Tata Terpuruk dan Terguncang

1400 Kata
Sekembalinya mereka ke rumah, Tata masih terlihat sangat shock, jiwanya terguncang. Pasalnya, ini adalah pertama kalinya Tata melihat jelas gambaran kematian di depan mata. Sikapnya yang ceria dan periang mendadak berubah menjadi diam. Tak banyak lagi kata yang keluar dari bibir mungilnya, tak banyak ocehan yang akan ditanyakan olehnya. Sesekali ia tiba-tiba menangis, entah apa yang ditangisi. Semua orang bingung harus melakukan apa, mereka tak menyangka bahwa akan secepat ini kekuatan melihat bayangan kematian turun pada Tata. Fitri ikut stress dibuatnya, ia yang awalnya mulai bisa menerima keadaan mendadak menutup diri lagi karena melihat anak bungsunya seperti itu. Sudah menjelang malam, tapi Tata belum ada perubahan. Omah dan Opahnya putar otak harus berbuat apa, Rey berkali-kali menghibur dan mengajak adiknya bercanda hasilnya tetap sama tak ada respon seperti biasanya. Fitri tak meninggalkan Tata barang sedikit pun, begitu juga dengan Rey. "Kenapa jadi seperti ini, Pi," keluh Fauzi pada mertuanya. "Papi juga kaget, gak nyangka kalau secepat ini. Tata masih terlalu dini untuk menerima semuanya, yang lebih Papi gak nyangka adalah kenapa harus bayangan kematian kecelakaan. Papi khawatir akan mengguncang mental Tata." "Pi, apa gak sebaiknya kita minta tolong sama Pak Kyai seperti Fitri dulu," usul Mami. "Terserah Fitri dan Fauzi saja, Mi. Mereka orang tua Tata, mereka yang lebih tahu anaknya seperti apa dan bagaimana." "Gimana, Zi?" tanya Mami. "Fauzi gak bisa memutuskan masalah yang besar ini sendirian, Mi. Tetap harus dibicarakan sama Fitri. Mami dan Papi tahu sendiri, sikap Fitri seperti apa dan bagaimana. Fauzi gak mau nantinya justu ada salah paham." "Iya, Fauzi benar juga, Mi. Anak Mami itu 'kan keras kepala sekali, khawatir nanti ujungnya tidak baik. Dikira kita semena-mena sama anaknya." "Kalau begitu, kita lihat dulu saja perkembangan Tata, setelah itu kita ajak ngobrol Fitri pelan-pelan, bagaimana?" "Kalau seperti itu, Fauzi setuju, Mi. Dan aku serahkan itu pada Mami agar bicara dari hati ke hati sebagai seorang Ibu." "Ya sudah. Berarti kalian harus menunda kepulangan kalian." "Gak pa-pa, Mi. Yang penting Tata kembali seperti sedia kala dulu." "Sebentar, panggil Mbok dulu ya, sepertinya mereka belum pada makan malam." "Mbok!" panggil Mami. "Iya Nyonya Besar." "Mbok, tolong bawakan makan malam ke kamar Tata ya. Fitri dan Rey belum makan, sekalian lihat keadaan Tata ya, Mbok." "Baik, Nyonya." *** Mbok dengan cekatan menata makanan untuk majikan dan anaknya. Setelah itu, dibawa menuju kamar Tata sesuai dengan perintah Nyonya Besar. Diketuk perlahan pintu kamar Tata dan yang buka ternyata Rey. "Aden," sapa Mbok. "Iya, Mbok. Bawa makan malam ya?" "Iya, Aden." "Ya sudah, masuk Mbok." Mbok segera masuk dan meletakkan nampan berisi makanan di atas meja yang tak jauh dari ranjang. Pandangan matanya berhenti pada ibu dan anak yang lagi saling memeluk. Mbok menatap nanar keduanya, ada rasa sedih yang menjalar hatinya melihat majikan kecilnya hanya diam seperti seonggok daging tak bernyawa. Dengan lembut Fitri membelai kepala anaknya, menenangkan Tata yang sepertinya lelah menangis. Air mata masih terlihat jelas walaupun sudah mulai mengering. Mbok mendekati mereka dan duduk di bibir ranjang, menatap lekat keduanya. "Nyonya," panggilnya lembut. "Iya, Mbok." "Makan malam dulu ya," pintanya. "Sebentar ya, Mbok. Sebentar lagi, sampai Tata tenang dulu." "Non," panggil Mbok menyentuh lengan Tata. "Mbok," sahutnya dengan bibir bergetar. "Mbok masak makanan kesukaan Non, makan malam dulu ya." "Kakaknya ikut makan juga gak, Mbok?" tanyanya membuat Mbok bingung. Mata Fitri kembali mengembun, ia benar-benar terpukul melihat jiwa anaknya terguncang seperti ini. "Dik, makan malam dulu ya," rayu Rey mencoba mengalihkan pembicaraan. "Adik harus makan, biar sembuh, nanti sekolah. Kalau adik sakit, kita gak bisa pulang ke rumah," rayu Rey kembali. "Adik mau pulang, Bang. Tapi, bilang sama kakaknya jangan ikut. Adik takut, adik kasihan lihat kakaknya, adik … adik … adik … hu hu hu … darah, tabrakan, mobil kencang, hiks … hiks …," tangisnya kembali pecah. "Ibuuunnn! Adik takut, hu hu hu," tangisnya semakin menjadi histeris, memeluk Ibunnya dengan sangat erat. Matanya mengawasi setiap sudut kamar dalam keadaan menangis. Ia seakan takut tiba-tiba gadis kecil yang tadi kecelakaan hadir di sekitarnya. Fitri kembali merengkuh tubuh mungil anaknya, mereka menangis bersama tergugu membuat Rey kalut. "Sssttt, Sayang. Tenang, adik jangan seperti ini hu hu hu, jangan buat Ibun khawatir, hiks … hiks …." "Adik, tenang ya, Sayang," ucapnya lagi mencoba menenangkan. "Adik, ayo jangan seperti ini. Lihat Ibun, Dik! Ibun kita nangis! Apa adik gak sedih lihat Ibun nangis?" "Ibun nangis?" tanyanya dengan bibir bergetar. "Iya, Sayang. Tuh, lihat, Ibun nangis," balasnya dengan suara lembut. "Ibun, jangan nangis! Adik minta maaf, ayo kita makan. Jangan nangis lagi ya, please, Adik mohon, Ibun." "Gak, Nak. Ibun gak nangis, nih Ibun gak nangis, Sayang," ucapnya menenangkan. Segera menghapus bulir kristal yang masih jatuh membasahi pipi. Mbok merasa tak kuat melihat pemandangan di hadapannya lalu segera menyingkir dan mengambil makan malam. Nampan berisi makan malam tersebut langsung diberikan pada Fitri. Dengan cekatan, Fitri langsung menyuapi anak-anaknya agar tidak sakit. Mbok pamit keluar kamar untuk meneruskan pekerjaan yang belum selesai, Fitri mempersilahkan dengan memberikan senyum lembutnya. Mbok menangis di luar kamar, melihat kacaunya anak bungsu majikannya tersebut. Mami melangkah menuju kamar, Mbok langsung mengusap kasar tangisannya. *** "Mbok? Ada apa?" tanya Mami terkejut karena melihat Mbok menangis seperti itu. "Gak pa-pa, Nyonya." "Jangan bohong! Ada apa?" "Mbok sedih lihat Nona Tata seperti itu, Nyonya. Sakit sekali lihat, tatapan matanya sendu, terkadang kosong. Non Tata benar-benar terlihat sangat kacau sekali. Mbok sedih melihat Nona yang biasanya cerita, tertawa, jahil, ini justru diam saja seperti … ah Mbok gak bisa ngomong apa-apa lagi," jelasnya dengan bibir bergetar. "Ya Allah … masih sama seperti tadi, Mbok?" "Iya, Nyonya, makanya Mbok sedih banget." "Ya sudah, saya masuk dulu, Mbok." "Nyonya, mohon maaf, apa tidak sebaiknya nanti saja masuknya? Mereka sedang makan dan Mbok khawatir dengan keadaan Nyonya, takutnya nanti makin sedih dan ikutan kacau." "Begitu ya, Mbok?" "Iya, Nyonya. Soalnya, kondisi Non Tata tidak baik-baik saja. Sepertinya saat ini sedang butuh Ibunnya banget." "Ya sudah, Mbok. Mari kita kembali ke kamar, besok pagi saja kita melihat keadaan Tata." "Mari, Nyonya." Kedua wanita paruh baya itu berjalan menjauh dari kamar tersebut dan menuju singgasana masing-masing. Mami kembali ke kamarnya dan Mbok kembali ke dapur membereskan bekas makanan yang tadi. "Mbok," panggil Bibi. "Iya, Bibi. Kenapa?" "Gimana kondisi, Non Tata?" "Hm … Mbok bingung harus menjelaskan bagaimana, Bi." "Memang kenapa, Mbok?" "Keadaannya masih sama, Bi. Kasihan lihatnya, kayak orang tak bernyawa. Sakit banget hati Mbok melihat Non Tata seperti itu. Mbok seperti kehilangan semangat kalau salah satu anggota keluarga Sukmaya itu ada yang keadaannya tidak baik-baik saja seperti ini, Bi." "Sabar, Mbok. Bibi juga sedih lihatnya, Bibi seperti melihat bayangan Non Fitri saat dulu. Sama percis seperti Non Fitri saat pertama baru melihat bayangan kematian orang." "Sepertinya, memang apa yang dimiliki oleh Non Fitri turun ke Non Tata, Mbok," lanjutnya. "Iya, Bi. Sepertinya begitu, Mbok gak sanggup melihatnya." "Mbok, kita berdoa saja, semoga Non Tata seperti sediakala lagi." "Aamiin, kita berdoa bareng-bareng ya, Bi. Minta doanya untuk kesembuhan Non Tata." "Iya, Mbok. Pasti. Mari kita segera beberes, setelah itu istirahat." "Ayo, Bi." *** "Tidaakkkk!! Awas, Kakak!! Ada mobil!!" teriak Tata tiba-tiba tengah malam saat semua orang sudah terlelap tidur. "Tidaakkk!! Jangan!! Jangan tabrak kakak itu!!" "Aaahh!! Daraaahhh!! Ya Allah … Ya Allah … Ya Allah …." "Tolonnngg!!" teriaknya lagi untuk yang kesekian kali membuat Fitri dan Rey bangun. Keduanya terkejut mendengar teriakan Tata dan langsung terjaga. Mencoba membangunkannya tapi tak juga kunjung sadar. Teriakan demi teriakan terdengar nyaring, Tata sepertinya mimpi buruk sekali. Fauzi dan kedua orang tua Fitri berlarian menuju kamar Tata dan terkejut melihat Fitri berusaha membangunkan Tata. "Sayang, ada apa?" "Ay! Tata hiks … hiks … gak tahu ini, kenapa … tolongin …." "Allahu Akbar … Cucu Omah … hiks …," tangisnya histeris. "Mi, tenang! Kontrol diri Mami, jangan sampai pingsan!" Papi mengingatkan istrinya itu. Fauzi sudah berlari dan loncat ke atas ranjang, mengambil alih membangunkan Tata namun tak juga bangun. Tak ada jalan lain, Fauzi harus melakukan yang dulu dilakukan juga pada Rey. "Kayaknya, lebih baik kita bikin tenang dalam tidurnya, Bun." "Caranya?" "Ya Allah, Bun! Kenapa jadi lemot? Ya seperti Ayah membuat Abang tertidur." "Ah iya, lebih baik seperti itu." "Bismillah …." Fauzi langsung menengadahkan kedua tangannya ke atas, berdoa dan meminta pertolongan juga kedamaian pada Gusti Allah. Lalu mengusap wajah anaknya, dan seketika Tata kembali menjadi tenang, lalu nafasnya teratur dan kembali tidur. Semua orang yang berada di dalam kamar langsung mengucap syukur karena Tata kembali tenang dan tidur dalam damai. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN