1. Hamil Benih Pria Tak Dikenal

1186 Kata
Suara derit ranjang memenuhi kamar hotel bernuansa putih itu. Di sana, di atas ranjang, dua manusia beda gender itu tengah mereguk surga dunia yang sama-sama baru pertama kali mereka rasakan. Minuman memabukkan yang sebelumnya mereka nikmati, menuntun keduanya pada kegiatan yang harusnya tak pernah terjadi. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, menahan desahan yang tak bisa dikendalikan. Sementara pria di atasnya terus saja mengerang menikmati sensasi yang belum pernah ia rasakan hingga akhirnya ia sampai pada pelepasannya yang memuaskan. Keesokan harinya, wanita dengan rambut berantakan itu berusaha membuka mata yang terasa berat. Dan hal pertama yang ia temukan adalah, kamar yang tampak asing baginya. “Sssh … di mana ini?” Suara parau wanita bernama Hanina Noura itu mengudara bersamaan saat ia bangun menegakkan punggungnya sambil memegangi kepala yang terasa berat. Ia mengedarkan pandangan dan seketika matanya melebar kala bayangan yang terjadi semalam terlintas. Wajah wanita yang lebih sering dipanggil Nina itu memucat, tubuhnya gemetar, dan semakin gemetar saat menyadari keadaannya yang berantakan. Di lain sisi, seorang pria baru saja keluar dari hotel tempatnya semalam menghabiskan malam panas bersama Nina. Pria itu bernama Riyon Arshaka, pendiri Riyon Group, sebuah perusahaan logistik di negeri seberang yang mulai berkembang beberapa tahun terakhir. Riyon mengusap tengkuk yang terasa berat dan pegal setelah memasuki mobilnya. Ia sempat terkejut saat bagun dan menemukan wanita telanjang di sampingnya, membuatnya teringat kegiatan panas mereka semalam. Riyon yakin ada yang tak beres dengan dirinya, biasanya ia dapat mengendalikan diri, tapi semalam, ia benar-benar tak bisa menahan hasrat yang begitu menggebu setelah menikmati segelas minuman di acara yang dihadirinya di hotel itu. Riyon mengembuskan napas panjang dari mulut sesaat sebelum menyalakan start mobilnya dan tak lama, mobilnya pun meninggalkan area parkir hotel tersebut. Ia sama sekali tak memikirkan wanita yang ia tinggalkan, sebab ia telah meninggalkan beberapa lembar uang sebagai bayaran kegiatan mereka semalam. *** Nina menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Saat ini wanita berusia 25 tahun itu telah berada di rumahnya, duduk di depan meja rias tanpa bisa berhenti menyesali apa yang dilakukannya semalam. Meski ia berusaha melupakannya, jejak yang pria itu tinggalkan pada tubuhnya membuatnya terus mengingatnya. Drt … drt …. Nina tersentak dari renungan dan menoleh pada ponselnya di ujung meja. Mengambil benda pipih itu, diangkatnya panggilan yang tak lain dari teman sekaligus rekan kerjanya, Asher Roland yang mana lebih kerap dipanggil Ash. “Halo. Ada apa, Ash?” “Nina, kau baik-baik saja? Suaramu terdengar berbeda.” Nina tersenyum getir. Ash selalu memperhatikannya dalam hal sekecil apapun. “Tidak apa-apa, Ash, aku baik-baik saja. Aku hanya … baru bangun tidur.” “Sungguh? Tidak biasanya kau bangun terlambat. Oh, ya, semalam kau jadi pergi? Maaf, aku tidak jadi berangkat. Ada sedikit masalah dengan mobilku.” “Ada apa dengan mobilmu?” “Mobilku tiba-tiba mogok di tengah jalan.” “Kenapa tidak menghubungiku? Aku bisa menjemputmu.” “Aku melupakan ponselku, Nin. Sepertinya, tadi malam adalah hari sialku. Padahal aku sudah sangat antusias bisa pergi denganmu.” Nina hanya menyunggingkan senyum tipis dan mengatakan, “Jangan bicara begitu, Ash. Jadi, bagaimana kau pulang?” “Ada orang baik yang menolongku. Dia membantu membawa mobilku ke bengkel.” “Syukur lah.” “Nin, apa kau ada waktu? Bagaimana jika kita keluar? Mungkin sekedar jalan-jalan, atau makan siang bersama.” Nina tersenyum kecut. Andai saja tidak dalam keadaan seperti ini, tentu saja ia akan dengan senang hati menerima ajakan Ash. Namun, apa yang terjadi semalam membuatnya ingin mengurung diri dan merenung. “Maaf, Ash. Mungkin lain kali. Aku … sedikit tidak enak badan. Maaf.” “Apa? Ada apa denganmu? Kau sakit? Aku akan mengantarmu ke dokter.” “Tidak Ash. Aku hanya butuh istirahat. Sungguh. Kalau begitu, sampai jumpa besok di kantor.” Setelah mengatakan itu Nina mengakhiri panggilan meski ia tahu, Ash seperti masih ingin memperbanyak pembicaraan. Namun, keadaannya sekarang benar-benar membuatnya ingin merenung sendirian. Di tempat Ash sendiri, ia masih menatap layar ponsel di tangan. Ia merasa ada yang aneh dengan Nina, tapi sepertinya Nina tak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ash mengutak-atik ponselnya hingga terpampang foto Nina yang begitu menawan. Nina adalah temannya sejak kuliah dan ia telah mencintainya sejak dulu. Bahkan, ia sengaja bekerja di tempat Nina bekerja agar bisa selalu memperhatikannya. Sayangnya, ia terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaanya. Terlalu takut hubungan pertemanan mereka justru hancur dengan pengungkapan cinta darinya. *** Dua minggu berlalu sejak kejadian malam panas waktu itu, Nina merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia merasa pusing dan mual ketika melihat atau hendak menyantap makanan tertentu. Ia bahkan memuntahkan makan siangnya padahal makanan itu adalah makanan favoritnya. “Nina, kau baik-baik saja?” Ash bertanya dengan khawatir melihat wajah Nina begitu pucat. Nina juga tampak lemas. Ia dan Nina tengah makan siang bersama sampai Nina pergi ke toilet dan kembali dengan keadaan yang tampak memprihatinkan. Nina hanya tersenyum dan menjawab, “Aku … baik-baik saja, Ash. Jangan khawatir.” “Tapi, akhir-akhir ini kulihat kau tidak baik-baik saja. Bagaimana kalau kuantar ke dokter?” tawar Ash sedikit memaksa. Bagaimanapun ia mencintai Nina, ia tak mau terjadi sesuatu padanya. “Ta- tapi ….” Nina hendak menolak. Namun, Ash bersikeras bahkan tak menunggu pulang bekerja. Mereka segera pergi ke klinik terdekat setelah selesai makan siang. Sesampainya di klinik dan diperiksa oleh dokter, Nina tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, sebab dokter itu mengatakan bahwa ia tengah hamil sekarang. Wajah Ash begitu pucat. Sama seperti Nina, ia pun begitu terkejut mendengar penjelasan dari dokter wanita di hadapannya. “Mual dan muntah sering terjadi di awal kehamilan, Anda tidak perlu khawatir. Tapi anda juga tetap harus menjaga kondisi tubuh, jangan terlalu lelah atau stress karena bisa berpengaruh pada perkembangan janin.” Nina tak sanggup berucap, sekedar menganggukkan kepala saja ia tak sanggup. Berita yang didengarnya begitu membuatnya terpukul. Ia tak mengira, hanya sekali melakukannya bisa membuatnya hamil dengan cepat. Beberapa saat setelahnya, Nina dan Ash telah meninggalkan ruang dokter. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga tak ada yang membuka suara meski sebenarnya ada banyak pertanyaan di kepala Ash. Rasanya Ash tak mau percaya, sebab Nina adalah wanita baik-baik. Baik saat masih kuliah hingga detik ini. Sepengetahuannya pula, Nina tidak memiliki kekasih. Tapi, bagaimana bisa Nina hamil? Tiba-tiba langkah Ash terhenti. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal kuat di sisi tubuh. Dengan menahan berbagai perasaan yang berkecamuk, ia membuka suara. “Siapa … siapa ayah dari bayi itu, Nina?” Tubuh Nina mematung mendengar pertanyaan Ash di mana suaranya terdengar bergetar. Haruskah ia memberitahunya? Sementara, ia sendiri tidak mengenal siapa pria waktu itu, pria yang sudah menanam benih di rahimnya hingga tumbuh. Tap! Nina tersentak merasakan genggam tangan Ash. Ash menggenggam tangannya begitu erat. Dan saat Ash kembali membuka suara, ia hanya mampu melebarkan mata. “Aku mencintaimu, Nina. Sejak dulu, sudah sangat lama. Tapi aku begitu pengecut untuk mengatakannya. Aku terlalu takut perasaanku akan menghancurkan hubungan kita. Sekarang aku menyesal, harusnya aku mengatakannya sebelum semua ini terjadi. Tapi ….” Ucapan Ash menggantung, genggam tangannya pada tangan Nina semakin menguat. Dengan mata yang sedikit basah ia menatap Nina dengan keseriusan dan kembali mengatakan, “tidak peduli siapa ayah dari anak yang kau kandung. Menikah lah denganku. Menikah lah denganku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN