Bayangan Kematian

1813 Kata
Malam kedua mereka d Bandung, seperti liburan-liburan sebelumnya mereka pun akan makan malam dan bakar ayam di taman belakang. Rumah orang tua Fitri sangat besar ya setara dengan rumah mereka. Adik dan Abang sangat antusias sekali, disini mereka bisa berexplore karena banyak sekali teman seusianya, ya walaupun dalam dunia yang berbeda. Beberapa kali Fitri melihat kedua anaknya itu berbicara, bercanda dan tertawa. Jika orang lain yang melihat mungkin akan dianggap gila, untung saja tidak ada orang lain yang hadir di antara mereka. Mbok dan Bibi sibuk menyiapkan segala sesuatunya, suami, Papi dan Maminya juga sibuk sendiri. Fitri sendiri yang duduk di saung-saungan menatap mereka yang sibuk dari kejauhan. "Hei," sapa Memey. "Ya Allah, Mey! Bikin kaget saja!" "Hehe, kau masih saja kaget jika bertemu denganku?" "Bukan begitu! Kau muncul tiba-tiba disaat aku sedang fokus melihat mereka! Jelas saja aku akan terkejut Meysa!" "Maaf kalau begitu." "Tak apa, kau sudah terlalu sering bersikap seperti itu, bosan juga aku mendengar terus-menerus kata maaf darimu," kekehnya. "Ish, kau itu!" "Hm … Fit, aku minta maaf soal kemarin ya." "Yang mana?" "Perkataanku yang kemarin, yang mungkin membuatmu sakit hati." "Tak apa, Mey. Mungkin memang apa yang kau ucapkan itu benar, aku yang terlalu egois dan memikirkan diri sendiri. Aku lupa bahwa hidup tidak sendirian dan selalu berdampingan. Allah menciptakan manusia berdampingan dengan hewan, tumbuhan dan kalian. Tapi, terkadang aku enggan mengakui kalian itu ada karena kejadian di masa lalu yang membuatku trauma." "Jujur, tak mudah untukku bangkit dari keterpurukan yang lalu. Terlalu pedih untuk diingat dan diceritakan, itu sebabnya aku memilih untuk menghindari kalian semua. Bukan karena aku benci, sama sekali tidak. Tapi, aku menjaga kewarasan diriku agar tetap waras dan hilang kendali lagi." "Mey, kamu tahu bukan kacau dan histerisnya diriku saat di masa lalu? Bahkan aku hampir saja gila karena merasa tersingkirkan dengan ucapan teman-teman, ditambah lagi kalian yang selalu datang di waktu yang tidak tepat. Memaksaku untuk membantu kalian dan mengharuskan diriku untuk fokus pada kalian. Padahal, dunia kita itu berbeda dan bodohnya aku karena merasa tak punya teman manusia jadi senang mempunyai teman seperti kalian hingga lupa daratan." "Sempat berpikir, dunia ini gak adil sama keluarga kecilku. Kenapa kedua anakku harus menanggung semuanya seperti aku dulu? Tapi balik lagi, ini semua sudah kuasa dari Allah. Dari ucapanmu kemarin, seharian aku banyak berpikir. Mengesampingkan ego dan gengsi untuk menyeimbangkan keadaan, aku berharap kedepannya aku bisa bersikap sesuai dengan apa yang kalian inginkan." "Semoga saja sesuai dengan apa yang kamu harapkan juga ya. Hidup hanya sekali, jangan kau sia-siakan dengan menutup diri karena sesuatu hal yang seharusnya tidak kau pikirkan berlarut-larut." "Makasih ya, Mey. Kamu memang sahabat terbaik aku. Setelah, aku bisa menerima semuanya, semoga kau bisa ikut tinggal bersamaku nanti." "Belajar ikhlas dan sabar dulu ya, baru kita bisa beriringan kembali." "Iya, Mey. Aku butuh teman untuk tukar pikiran, apalagi untuk menghadapi kedua anakku." "Sebenarnya aku selalu ada, kamu bisa membatin tapi memang tak bisa bertemu. Ceritakan saja jika ada sesuatu yang mengganjal. Siapa tahu, aku bisa membantumu." "Tata, masih terlalu dini gak, sih, untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan gaib?" "Jelas! Masih sangat terlalu dini sekali. Memangnya kenapa, Fit?" tanyanya pura-pura tak tahu, ia ingin sahabatnya itu kembali seperti dulu, bercerita tentang apa yang terjadi dalam hidupnya. Fitri menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Tata, punya teman kecil namanya Mawar. Mawar ini berbeda dari anak lain, dugaanku anak kecil itu berbeda karena ulah ayahnya yang bermain dukun. Mawar tak punya kaki semasa hidupnya, selalu di siksa oleh ayahnya, bahkan ibunya sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Ibunya sempat depresi hingga tak sanggup lagi menolong Mawar dan akhirnya anak itu meninggal dijadikan tumbal oleh ayahnya sendiri." "Lalu?" "Anak kecil itu minta tolong sama Tata. Aku khawatir, belum di tolong saja Tata sudah dibawa ke dalam dimensi lain. Kamu bayangkan saja, Mey, dalam waktu lima jam Tata tidak sadarkan diri dan ia berada di dimensi lain. Aku gak suka dan gak terima jika anakku jadi korban nantinya, makanya aku secara tidak langsung tidak memperbolehkan Tata ikut campur." "Sebenarnya, permintaan Mawar itu mudah, hanya ingin bertemu Maminya dan memeluknya tapi tanggapan di sekitar ayahnya justru berlebihan. Aku takut, justru Tata jadi korban selanjutnya." "Kenapa harus takut? Bukankah Tata sudah ada Dewi Anjani?" "Tidak. Aku meminta padanya untuk tidak selalu ada di sekitar Tata untuk saat ini. Sekali lagi, aku tak ingin anak-anak di pandang sebelah mata, Mey." "Oke aku paham. Tapi sepertinya, mulai saat ini kau harus mempersilahkan Dewi Anjani." "Kenapa?" "Karena Dewi sama sepertiku. Aku adalah kamu, dia adalah Tata. Kita ini satu, berdampingan dan beriringan. Dewi Anjani pasti akan menjaga Tata dengan baik. Kasih pintu gerbang yang luas, jangan selalu ditutup." "Dan untuk masalah Mawar, kutegaskan, lebih baik Ibunya itu ke rumah kalian. Jika memang ingin berbicara, kasih kesempatan dan buat kesepakatan bahwa akan terjadi saat itu saja dan kedepannya tak akan ada lagi kesempatan untuk berbicara." "Kamu tahu bukan capeknya rogo sukmo?" Fitri mengangguk. "Nah, jadi, saranku, silahkan kasih izin bicara tetapi sesuai dengan kesepakatan Tata juga mau atau tidak rogo sukmo karena tubuhnya nanti yang akan di pakai. Lakukan semuanya itu di rumah, agar bisa terkontrol dan hanya saat itu saja." "Apakah tak akan masalah nantinya?" "Aman. Dewi dan anak buahnya pasti akan berjaga mengelilingi rumahmu. Mungkin aku akan bisa disana juga tapi ketika kau sudah bisa menerima hidupmu dengan ikhlas," tuturnya tersenyum manis. "Semoga aku bisa menerima semuanya dengan cepat. Aamiin." "Ibun!" teriak Tata. "Sini, sudah matang. Ayo kita makan, kemoonn!" "Tuh anak bungsumu sudah manggil. Sana samperin, ingat tenangkan hatimu, pikiranmu dan jiwamu. Bahagia selalu, Fit." "Pasti, Mey." *** Fitri berlari menuju tempat dimana anak dan keluarganya sedang bakar-bakaran. Mereka semua bercanda, tertawa bersama, rasanya bahagia sekali bisa berkumpul bersama seperti ini. Suasana yang selalu dirindukan setiap waktunya adalah berkumpul bersama seperti ini. Papi menatap anak dan cucunya penuh dengan kebahagiaan, beliau tak banyak bicara jika sudah mengenai sesuatu yang tak kasat mata. Cukup melihat, memantau dari jauh, jika sekiranya harus turun tangan maka akan langsung turun tangan. Mereka berkumpul hingga pukul sepuluh malam, lalu kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat dan esok hari akan berjalan pagi seperti biasanya. Adzan subuh berkumandang, semua anggota keluarga sudah terbangun dan menunaikan shalat subuh berjamaah, setelah itu bersiap untuk jalan atau lari pagi di sekitaran komplek dan berakhir di lapangan yang sudah pasti akan banyak sekali makanan yang berjejer disana. "Ayo, kita berangkat!" teriak Papi dengan penuh semangat. "Ayo, Opah. Kita lari pagi!" seru Tata tak kalah semangat. "Akhirnya, bisa jajan!" teriak Rey membuat yang lain tertawa mendengarnya. Tiga lelaki dan perempuan beda generasi itu mulai melangkahkan kakinya keluar rumah dan berjalan santai lebih dahulu. Sedangkan Rey dan Tata mulai berlari kecil sambil bersenandung. "Abang, Adik, hati-hati, ya!" ucap Fitri mengingatkan. "Siap, Ibun!" "Dijaga adiknya, Bang!" "Siap, Ayah!" "Kalian ini, terlalu mengkhawatirkan mereka," ucap Papi. Keduanya hanya nyengir kuda saja. "Biarin aja napa, Pi! Orang tua khawatir sama anak ya wajar dong!" seru Mami membela anak dan menantunya itu. "Tahu nih, Papi! Syirik aja!" "Idih, siapa yang syirik, Kak? Lebay aja kalian itu, huu," ledeknya. "Sudah buruan ayo lari, anak-anak sudah menjauh itu!" ajak Mami yang mulai berlari kecil di susul Papi dan kedua anak menantunya. Mereka sampai di lapangan, mulai berolahraga ringan. Kedua bocil sudah berbaur dengan teman-temannya yang lain. Memberi kebebasan pada mereka berdua mumpung sedang berada di rumah Omah dan Opahnya. Fitri dan suaminya duduk di bangku tak jauh dari lapangan sedangkan kedua orang tuanya sudah lebih dulu mencari tempat makan yang enak untuk mereka sarapan. Saat sedang asik bermain, tiba-tiba Tata berhenti dan tatapan matanya fokus pada sesuatu. Sorot matanya menunjukan keterkejutan pada sesuatu tersebut, Rey yang menyadari perubahan mimik wajah adiknya langsung mendekat. "Dik, kenapa?" tanyanya menyenggol lengan Tata. Tata masih diam tak menjawab perkataan abangnya. "Dik! Tata, ada apa?" Lagi-lagi hanya diam tak bergeming, Rey mulai memperhatikan sesuatu yang di tatap oleh adiknya dengan wajah yang pucat pasi. Ternyata, yang dilihat oleh Tata adalah seorang anak kecil yang sepertinya usianya di atas mereka berdua. "Dik! Ada apa?" sentaknya mengguncang bahu Tata dan membuatnya terkejut. "Astaghfirullah! Abang, apaan, sih!" "Adik kenapa? Kok ngelamun? Ada apa? Kenapa lihatin kakak itu terus?" "Bang," panggilnya dengan bibir bergetar. "Kenapa? Ada apa, hei? Tenang! Kasih tahu Abang!" tuturnya menangkup wajah mungil adiknya. "Ada asap hitam yang berputar di badan kakak itu," bisiknya pelan agar hanya abangnya saja yang mendengar. "Maksudnya?" "Bang, kematiannya sebentar lagi," gumamnya. "Tata! Jangan bercanda!" bentaknya dengan suara yang lantang, membuat semua mata memandang ke arah mereka. Fitri dan Fauzi yang memperhatikan mereka sejak tadi pun merasa heran dengan kedua anaknya itu dan bergegas menghampiri. "Bang, ada apa? Kenapa bentak-bentak adik?" "Adik ngomongnya ngaco, Bun!" "Ngomong apa memang?" "Kata Adik, kakak yang ada disana kematiannya sebentar lagi, Ayah," bisiknya dengan suara yang terdengar sangat lirih. "Astaghfirullah," ucap Ayah dan Ibunya berbarengan. Mereka berdua saling tatap satu sama lainnya. Sedikit bingung dengan apa yang di ucapkan oleh abangnya, tapi mulai paham bahwa perlahan kekuatan yang dimiliki oleh Fitri menurun pada Tata. "Dik, apa yang dikatakan Abang, benar?" tanya Fitri hati-hati. "Iya, Bun." "Apa yang adik lihat?" "Gelap, darah, pecah, tangisan." Suaranya bergetar, Fitri paham betul kalau anaknya itu merasa takut. Tiba-tiba ada suara deru mobil dengan kecepatan tinggi, semua orang menoleh. "Awass!!" teriak Tata dengan suara yang kencang. Bruukk. Tubuh gadis kecil itu terpelanting jauh, Tata melihat semuanya. Melihat dengan kepala matanya sendiri, dimana mobil itu tiba-tiba menaikan kecepatan, lalu gadis itu berjalan menyebrang dan di tabrak dengan sangat kencang. Jalanan mulai ramai, semua orang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi, ada yang berlari mengejar mobil tersebut, ada yang berlari mencari tubuh mungil yang terpelanting jauh dan ada juga yang sibuk dengan ponselnya untuk merekam. "Selamat jalan, Kak," tuturnya. Tubuh Tata bergetar hebat, tiba-tiba ia menangis tergugu. Ibun merengkuh tubuh mungilnya masuk ke dalam dekapannya untuk menenangkan dan menghangatkan. "Maafkan, Tata, Kak. Maaf, Tata gak bisa cegah, Kakak," racaunya dengan wajah yang sudah basah. "Sstt … Sayang, Adik gak salah," ucap Ibun menenangkan. "Hiks … hiks … kakak itu meninggal, Bun." "Ya Allah, Adik!" ucap Mami histeris melihat keadaan cucunya yang menangis hingga tergugu seperti itu. "Fitri! Fauzi! Cepat bawa Tata dan Rey pulang! Gak baik mereka terus disini apalagi melihat kejadian tadi!" perintah Papi. "Baik, Pi." Fauzi langsung menggendong Tata yang masih terus saja menangis. Tatapan matanya kosong, menatap tempat kejadian dimana gadis kecil itu ditabrak. Kata maaf terus saja terdengar dari bibir mungilnya. Fitri pun sama kacaunya, ia tak tega melihat keadaan anaknya yang histeris. "Fit, tenang! Kau harus lebih tenang dari Tata, sebab hanya kamu yang bisa membuatnya tenang kembali!" ucap Meysa melalui batin. Mereka langsung pergi dari tempat kejadian, Tata masih terus saja menangis karena merasa bersalah tidak sempat mencegah gadis kecil tadi. Tetapi, jika dicegah pun belum tentu gadis kecil itu percaya dengan apa yang diucapkan oleh Tata. Semua orang mungkin berpikir, Tata terkejut karena melihat kecelakaan di depan mata, namun mereka salah. Kenyataannya adalah Tata menangis karena merasa tak bisa mencegah kecelakaan itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN