenggam tangan Nina dan meyakinkannya bahwa kedua orang tuanya pasti menyetujui pernikahan mereka. “Tenang saja, Nin. Aku yakin ayah dan ibu akan setuju, mereka pasti menyukaimu. Mereka akan menerimamu.” Nina sedikit ragu. Namun, ia hanya mengangguk. Ia harap ucapan Ash benar terjadi. Tepat sehari setelah Nina memberi Ash jawaban, Ash membawa Nina ke rumahnya, bertemu dengan kedua orang tuanya, memperkenalkan Nina sebagai calon istrinya. Ash juga mengatakan bahwa Nina telah mengandung anaknya. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman di kemudian hari yang mungkin akan menjadi masalah nantinya. “Wah, jadi kau yang bernama Nina? Ash sering sekali menceritakanmu. Dan Ash benar, kau sangat cantik,” puji Rahayu, ibu Ash. Wanita dengan sorot mata lembut itu menatap Nina dengan takjub. Ash sudah memberitahunya bahwa Nina mengandung anaknya, membuatnya merasa kasihan sekaligus bangga karena Nina tak berniat menggugurkan kandungannya. Ia juga bangga pada Ash karena berani bertanggung jawab meski tidak membenarkan apa yang Ash dan Nina lakukan. Rahayu berbeda dari orang tua kebanyakan yang memandang kasta saat menentukan menantu. Baginya, kebahagiaan anak-anaknya lah yang paling utama. Nina hanya menyunggingkan senyuman. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak, berpikir orang tua Ash langsung mengusirnya saat ia datang. Tapi, ibu Ash menyambutnya dengan kelembutan membuatnya teringat pada mending ibunya. “Ya sudah, Ash. Ajak Nina ke ruang makan, bi Sum sudah menyiapkan semuanya. Ibu akan memanggil ayahmu di kamar,” ujar Rahayu setelah menyambut Nina di depan pintu. Dengan wajah cerah, Ash menuntun Nina ke ruang makan rumahnya. Tak ada kekhawatiran karena kedua orang tuanya sudah setuju dengan rencana pernikahannya. Beberapa saat kemudian, Nina telah duduk bersama Ash dan kedua orang tuanya. Ayah Ash yang bernama Salim Wijaya sesekali menanyakan beberapa hal pada Nina mengenai kedua orang tuanya. Awalnya Nina tampak gugup melihat wajah Salim yang tampak dingin dan garang. Namun, setelah bicara, rupanya Salim tak seperti yang ia pikirkan. Tak ada satu kata pun yang Salim ucapkan dan menyakiti perasaannya atau menyinggungnya. Salim bahkan dengan senang hati menerimanya sebagai calon menantu di keluarganya. “Sebenarnya aku ingin kakak Ash yang lebih dulu membawa calon pasangan. Tapi, jika Ash yang sudah lebih dulu menemukan jodohnya, tidak ada alasan menunggu,” ujar Salim. Nina hanya menoleh menatap Ash yang duduk di sebelahnya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa sebagai respon ucapan sang calon ayah mertua. “Kenapa dia belum pulang juga? Padahal ibu sudah mengatakan padanya kalau ada acara penting malam ini,” ucap Rahayu sambil sesekali melirik jam dinding. “Coba hubungi kakakmu, Ash,” titah Salim. Meski kakak Ash sudah mengatakan mengizinkan Ash melangkahinya, tetap saja dia harus melihat calon istri adiknya. ”Tidak perlu. Aku di sini.” Tepat setelah Salim selesai bicara, bariton seorang pria terdengar. Pria itu berdiri di ambang pintu ruang tamu dan mengarah pandangan pada ayahnya yang duduk di ujung meja makan. “Riyon, akhirnya kau pulang juga. Cepat sapa calon adik iparmu.” Pria berusia 3 tahun lebih tua dari Ash itu mengambil langkah. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat pandangannya bersibobok dengan netra Nina yang membulat. “Di- dia ….”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN