Tiga hari berlalu, keadaan Tata masih sama dan belum ada perubahan sama sekali. Bahkan semakin menjadi, bisa setiap waktu jika sedang sendiri maka ia akan menangis histeris dan berteriak meminta tolong. Fitri jangan ditanya lagi, keadaannya tidak jauh beda dengan anaknya itu.
Rey sampai tak ingin meninggalkan kedua wanita yang sangat dicintai itu barang sebentar saja. Setiap waktu bahkan sepanjang hari selalu bersama di satu kamar. Tak peduli dengan ucapan ayah dan omah opahnya, ia tetap ingin berada di kamar Tata menjaga Ibun dan Adiknya.
Meysa juga selalu menemani sahabatnya itu, sepanjang waktu. Ia ikut merasakan sedih seperti yang dirasakan oleh Fitri. Hantu kecil itu tahu betul bagaimana terpukulnya Fitri, sebab sebelumnya Fitri yang berada di posisi Tata sekarang. Meysa melihat pemandangan di hadapannya itu, seperti flashback dengan kejadian yang menimpa Fitri.
"Fit," panggil Mey.
"Iya, Mey?"
"Sampai kapan Tata dibiarkan seperti ini?"
"Tidak dibiarkan, Mey, tapi katanya Mami nunggu Pak Kyai yang waktu itu untuk mengobati Tata."
"Lalu, bagaimana? Apakah sudah ada kabar?"
"Belum. Beliau masih diluar kota katanya," lirihnya menunduk memandang anaknya yang sedang terlelap.
Mereka semua menatap wajah damai Tata yang sedang tertidur. Hancur hati mereka melihatnya seperti ini. Dunia serasa berhenti berdetak ketika tak ada lagi senyum, tawa, canda dan kejahilan Tata yang selalu terhias setiap waktunya.
"Sahabatnya gimana?"
"Sahabat?"
"Iya! Dewi Anjani!"
"Astaghfirullah … aku hampir saja melupakannya. Tapi, memang beberapa waktu itu aku tak pernah melihatnya muncul. Mungkin ada misi atau entahlah, beliau pernah mengatakan dulu jika tak pernah hadir itu artinya sedang ada misi yang harus diselesaikan dan tak bisa ditinggal."
"Sudah mencoba untuk memanggilnya melalui batin?"
Fitri menggeleng.
"Cobalah! Biasanya, sahabat pendamping lebih tahu dan lebih paham sikap yang seharusnya diambil itu seperti apa dan bagaimana. Sebab, mereka lebih bisa melihat situasi daripada kita."
"Apa tidak masalah? Aku seringkali menolaknya dan kali ini meminta bantuannya?"
"Oh ayolah, Fit! Singkirkan egomu dan pentingkan anakmu! Kasihan Tata, lihatlah! Dunianya mendadak berhenti karena ilmu yang di berikan padanya secara tiba-tiba tanpa permisi!" sergah Mey.
"Ba-baik. Nanti aku akan mencoba memanggilnya, semoga saja Nyai nyaut ketika aku memanggilnya."
"Itu yang sangat kita harapkan!"
Ini malam keempat, semuanya terjaga dan serasa enggan untuk terlelap, mereka semua keras kepala ingin menjaga Tata agar jika ngamuk seperti biasa akan langsung sigap mendekat. Dan, malam ini mereka juga kedatangan tamu yang secara tidak langsung sudah mereka lupakan keberadaannya padahal ia punya peran di dalamnya, Dewi Anjani.
"Assalamualaikum, Aden," sapa Aki yang tiba-tiba mengucap salam dengan batin.
"Waalaikumsalam, Aki, kemana aja?"
"Maafkan, Aki baru sempat datang dan melihat semuanya. Aki dan Nyai sedang ada tugas penting yang sama sekali tak bisa ditinggal."
"Adik Tata …," batinnya menangis.
Pertahanannya bobol, ia selalu mencoba merasa kuat dan baik-baik saja namun kenyataannya Rey selalu menahan semuanya agar tidak runtuh. Ia berjalan menuju kamar mandi dan mulai menangis di hadapan Aki. Rey tidak pernah mau menangis didepan Ibun dan Adiknya.
"Jangan menangis, Aden. Saat ini, bukan waktunya untuk menangis. Sebab, Nona Putri membutuhkan pertolongan."
"Apa yang bisa kita perbuat untuk menyembuhkan Adik?"
"Nanti, Nyai akan datang dan memberitahu langkah apa yang harus diambil."
"Kapan?"
"Aki tidak tahu, tapi secepatnya Nyai pasti akan datang membantu. Nyai tidak sampai hati melihat sahabatnya seperti itu."
"Semoga, Nyai segera datang dan memberitahu apa langkah yang harus kita ambil."
"Aamiin."
***
"Nyai!" Fanzi terkejut melihat kedatangan Nyai yang tiba-tiba.
"Assalamualaikum, Tuan."
"Wa-walaikumsalam," jawabnya terbata masih belum hilang rasa terkejutnya.
"Nyai, kemana, saja!" sentak Rey yang saat itu tak sengaja melintas ingin ke dapur mengambil air.
Rey sudah mengetahui bahwa Nyai akan datang, tapi ia tak menyangka akan datang secepat ini. Padahal, lima belas menit yang lalu Aki baru saja pamit untuk pergi dan Rey memang berniat mengambil air yang sudah kosong di dalam teko. Ternyata, di luar kamar sudah ada Nyai yang datang.
"Aden," lirihnya.
"Tata sakit, Nyai," lirihnya dengan suara parau.
"Tata … hiks … kayak orang depresi, selalu berteriak dan menangis setiap malam … kenapa Nyai gak datang tolong, Tata?" protesnya lantang.
"Maafkan, Nyai, Aden …."
"Bantu Tata, Nyai."
"Siapa dia, Sayang?" tanya Omah lembut pada Rey, beliau dan suaminya baru saja ikut bergabung.
"Nyai teman Adik sama seperti Aki, Omah."
"Assalamualaikum," ucap Nyai menangkupkan kedua tangannya.
"Waalaikumsalam, Nyai--"
"Dewi Anjani, Omah," jawabnya lembut.
"Nah iya, panggil Omah saja agar tidak terlalu formal, hehe."
"Baik, Omah."
"Jadi, gimana, Nyai?"
"Gimana apanya, Tuan?"
"Nyai, kata Aki, Nyai bisa bantu Adik."
"Astaghfirullah … maaf, Nyai hampir lupa Aden."
"Jadi, apa untuk membuat Tata kembali seperti semula langkah apa yang harus diambil?" tanya Papi dengan tenang.
"Sebelumnya, Nyai mohon maaf jika ilmu yang tiba-tiba dimiliki oleh Nona Putri justru membuatnya jadi seperti ini. Jujur, Nyai sebenarnya tidak tau kapan ilmu-ilmu itu satu persatu akan menurun padanya, jadi tak bisa mencegahnya."
"Ada satu cara yang bisa membuatnya kembali seperti semula dan lupa dengan kejadian kecelakaan itu."
"Apa, Nyai?" tanya Fauzi tak sabar.
"Seperti biasa, ambil air dari tujuh sumur tak lupa dengan kembang dan kantilnya. Mandikan pukul dua belas lebih lima malam dan dikerjakan saat malam jumat."
"Dimana bisa kita lakukannya?"
"Di rumah ini, tidak apa-apa. Agar segala sesuatu yang buruk ada dipikiran Nona Putri segera luruh.
"Baik. Itu berarti besok malam bisa kita lakukan."
"Mi, Pi, dimana bisa mendapatkan air tujuh sumur?"
"Nanti, supir yang akan mengantarmu, Zi," terang Papi.
"Alhamdulillah … akhirnya Tata akan bisa kembali seperti semula lagi," ucap syukur Fauzi.
"Semoga setelah ini keadaan Nona Putri kembali baik-baik saja. Aamiin."
"Aamiin Ya Rabb …."
"Nyai pamit, wasaalamualaikum."
"Waalaikumsalam," ucap mereka serempak.
"Ayah, besok Abang ikut ya."
"Jangan!" cegah Omah dan Opahnya serempak.
"Kenapa?" tanya Rey penasaran.
"Fauzi, lebih baik kamu pergi sama supir saja. Papi sebenarnya tak ingin melarang, tapi tempatnya … ah kamu pasti paham maksud Papi. Bukan apa-apa, takutnya yang satu sehat, justru yang satunya gantian. Paham 'kan?"
"Iya, Pi. Nanti biar Fauzi yang jelaskan pada Abang."
"Bang, untuk sementara waktu dan karena ini bukan wilayah sendiri, ada baiknya Abang tidak usah ikut dulu. Sebenarnya, Ayah gak mau ngelarang tapi kita gak tahu medan yang akan ditempuh seperti apa. Jadi, Ayah minta pengertian Abang untuk tidak memaksa ikut dan lebih baik di rumah menjaga Ibun dan Adik."
"Baik, Ayah. Abang akan dirumah saja," jawabnya lesu.
"Anak pintar. Itu baru anak Ayah yang hebat!" pujinya.
"Ya sudah, Ayah. Abang mau ke dapur ambil minum dulu."
"Iya, Sayang."
***
Rey berjalan gontai menuju dapur, gelap gulita sekali di dapur. Ia mencari saklar lampu agar dapur menjadi terang, saat tangannya meraba dinding dan sudah menemukan tombol saklar, tiba-tiba tangannya ada yang menyentuh dan membuatnya reflek menarik tangan. Lampu seketika menyala, matanya mengawasi setiap sudut, mengecek apakah ada sesuatu di dapur namun nihil.
Ia berjalan menuju dispenser lalu menuangkan air ke dalam teko. Bahunya ditepuk oleh seseorang.
"Astaghfirullah … Bibi!" serunya.
"Aden, mau apa?" tanya dengan suara datar dan tatapan dingin.
"Ini, nuang air ke teko, Bi. Bibi mau apa?"
"Oh ya sudah. Gak, tadi Bibi lihat lampu dapur menyala, makanya kesini," ucapnya masih dengan tatapan dingin.
Rey merasa ada yang aneh dengan Bibi, menatapnya lekat dan memperhatikan dari atas ke bawah. Merasa tidak ada yang aneh, Rey kembali dengan aktivitasnya. Lalu ia berlalu dari dapur dan Bibi masih di tempatnya menatap kepergian Rey.
Saat ia ingin menaiki tangga melihat Bibi baru keluar dari kamarnya. Dan langsung menoleh ke arah dapur, kosong. Dapur pun masih dalam keadaan menyala.
"Bi," panggil Rey.
"Iya, Aden. Butuh apa?"
"Bibi darimana?"
"Dari kamar Aden, mau ke dapur nih, mau ambil air."
"Dari kamar? Lalu yang di dapur tadi?"
"Maksudnya gimana, Aden?"
"Ah gak pa-pa, kok, Bi. Ya sudah, Abang naik ke atas dulu ya," pamitnya.
"Silahkan, Aden."
's**l! Baru kali ini selama tinggal disini diusilin macam ini! Siapa pula yang usil! Gak ada kerjaan banget! Awas saja kalau ketahuan siapa yang usil, aku bakar nanti!' gerutunya kesal.
Melanjutkan langkah kakinya menuju kamar adiknya. Di dalam kamar, terlihat Ibunnya sedang menidurkan adiknya. Sedih rasanya, tapi berusaha untuk tetap tegar.
"Ibun, ini airnya, minum dulu ya."
"Makasih ya cintanya, Ibun. Abang istirahat ya, Sayang. Sudah malam."
"Iya nanti kalau Adik dan Ibun sudah bobo. Abang jaga kalian."
"Abang memang anak pintar, Ibun bangga punya anak lelaki seperti Abang. Sini, Nak," panggilnya.
Ibun merentangkan kedua tangannya, Rey masuk ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan memberikan kekuatan satu sama lainnya. Menanti kesembuhan Tata memang membutuhkan dukungan satu sama lainnya, singkirkan keegoisan dan utamakan kebersamaan.
***