Pukul 6 pagi dan Nina baru saja keluar dari kamar mandi. Ia bangun kesiangan membuatnya bersiap dengan buru-buru. Padahal harusnya ia bangun pagi-pagi sekali dan berangkat ke kantor untuk menghindari Riyon.
Sekitar 15 menit kemudian Nina telah siap berangkat. Namun, saat membuka pintu dirinya telah dikejutkan keberadaan Riyon di hadapan. Saking terkejutnya ia sampai terjingkat.
Riyon memperhatikan Nina dari ujung kepala hingga sepatu yang dipakainya lalu mengatakan, “Ingin kabur?”
Nina melebarkan mata sesaat, merasa dirinya telah tertangkap basah.
“Cutiku habis. Aku …” Suara Nina terhenti saat mendengar Riyon bicara dengan seseorang lewat sambungan telepon. Tepat setelah menyambut Nina dengan dua kata dari mulutnya, Riyon mengambil ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang.
“Aku ingin mengatur cuti untuk Hanina Noura. Jika tidak bisa, urus surat pengunduran dirinya.”
Mata Nina melebar sempurna. “Apa yang baru saja kau katakan?” tanya Nina dengan tangan mengepal.
Riyon memasukkan ponselnya ke saku jas dan mengatakan, “Kau sudah mendengarnya sendiri.”
Gigi Nina terdengar bergemeletuk. Ia menunduk saat mengepal tangannya kuat-kuat kemudian mendorong Riyon saat kembali mengangkat kepala.
“Kau pikir siapa dirimu?! Kau tak berhak mengatur hidupku!”
Riyon menatap Nina dalam diam. Ia bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa Nina begitu keras kepala. Padahal Nina bisa menikmati masa kehamilannya dengan berdiam diri di rumah tanpa memikirkan kebutuhan hidupnya, ia bisa mencukupi semua keperluannya.
Riyon mengambil kembali ponselnya kemudian mengutak-atik layar selama beberapa saat dan tak lama ponsel Nina berdenting.
Nina mengatur napas setelah berteriak pada Riyon. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa dirinya harus terjebak dengan pria sepertinya.
“Buka ponselmu,” perintah Riyon.
Nina tak ingin menuruti perintah Riyon, tapi melihat bagaimana cara Riyon menatapnya dan mengetahui seperti apa sifat pria itu, pada akhirnya ia mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya dan begitu terkejut melihat notifikasi tertera pada layar.
“Ini, apa maksudnya ini?” tanya Nina sambil menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan ia baru saja menerima kiriman dana sebesar 100 juta. Selain tak tahu apa maksud Riyon, ia juga tak tahu dari mna Riyon tahu nomor rekeningnya.
“Kau bisa melihat dan membacanya sendiri,” jawab Riyon.
Kemarahan Nina semakin naik ke ubun-ubun. Merasa muak dengan Riyon, ia segera masuk ke dalam rumah dan membanting pintu.
Riyon bergeming, tetap berdiri di tempat meski pintu di depannya telah tertutup rapat.
Sementara di dalam rumah, Nina kembali ke kamar dan membanting ponselnya ke ranjang. Suasana hatinya benar-benar buruk sekarang.
Beberapa saat setelahnya, mobil Riyon masih berada di depan rumah Nina. Meski mendapat penolakan terang-terangan, dirinya tetap menunggu Nina sampai wanita itu keluar dari rumah.
“Halo, Ri, kau sudah berangkat?”
Riyon melirik ponsel yang menempel di telinga. Ia tengah melakukan panggilan dengan ibunya sekarang.
“Belum.”
“Apa? Kenapa? Bukankah kau berangkat tadi pagi sekali? Kau sampai meninggalkan makanan yang ingin ibu titipkan untuk Nina.”
Riyon memijit pangkal hidungnya dan mengatakan apa yang terjadi pada sang ibu.
“Apa? Kau memberinya uang setelah menyuruhnya dipecat?” tanya Rahayu memastikan jikalau ia salah dengar.
“Bukankah harusnya dia senang? Dia tidak perlu bekerja saat hamil. Lagipula dokter juga mengatakan dia harus lebih banyak istirahat.”
“Ssh … kau benar. Tapi dengan caramu seperti itu pasti dia sangat kecewa, Ri. Bayangkan saja, dia sudah bekerja bertahun-tahun di sana, banyak kenangan dan teman dan kau memintanya dipecat tepat di depannya, menurutmu, bagaimana perasaannya? Ibu juga ingin dia lebih mementingkan kehamilannya, tapi ibu tidak mau memaksanya sampai berhenti bekerja. Bagaimanapun, kehamilannya bukan karena kemauannya kan, Ri.”
Riyon hanya diam mencerna wejangan ibunya dan pikirannya mulai sedikit terbuka.
Tak lama kemudian, Riyon kembali berdiri di depan pintu rumah Nina. Setelah selesai bicara dengan ibunya, ia memutuskan meminta maaf pada Nina sekaligus membujuknya. Ia teringat pesan dokter bahwa tidak tidak boleh stres dan banyak pikiran.
Riyon mengetuk pintu berharap Nina mau membuka pintu untuknya. Namun, beberapa kali mencoba, pintu tetap tertutup rapat. Ia pun memutuskan menelepon Nina, tapi Nina tak juga mengangkat panggilan. Riyon mulai gusar, meski mungkin karena Nina masih marah padanya, tapi ia juga khawatir terjadi sesuatu padanya.
Riyon menarik gagang pintu dan mendorong pintu kayu bercat coklat itu. Rupanya, pintunya tidak dikunci, pikirnya. Jika tahu seperti itu, harusnya ia masuk sejak tadi.
Riyon mengamati setiap sudut ruang tamu Nina sekilas kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Perhatiannya pun berakhir pada pintu yang merupakan kamar Nina. Ia mengambil langkah hingga akhirnya berdiri di depan pintu itu.
Riyon berdiri dalam diam selama beberapa saat dengan tangan sesekali terangkat dan turun saat ia merasakan ragu. Ia ingin meminta maaf, tapi lidahnya terasa kelu untuk mengucapkannya. Namun, wejangan ibunya membuatnya membulatkan tekad.
“Lebih mengalah lah pada Nina, Ri. Nina sedang mengandung anakmu, cucu ibu. Kau tidak mau terjadi sesuatu pada mereka, kan? Lebih bersikap lembut lah pada Nina. Atau, kalian bisa bicara baik-baik, bicara dengan kepala dingin dan dari hati ke hati. Pasti berat untuk Nina menerimamu karena dia harusnya menikah dengan adikmu.Tapi takdir berkata lain dan sudah mempertemukan kalian berdua. Sebenarnya ibu kasihan pada Ash, tapi … ibu juga kasihan jika menanggung tanggung jawabmu. Kalau kau benar-benar ingin bertanggung jawab, buatlah Nina menerimamu, setidaknya, menerimamu sebagai ayah dari anak yang dia kandung.”
Kalimat panjang ibunya masih terngiang di kepala. Selama ini Riyon tidak pernah memperlakukan wanita dengan lembut, ia bahkan tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun meski mereka mendekat bagai semut menemukan gula. Selama ini yang ia pikirkan hanyalah pekerjaan. Bahkan harusnya saat ini ia mengurus kepentingan untuk perusahaan barunya, tapi karena masalahnya dengan Nina, dirinya ingin menyelesaikan masalah ini lebih dulu.
“Aku ingin bicara,” ucap Riyon setelah mengetuk pintu dua kali.
Di dalam kamar, Nina hanya diam meski mendengar dengan jelas suara Riyon. Ia yang duduk di tepi ranjang, sengaja memilih bungkam.
“Apa aku lupa mengunci pintu?” batin Nina. Harusnya ia mengunci pintu depan agar Riyon tidak bisa masuk. Tapi, karena rasa kesalnya, ia terburu-buru pergi ke kamar tak ingin melihat wajah Riyon.
“Kau mendengarku?”
Nina tetap diam. Ia harap dengan begitu Riyon akan pergi. Namun, justru sebaliknya, Riyon justru mendobrak pintu hingga terbuka lebar.
“Apa kau gila?!” teriak Nina melihat Riyon berdiri di depan pintunya yang terbuka sambil memijat bahu yang digunakannya mendobrak pintu.
Riyon memutar bahunya tanpa berhenti memijat saat ia berjalan memasuki kamar Nina. Langkahnya lalu terhenti beberapa langkah di depan Nina.
“Siapa suruh tak menjawabku. Kukira kau mati gantung diri,” ucap Riyon sebagai alasan. Namun, ia memang khawatir Nina melakukan sesuatu hingga dirinya memutuskan mendobrak pintu.
Mata Nina masih melotot. Ia lalu bangkit berdiri. “Aku tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh itu. Sekarang, sebaiknya kau pergi dari sini, dari rumahku!”
Riyon bergeming, hanya berdiri tanpa melepas pandangan dari Nina. Tiba-tiba ingatan Riyon dibawa pada kejadian malam itu. Hanya berdua dengan Nina di dalam kamar, mengingatkan dirinya saat bersama Nina. Waktu itu mata Nina telah sayu, wajahnya tampak merah seperti mabuk, dan suaranya bercampur dengan desahan yang membuat sekujur tubuhnya meremang. Namun, kali ini sungguh berbeda, yang ada hanya Nina yang dingin dan seperti begitu membencinya.
Tanpa Riyon sadari, ia mengambil langkah membuat Nina melangkah mundur.
“A- apa yang mau kau lakukan?!!”
Entah kenapa Nina merasa gugup sekaligus takut. Pasalnya, tidak ada siapapun di rumahnya, mereka hanya berdua. Dan tak tahu kenapa, Nina merasa merinding melihat bagaimana cara Riyon menatapnya.
Merasa takut, Nina mengambil langkah mundur hingga tanpa sengaja kakinya menabrak tepi ranjang. Karena dalam keadaan takut juga cemas, ia sampai terkejut hingga hampir terduduk. Namun, sebelum bokongnya mencium ranjang cukup keras, Riyon berhasil menahannya. Riyon meraih tangan Nina dan menariknya membuat tubuh Nina jatuh dalam dekapannya.
Mata Nina yang membulat kala ia hampir jatuh, kini tetap membulat saat melihat wajah Riyon dengan dekat. Ia juga dapat menghirup aroma mint yang menyegarkan dari tubuhnya. Pandangannya pun terkunci pada jelaga Riyon yang seolah menyelami dirinya.
Deg deg deg ….
Jantung Nina berdebar, terlebih saat merasakan tangan kokoh Riyon melingkari pinggang.
Drt … drt ….
Baik Nina dan Riyon, keduanya tersentak saat ponsel Nina di atas ranjang berdering. Nina pun berdiri tegak dan berusaha melepaskan diri dari Riyon dengan memberinya dorongan.
Riyon yang seperti tersadar, seperti kembali ke kenyataan, melepaskan Nina dan mengusap tengkuknya yang terasa tebal. Entah apa yang ia pikirkan sebelumnya, setelah berhasil menahan tubuh Nina agar tak terduduk cukup keras, bukannya segera melepas, ia justru terpaku dan tenggelam pada netra Ninia yang tampak begitu jernih dan meneduhkan. Jantungnya bahkan sampai berdebar-debar. Namun, ia meyakini itu terjadi karena perasaan puas telah berhasil menyelamatkan Nina. Meski ranjang Nina mungkin empuk, tapi ia tak boleh duduk dengan kasar.
Sementara itu, Nina berusaha bersikap tenang dan segera mengambil ponselnya untuk mengangkat panggilan.
“Halo.”