15. Memilih Baju Pernikahan

1733 Kata
“Halo, Nin. Kau tidak masuk hari ini, apa terjadi sesuatu? Kau baik-baik saja?” Nina terdiam sejenak lalu menjawab, “Ya, aku … baik-baik saja. Hanya merasa sedikit tidak enak badan.” Nina meremas ponselnya. Padahal Ash sudah merelakannya menikah dengan Riyon, tapi perhatian pria itu masih sama dan memancing ingatannya pada semua perhatian Ash selama ini. Saat ia berkelahi dengan Winda kemarin, Ash juga jadi orang pertama yang peduli. “Sungguh? Perlu ke dokter? Aku akan–” “Tidak, Ash. Aku hanya butuh istirahat,” potong Nina cepat. Ia tidak mau merepotkan Ash. Di tempat Ash sendiri, dirinya hanya mengukirkan senyum tipis. Entah kenapa, ia merasa terdapat tembok tak kasat mata antara dirinya dan Nina. “Baik lah. Jika terjadi sesuatu, atau kau membutuhkan sesuatu, segera hubungi aku, Nin.” “Ya. Terima kasih, Ash.” Ash mengakhiri panggilan dan menatap layar ponselnya dalam diam. Ia berada di toilet sekarang, sengaja, untuk menghubungi Nina. Ash tersenyum kecut. Padahal ia ingin mengambil jarak dari Nina, tapi dirinya tak bisa berhenti mengkhawatirkan wanita yang akan menikah dengan kakaknya itu. Kembali ke tempat Nina, dirinya menatap ponselnya dalam diam. Entah apa yang ia pikirkan, tapi sepertinya tak jauh dari Ash. Riyon memperhatikan Nina dalam diam, melihat ekspresi yang Nina tunjukkan. Ia pun kembali merasa menjadi penjahat sekarang, menjadi tembok pemisah antara Nina dan adiknya. Tapi, kembali lagi, ia hanya tak ingin membuat Ash menanggung kesalahannya. “Kita harus bicara.” Nina baru tersadar. Ia seolah melupakan kehadiran Riyon di sana. Melirik Riyon sekilas, ia mengajak pria itu keluar dari kamar untuk bicara. “Seperti yang kukatakan, kita akan menikah bulan depan. Jadi, aku ingin meminta berkas-berkas sekaligus mengajakmu fitting baju pernikahan,” ujar Riyon, mengatakan maksud dan tujuannya sejak awal. Saat ini ia telah duduk di kursi ruang tamu, berhadapan dengan Nina dibatasi meja. Nina terdiam tak mengucap sepatah kata. Rasanya ia ingin berpikir lebih lama lagi untuk melanjutkan semua ini, menerima pernikahannya dengan Riyon. Sebagai wanita ia ingin menikah dengan pria yang ia cintai dan hanya sekali seumur hidup, tapi jika menikah dengan Riyon, sepertinya keinginannya tak akan terwujud. Pernikahan mereka terjadi karena terpaksa, bukan karena cinta. “Kenapa kau sangat ingin menikah? Jika kau sangat ingin bertanggung jawab pada anak ini, kau bisa melakukannya tanpa adanya pernikahan,” ucap Nina dengan mengusap perut dan menatap bunga tulip dalam vas kaca di atas meja. “Kau sangat membingungkan.” Nina seketika mengangkat kepala menatap Riyon, menunggunya menjelaskan maksud ucapannya. “Ketika wanita di luar sana menuntut tanggung jawab dari pria yang menghamilinya, kau justru sebaliknya. Kau benar, aku bisa tetap bertanggung jawab tanpa menikahimu, tapi bagaimana dengan statusmu di masyarakat nanti? Jangan bersikap egois dengan merasa kau bisa menghadapi semuanya seorang diri.” Nina tertegun, merasa tertohok dengan ucapan Riyon. Siapa kira Riyon memikirkannya, memikirkan dirinya jika mengandung tanpa sosok suami. “Dan sudah kukatakan, aku tidak ingin menumbalkan adikku. Jika kalian menikah, akan tertulis nama Ash di akta, sementara anak itu adalah darah dagingku. Aku tidak mau membuat anakku bingung dengan statusnya di masa depan. Aku adalah ayahnya, dan adikku adalah paman kecilnya.” Nina tak mengalihkan pandangan. Ia mendengar dengan jelas ucapan Riyon dan menarik pikirannya bahwa Riyon adalah pria yang kejam. Meski kadang ucapannya begitu menyayat, tapi mendengar apa yang Riyon katakan sebelumnya menunjukkan bahwa sebenarnya Riyon peduli. Bukan hanya pada calon anaknya, tapi juga pada dirinya juga Ash. “Aku tidak ingin masalah ini menjadi rumit. Kita sudah sama-sama dewasa, sama-sama mengerti arti tanggung jawab. Meski mungkin berat bagimu, tapi demi janin dalam perutmu, kau harus mau bekerjasama,” ujar Riyon kembali. Ia telah belajar dari ibunya, menurunkan ego demi calon anaknya dan berharap Nina juga demikian. Ia yakin Nina juga peduli pada janin dalam perutnya. Nina tetap diam tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kemarin-kemarin hingga saat Riyon berdiri di depannya saat ia membuka pintu, ia berpikir jika Riyon benar-benar memiliki sifat dan mulut yang buruk, tapi entah kenapa mendengar kalimat-kalimat panjangnya barusan, ia berpikir sebenarnya Riyon memiliki sisi lain yang tidak terlalu buruk. Riyon seolah menunjukkan bahwa dirinya benar-benar dewasa. Nina memejamkan mata sejenak saat ia tertunduk. Sampai akhirnya ia bangkit dari duduknya dan menuju kamar untuk mengambil berkas yang diperlukan. Pada akhirnya ia mengikuti alurnya, mengikuti sesuai rencana yang Riyon katakan. Meski di hati masih mengganjal, tapi dirinya juga tak ingin masalah ini berlarut dan semakin rumit. Tak lama kemudian Nina kembali dan memberikan surat-surat yang mungkin dibutuhkan pada Riyon di dalam sebuah map. “Untuk baju, aku tidak masalah memakai apapun,” ucap Nina yang terdengar begitu pasrah. “Aku tidak tahu ukuranmu,” kata Riyon seraya memeriksa berkas dalam map yang Nina berikan. “Berat badanku lima puluh enam, tinggi seratus enam puluh lima,” ujar Nina yang masih berdiri di dekat meja. Ia tidak peduli dengan pakaian yang akan ia pakai nantinya, ia juga tidak peduli pernikahan seperti apa yang diadakan nantinya. Apakah acara itu akan mewah, sederhana, atau mereka hanya akan menikah di KUA saja, dirinya tak peduli. Riyon hanya diam dan menatap Nina dengan pandangan tak terbaca. Ia kemudian bangkit dari duduknya. “Baik lah. Aku pergi sekarang. Jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku.” Hanya gumaman samar terdengar lolos dari mulut Nina. Dan saat Riyon pergi meninggalkan rumahnya, ia tetap berdiri di posisinya. Tak lama, Nina duduk termenung setelah mendengar mobil Riyon meninggalkan halaman rumahnya. Ia lalu menunduk dan mengusap perut ratanya lalu bicara dengan suara pelan seakan janin yang masih begitu kecil dalam rahimnya bisa mendengar. Siang harinya, Nina tampak tidur pulas. Ia sudah terlanjur terlambat tadi pagi, jadi terpaksa absen. Ia seakan lupa bahwa dirinya sudah mendapat SP 1 kemarin. Jika sering absen, mungkin ia akan segera mendapat SP 2. Dahi Nina tampak berkerut saat samar-samar ia mendengar suara ketukan pintu. Ia pun membuka mata dan meraih kesadaran sebelum akhirnya turun dari ranjang dan berjalan ke pintu depan. Setelah membuka pintu, Nina dikejutkan dengan keberadaan seseorang yang tidak ia kenal. Orang itu tidak sendiri. “Halo, benar ini rumah … Hanina Naura?” tanya wanita yang berdiri di depan Nina. Wanita itu sesekali melihat layar ponselnya memastikan ia tidak salah alamat. “I- iya benar. Anda … siapa?” Wanita itu terdengar bernapas lega lalu memperkenalkan dirinya. “Perkenalkan, namaku Mona dan aku di sini atas perintah calon suamimu.” Nina mengernyitkan alis, yang ada di pikirannya adalah Riyon. “Riyon bilang kau tidak bisa ke tempatku jadi menyuruhku ke sini agar kau bisa memilih sendiri sekaligus mencobanya,” ujar Mona. Wanita dengan bibir tebal hasil operasi itu lalu menyuruh para asistennya membawa koleksi gaun yang ia bawa. Ia pikir rumah Nina besar hingga membawa beberapa koleksi gaun terbaiknya, tapi melihat rumah Nina yang bisa dibilang kecil, harusnya ia membawa 2 atau 3 saja. Nina membuka pintu lebih lebar saat para asisten Mona masuk ke dalam rumahnya membawa koleksi gaunnya. Ia tak percaya Riyon sampai melakukan ini, padahal ia sudah mengatakan bahwa ia bisa memakai baju apapun. “Maaf, tunggu sebentar. Aku akan kembali,” ucap Nina saat ia memutuskan menghubungi Riyon. Nina berjalan menuju kamarnya, mengambil ponselnya dan menghubungi Riyon. “Halo, apa maksudnya ini? Kau menyuruh orang ke sini?” tanya Nina setelah panggilan terhubung. “Dia sudah sampai?” “Ya, dan dia memenuhi rumah kecilku dengan gaun-gaunnya. Bukankah sudah kukatakan aku tidak peduli mau pakai pakaian apapun?” “Kalau begitu pilih saja mana yang kau mau. Jangan terlalu pas, pilih yang sedikit longgar. Satu bulan dari sekarang mungkin perutmu akan sedikit membesar.” Nina memijit pelipisnya, kepalanya terasa berdenyut ngilu. “Aku ada urusan. Aku akan ke sana setelah selesai.” “Ta- tapi–” Belum sempat Nina bicara, Riyon telah mengakhiri panggilan. Nina menghela napas berat. Dengan terpaksa, ia keluar dari kamar kembali menemui Mona. “Mau coba yang mana dulu?” Saat kembali ke ruang tamu, Nina telah disambut Mona dengan tawarannya, menyuruh Nina memilih satu atau dua dari koleksi gaun-gaun yang ia bawa. Nina memperhatikan gaun-gaun di depan mata. Ada yang tersampir di sofa, ada yang terpajang di manekin, juga ada yang dipegang asisten Mona. Nina mengedarkan pandangan memperhatikan sekilas setiap gaun yang kebanyakan berwarna putih itu. “Bagaimana dengan kebaya?” tanya Nina. Ia pikir Mona dan orang-orangnya akan pergi karena tak membawa apa yang ia minta. Mona hanya membawa gaun. “Kebaya? Tentu saja ada,” kata Mona kemudian menyuruh asistennya yang berdiri di samping pintu untuk mengambilnya. Nina memijit pangkal hidungnya. Rupanya ia salah. Tak lama asisten Mona membawakan Nina satu set kebaya. “Kukira kau akan antusias memilih gaun lebih dulu,” kata Mona saat mengambil alih kebaya dari tangan asistennya. Ia lalu menunjukkannya pada Nina. “bagaimana?” Nina sudah pusing dengan kehadiran Mona dan orang-orangnya membuatnya memutuskan memilih kebaya itu. Ia lalu menunjuk satu gaun untuk resepsi, sebuah gaun sederhana simple warna putih gading. “Kalau begitu, mari kita coba,” ucap Mona setelah Nina menentukan pilihannya. “Apakah harus?” tanya Nina, padahal ia ingin Mona segera pergi dari rumahnya. “Tentu saja. Agar aku bisa menyesuaikannya dengan tubuhmu satu bulan lagi. Riyon sudah memberitahuku, kau tidak perlu terkejut,” ujar Mona sambil mengedipkan mata saat mengatakan kalimat terakhir. Nina menatap Mona dalam diam. Entah hanya perasaannya saja atau benar adanya? Mona seperti sudah mengenal Riyon dengan dekat. Mona membawa gaun pilihan Nina ke kamarnya untuk Nina coba. Saat memasuki kamar Nina, ia tampak memperhatikan setiap sudut dan memuji kamar Nina tampak rapi dan wangi. “Kamarmu bagus, dan … harum,” ucap Mona. Posisinya berdiri di depan meja rias sekarang dengan Nina berada di depannya menghadapnya. Nina hanya menyungingkan senyum tipis sambil mengangguk kecil. Jika bukan karena harus mengiba gaunnya, ia tak akan membiarkan Mona masuk ke kamarnya. “Oh, ya, sebelum mencoba gaun ini, ada yang ingin kukatakan.” Nina hanya diam, menunggu Mona melanjutkan ucapan, mengatakan apa yang ingin dikatakannya. “Kau tahu? Aku sangat terkejut saat tiba-tiba Riyon menghubungiku dan mengatakan dia akan menikah. Dan yang lebih membuatku terkejut lagi adalah, calon istrinya yaitu dirimu, sudah hamil lebih dulu. Menurutku ini sebuah kejutan. Aku tahu seperti apa Riyon itu baik luar dan dalam. Dan rasanya … sedikit aneh dia memilihmu.” Nina tak mengalihkan pandangannya dari Mona, mencerna setiap kata yang terucap dari mulutnya. Pikiran buruk pun merasuki kepala, menduga Mona memiliki hubungan spesial dengan calon suaminya. Mona mengambil langkah hingga berdiri tepat di depan Nina. Ia lalu mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Nina, mengatakan siapa dirinya sebenarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN